VEERTIENDE

143 20 0
                                    

Simbok melepaskan pelukannya. Raut wajahnya terlihat khawatir. Aku mengelus punggung tangan Simbok untuk menenangkannya. Aku maju beberapa langkah mendekat ke pintu.

“Saya, Pak,” jawabku tepat ketika langkah kaki Bapak berhenti di hadapannya.
Bapak terkejut melihatku berdiri di beranda.

“Pulang juga kamu, heh?” Suara bapak terdengar ketus. Bukannya memeluk atau menanyakan kabar, Bapak justru berkacak pinggang sembari melotot melihatku.

Aku menundukkan kepala, tidak sanggup memandang wajah Bapak. Aku merasa bersalah. terlebih pada Simbok yang tidak berhenti menangis sejak tadi dan lebam yang menghiasi wajahnya.

“Ma-maafkan saya, Pak,” bisikku tanpa melepaskan pandangan dari tanah yang kupijak.

“Kamu hampir saja membuat Bapak terkena amarah Tuan van Hoorn!”

Aku memekik ketika kedua lenganku disambar Bapak dengan kasar. Jemarinya mencengkeram kulitku hingga terasa pedih.

“Kamu ini membuat repot orang tua! Tidak tahu diuntung! Tidak semua wanita diterima untuk menjadi seorang nyai. Hidupmu akan enak!” pekik Bapak. Wajahnya memerah, matanya masih melotot seolah ingin menelanku bulat-bulat.

Bapak tidak menggubris suara Simbok yang memohon-mohon sembari menangis di kakinya. Bapak sangat murka.

“Tapi, saya tidak mau jadi nyai, Pak!” ucapku berani sembari mendongakkan kepala untuk menatap wajah Bapak.

“Bocah setan!” umpat Bapak.

Aku menatap nyalang kedua mata Bapak ketika ia mengangkat tangan bersiap menampar. Kali ini aku tidak menutup mata seperti ketika Suta akan menampar di ladang jagung. Aku justru menantang menyambut rasa pedih yang akan bersarang di pipi. Tiba-tiba aku tergeragap saat Bapak tertarik mundur. Ada yang menarik lengannya untuk menjauhiku.
Kang Sapta.

“Siapa kamu? Berani ikut campur urusan Mandor Soeroso?” pekik Bapak meradang. Lengannya masih dalam cengkeraman tangan Kang Sapta.

“Lepaskan!” pekik Bapak menahan sakit. Badan Kang Sapta yang lebih tegap berhasil menaklukkan Bapak.

“Saya akan melepaskan ketika Bapak sudah tenang,” ujar Kang Sapta.

Bapak tidak bisa berbuat banyak. Selain mendengkus dan menenangkan diri. Melihat Bapak sudah lebih tenang, Kang Sapta melepaskan cengkeramannya. Namun, itu tidak membuat Bapak lantas tunduk begitu saja. Ia mendorong tubuh Kang Sapta dan membuat jarak di antara mereka.

“Siapa kamu?” tanya Bapak sembari menunjuk wajah Kang Sapta.

“Perkenalkan. Saya Sapta, Pak, penduduk Sumbersari. Saya adalah dokter yang menolong Koesno. Saya ke sini ingin mengantarkan Kasmirah pulang.”

Bapak mencebik. Lalu mengulang pernyataan Kang Sapta.

“Sumbersari?” Bapak tertawa terbahak-bahak hingga tubuhnya terguncang. “bagaimana kabar irigasimu? Oh, ya. Apa kabar penari reog itu? Aku berharap dia sudah mati dihajar Wira tempo hari,” sambung Bapak di antara gelaknya.

Kang Sapta terlihat menyabarkan hatinya. Ia mengepalkan tangan kuat-kuat. Kutahu ia merasa bertanggung jawab terhadap nasib penduduk desa Sumbersari. Juga sebagai seorang dokter yang menolong nasib pasiennya.

“Koesno selamat,” jawab Kang Sapta.

Sekilas kulihat raut wajah Bapak tidak suka mendengar berita ini.

“Untuk itulah saya ke sini mengantarkan Kasmirah. Saya ingin menukar kepulangan Kasmirah dengan dibukanya kembali bebatuan yang menutup aliran air ke desa kami,” jelas Kang Sapta lagi.

Bapak terbahak-bahak lagi.

“Aku tahu, kalian pasti akan menyerahkan anakku. Tanpa kekerasan, aku memenangkan pertempuran ini.” Bapak terdengar menyombongkan diri.

“Bukan, Pak. Ini bukan karena saya yang menyerahkan Kasmirah. Tapi, putri Bapak yang ingin pulang. Ia tidak ingin semua orang terkena imbas dari pelariannya,” ucap Kang Sapta tegas.

“Tapi, Pak. Kalau boleh saya memohon. Bapak pikirkan kembali untuk menyerahkan Kasmirah sebagai nyai. Apa Bapak tidak bisa mengasihani anak sendiri?” sambung Kang Sapta.

Bapak tidak menyahut. Hanya saja wajahnya kembali tegang.

“Saya mohon, Pak. Saya tidak sampai hati melihat Kasmirah menjadi nyai.” Kang Sapta tidak berputus asa memohon kepada bapak.

Bapak tetap membisu. Bapak justru mendekatiku dan menarik tangan ini dengan satu sentakan kasar. Kakiku terseok mengikuti langkah Bapak yang tergesa menuju dalam rumah. Bapak tidak menghiraukan ucapan Kang Sapta yang terus memohon. Juga isak tangis simbok yang berada dalam dekapan Sadiyem. Kang Tohir sedari tadi hanya mematung di pojok beranda. Bapak tiba-tiba berhenti sehingga aku menabrak tubuhnya. Hatiku sedikit lega, karena berharap Bapak berubah pikiran mendengar permintaan Kang Sapta dan tergugah melihat Simbok terguguk.

“Kalian, pulanglah! Kalian tidak ada urusan dengan kami. Aliran sungai ke Sumbersari kubuka segera setelah kalian meninggalkan Ragajampi. Selebihnya, ini menjadi urusan keluargaku!” tegas Bapak sembari kembali menarikku masuk.

Hancur hatiku seketika. Harapanku musnah. Kang Sapta tidak bisa membujuk Bapak. Aku mengusap air mata yang menetes deras.

“Bapak minta ini yang terakhir kamu berulah! Dua hari lagi Tuan van Hoorn akan menjemputmu!” bentak bapak sembari mendorong tubuhku masuk ke kamar. Aku terkesiap melihat kamarku. Kini ada daun pintu sederhana yang menggantikan tirai penutup kamar. Begitu aku masuk, bapak segera menutup pintu dan terdengar bunyi gembok yang mengunci dari luar.

Bapak mengurungku. Bapak takut aku kabur lagi. Kuletakkan bungkusan pakaian di atas amben. Tubuhku melorot di atas tanah. Semua yang kulakukan sia-sia. Pelarianku tidak ada gunanya karena nyatanya aku kembali lagi di sini. Kang Koesno yang menjadi alasanku kabur, justru mengecewakan. Kang Sapta yang sempat memberi harapan, tidak berkutik melawan kehendak bapak. Aku lelah. Sangat lelah. Tidak ada lagi tempat untukku pergi. Memang harus kujalani semua ini. Apa yang terjadi adalah takdir.
Aku bangkit dari duduk dan merebahkan diri di atas amben. Tubuhku terasa sakit. Kakiku sedikit terkelupas di beberapa bagian. Pedih rasanya. Namun, semua ini tidak berarti apa-apa dibandingkan pedihnya membayangkan apa yang akan kuhadapi nanti ketika menjadi seorang nyai.

“Menjadi seorang nyai itu serupa mencoreng aib di muka sendiri. Kelihatannya saja hidup enak. Pada kenyataannya tuanmu tidak pernah menganggap. Dia hanya butuh tubuhmu untuk melampiaskan birahinya. Selain itu, kamu juga tidak akan dihargai lagi oleh pribumi. Kamu dianggap sampah dan perempuan murahan yang menggadaikan tubuh demi sekantung uang.”

Terngiang ucapan Sadiyem ketika ia menceritakan bahwa Sadiran akan menjadikannya seorang nyai. Maka dari itu Sadiyem menolak mentah-mentah keinginan kakak kandungnya. Beruntung, Sadiran tidak lagi menyinggung persoalan itu lagi. Mungkin takut jika kepalanya pecah dilempar lesung oleh Sadiyem.

Aku menatap langit-langit kamar yang sudah berlubang di sana-sini. Memang benar, siapa pun ingin hidup berkecukupan. Namun, apa iya harus dengan mengorbankan harga diri dan mengabaikan norma kesusilaan seperti itu? Hidup bersama tanpa pernikahan. Menjalani hidup seperti suami istri padahal tidak ada ikatan apa-apa. Hanya sebatas saling membutuhkan. Mereka membutuhkan wanita pribumi untuk dijadikan babu sekaligus teman tidur. Pribumi membutuhkan hidup berkecukupan di antara kesulitan mencukupi kebutuhan.

Pikiranku melayang-layang. Tidak ada lagi suara terdengar di beranda. Mungkin mereka sudah pergi. Tidak ada lagi Sadiyem yang menemaniku. Tidak ada lagi Kang Sapta yang menjagaku. Aku sendirian. Menjemput takdir untuk menyiapkan diri menjadi seorang nyai.

Cinta Nyai Ragajampi (READY) Diterbitkan oleh LovRinz PublishingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang