NEGENDE

156 19 0
                                    

Aku menebus perasaan bersalahku pada Kang Koesno dengan merawatnya sebaik mungkin. Sepanjang hari aku menunggui Kang Koesno. Mengambilkan segala keperluannya. Aku juga membuatkan beberapa ramuan tradisional untuk mempercepat kesembuhan lukanya. Tentu selain dengan obat-obatan medis dari Kang Sapta. Aku berharap Kang Koesno lekas membaik. Supaya kami dapat segera pergi dari sini. Sejujurnya aku khawatir akan nasib penduduk Sumbersari. Mereka akan terkena akibatnya apabila keberadaanku diketahui Bapak.

Genap lima hari aku di sini. Sadiyem juga memilih menemaniku dari pada pulang ke Ragajampi.

“Nanti kalau bapak dan simbokmu mencari bagaimana?” tanyaku ketika kami sedang mengupas singkong untuk dijadikan santapan makan malam.

“Biar saja. Setelah Kang Koesno sembuh dan kalian bisa pergi dari sini, aku baru akan kembali ke Ragajampi,” jawabnya sembari terus mengupas.

Sadiyem terlihat betah tinggal di desa ini. Mungkin juga karena ada Kang Tohir, kekasihnya, yang merupakan sepupu dari Sapta dan tinggal di desa ini juga. Hanya saja, aku katakan pada Sadiyem. Bagaimanapun ia harus pulang karena aku tidak ingin melibatkannya terlalu jauh. Sadiyem  hanya mengedikkan bahu ketika mendengar saranku. Aku paham, Sadiyem sengaja menghindar dari Sadiran, kakak kandungnya yang mempunyai niat sama dengan Bapak. Menjual kami kepada kompeni untuk dijadikan nyai. Entah mengapa kedua lelaki yang seharusnya menjaga anak dan adik perempuannya, justru menjerumuskan ke jurang kenistaan.

Sepoi angin sore membuatku ingin sejenak bersantai di beranda rumah. Aku melangkah ke sudut, untuk duduk pada lincak yang diletakkan di sana. Kang Koesno baru saja beristirahat setelah aku menyuapinya. Sejak selepas zuhur Sadiyem pamit pergi bersama Kang Tohir. Katanya akan memanen beberapa jagung di ladang. Entahlah mengapa mereka belum juga kembali. Aku heran dengan Desa Sumbersari ini. Tanaman palawijanya melimpah ruah. Kami tidak kesulitan mencari bahan pangan. Keadaan yang sungguh berbeda dengan Ragajampi. Mengingat Ragajampi, membuatku teringat juga pada Simbok. Biasanya sore begini Simbok sedang menyiapkan kopi untuk Bapak yang sebentar lagi akan pulang bekerja.

“Bapak tidak suka kopi yang masih terlalu panas. Jadi Simbok harus membuatkannya sebelum Bapak pulang. Supaya ketika sampai rumah, kopinya bisa langsung diminum,” jelas simbok ketika aku menanyakan sebabnya membuat kopi sebelum Bapak datang.

Itulah Simbok. Pengabdiannya kepada Bapak tidak terhingga. Ia sangat patuh pada perintah Bapak. Padahal kerap kali Bapak mengabaikannya karena urusan pekerjaan.

Ketika aku menyampaikan selentingan bahwa bapak punya istri simpanan, simbok hanya menjawab, “Simbok tidak akan percaya jika bukan melihat atau mendengar sendiri dari penjelasan bapakmu.”

“Lelah, Rah?” Suara Kang Sapta yang baru saja datang mengagetkanku dari lamunan.

“E-eh, tidak kok, Kang,” jawabku sambil menggeser duduk memberi tempat pada Kang Sapta.

“Baru pulang? Saya ambilkan kopi, ya?” tawarku berbasa-basi sebagai tanda hormat.

“Tidak, tidak usah. Kamu melamunkan apa? Koesno baik-baik saja, kan?” tanyanya sembari duduk di sampingku.

Aku mengangguk.

“Iya, Kang Koesno baik-baik saja. Ia juga sudah mulai bisa bangun dari berbaring meski sebentar,” jawabku.

Kang Sapta mengangguk.

“Aku senang kamu ada di sini. Koesno jadi semangat. Sebelum kamu datang, dia seolah tidak punya semangat hidup,” ujar Kang Sapta.

Aku tersipu atas perkataan Kang Sapta.

“Bukan saya. Justru semua berkat Kang Dokter,” ucapku berkelakar yang membuat Kang Sapta terbahak-bahak.

Cinta Nyai Ragajampi (READY) Diterbitkan oleh LovRinz PublishingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang