TWINTIGSTE

324 23 0
                                    

Aku diperintahkan untuk membantu Hilda di dapur selagi Tuan Janssen membersihkan diri. Lebih tepatnya, aku hanya melihat keterampilan koki yang sengaja dibawa dari Eropa itu. Selain karena aku tidak tahu apa yang harus dilakukan, Hilda bersikap seolah tidak menyukaiku.

Hilda begitu cekatan menyiapkan bahan, lalu mulai mengeksekusinya. Sesekali aku bertanya satu dua hal padanya untuk memecah kebisuan. Meski tanpa senyum, ia mau menjawab pertanyaanku di sela kegiatannya memasak.

Lasmi menemui kami di dapur. Ia terlihat senang melihatku mulai beradaptasi. Ia tidak tahu bahwa hatiku tidak keruan rasanya. Mengabaikan sikap judes Hilda mungkin lebih mudah untuk kulakukan dibanding menyesuaikan diri menjadi seorang nyai. Namun, seperti kata Lasmi tadi. Ini adalah takdir yang harus kujalani. Suka atau tidak, inilah garis kehidupanku.

Hilda menuangkan masakan yang sudah matang di atas sebuah mangkuk besar berwarna putih. Uap panas mengepul membawa aroma harum yang segera menyebar ke penjuru dapur.

“Semur ini pasti enak, Hilda. Ini masakan yang sama dengan yang Tuan Janssen kirimkan untukku, kan? Tidak salah lagi. Aku bisa mengenalinya. Aku sudah jatuh cinta pada rasa masakanmu sejak hari itu,” pujiku tulus sambil menerima mangkuk yang diulurkannya.

Lasmi tertawa renyah. Sementara Hilda memberengut mendengar ucapanku.

“Nyai, sebenarnya ini bukan semur. Yah, memang serupa semur. Hanya saja kami mengenalnya sebagai Hachee,” ujarnya datar.

Aku meringis karena salah menebak.

“Tapi, terima kasih atas pujiannya. Aku sangat tersanjung. Tuan Besar memintaku membuat masakan untuk diantar ke Ragajampi. Aku yakin Nyai akan suka. Karena rasanya hampir sama dengan semur yang Nyai bicarakan tadi,” ucapnya masih dengan nada datar.

“Hilda, mulai besok kamu harus mengajari Nyai memasak makanan kesukaan Tuan Besar,” kata Lasmi sambil membantuku membereskan meja.

“Iya, aku tahu, Lasmi. Jangan khawatirkan tentang itu. Tidak lama lagi Nyai akan bisa membuat banyak masakan lezat,” ujar Hilda sedikit ketus.

Entah jika ini hanya perasaanku saja. Namun, aku merasa Hilda juga tidak menyukai Lasmi. Raut wajahnya terlihat masam. Apa yang salah di sini? Mengapa ia membenci semua orang? Hilda berjalan ke arah meja makan sembari membawa sepinggan kentang kukus yang ditumbuk, diberi parutan keju dan taburan peterseli. Aromanya tidak kalah menggoda dari Haache.

“Saya akan memasak nasi jika Nyai menginginkannya,” tawar Hilda ketika meletakkan kentang yang uapnya masih mengepul.

“Terima kasih, Hilda. Ini saja sudah cukup,” tolakku halus.

Setelah semua hidangan siap, Lasmi memintaku menjemput Tuan Janssen di kamarnya. Ya, kamarnya. Kamarku dan kamar Tuan Janssen terpisah. Entah apa sebabnya. Namun, sejujurnya aku berterima kasih karena hal ini. Aku merasa belum siap untuk menyerahkan diri padanya.

Pintu kamar Tuan Janssen masih tertutup rapat. Aku mengetuknya dengan ragu-ragu.

“Masuk.” Sebuah suara menyahut dari dalam kamar setelah aku mengetuk untuk yang kedua kalinya.

Aku memutar kenop pintu kamar yang ternyata tidak terkunci.

“Ya, Nyai?” sapanya ketika melihatku. Ia sedang duduk di kursi menghadap sebuah meja yang penuh tumpukan kertas. Sebuah pena dengan bulu pada ujungnya tampak ia pegang.

“Ma-makan malam su-sudah siap, Tuan.” Aku mencoba bersikap dan bersuara sewajar mungkin. Padahal, Tuan Besar hanya memakai serwal. Sementara dadanya yang bidang terbuka tanpa penutup apa-apa.

“Terima kasih. Kemarilah, Nyai,” ujarnya sambil meletakkan pena pada tempatnya.
Aku ragu-ragu melangkah mendekati kursi Tuan Besar.

“Ya, Tuan?” tanyaku setelah berada di sampingnya.

Cinta Nyai Ragajampi (READY) Diterbitkan oleh LovRinz PublishingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang