DERDE

224 23 0
                                    

"Rah, Kasmirah! Kok malah ngelamun, to?" Suara cempreng Sadiyem dan kibasan tangannya di depan wajahku, membuat tersentak.

"Eh, ke-kenapa?" tanyaku menggeragap.

Sadiyem mencebik. Matanya yang bundar melotot.

"Itu, Kang Koesno sudah nunggu. Kamu malah bengong mirip sapi ompong," tukasnya pura-pura marah.

Aku hanya meringis mendengar omelan Sadiyem. Sungguh, kenangan ketika berkenalan dengan si Bujang Ganong itu sangat membekas dalam ingatan. Mungkin itu adalah pertama kalinya aku berterima kasih pada serdadu kompeni. Karena dengan insiden membubarkan pertunjukan reog itulah aku bisa mengenal Kang Koesno.

Aku semakin berterima kasih karena setelah perkenalan tidak sengaja itu, kami menjadi dekat. Kang Koesno kadang menungguiku mencuci pakaian di sungai kecil tak jauh dari rumah. Aku mendengarkannya bercerita tentang banyak hal. Laki-laki yang bahkan belum kuketahui asal-usulnya dengan jelas itu memberi warna baru. Ketika biasanya hanya bisa bermain bersama Sadiyem, kini aku mempunyai kawan baru. Kawan yang membuat hatiku berdesir setiap kali memadang wajahnya yang teduh.

Setelah beberapa saat dekat, laki-laki yang memesona dengan tariannya itu, kini memesona hatiku dengan cintanya. Kang Koesno mengutarakan isi hatinya ketika kami berjalan bersisian untuk meninggalkan sungai selepas tugasku mencuci selesai. Tenggok berisi beberapa helai baju ia bawa dengan lengannya yang kokoh.

"Aku mencintaimu, Rah." Jelas ia ucapkan kalimat yang kunantikan sejak beberapa minggu terakhir.

Aku hanya bisa menunduk dan berjalan cepat mendahuluinya. Aku berharap pipi ini tidak bersemu merah. Meski aku menunggu ucapan cintanya, tak urung rasa malu melingkupi hati. Satu pekan aku sengaja menghindar dari Kang Koesno, karena tidak tahu harus berkata apa jika bertemu dengannya.

"Eh, malah ngelamun lagi. Sudah sana, keburu sore nanti bapakmu tahu," desis Sadiyem sambil mendorong tubuhku.

Ya, Bapak memang tidak pernah suka pada Kang Koesno. Bahkan sejak ia mengantarkanku pulang di hari pertama kami bertemu, Bapak tidak pernah mau sekadar bercakap-cakap sebentar dengan Kang Koesno. Aku berusaha mencairkan sikap Bapak. Akan tetapi, Bapak semakin menolak. Entah apa yang membuat Bapak bersikap demikian. Apakah ini karena Kang Koesno adalah laki-laki pertama yang dekat denganku? Namun, bukankah aku sudah tergolong dewasa? Bahkan ada tetangga desaku yang menikah di usia lima belas.

Aku memang tidak dekat dengan Bapak. Entah mengapa aku merasa Bapak seolah membentangkan jarak di antara kami. Mungkin saja itu karena pekerjaannya sebagai mandor kebun tebu hanya memberinya sedikit waktu untuk beristirahat. Setiap pagi ia berangkat ke kebun dengan busana lengan panjang dan bersepatu. Ia memakai topi mandor serupa dengan topi yang dipakai para pria kulit putih itu. Bapak pulang larut malam, bahkan kadang tidak pulang. Aku pernah mendengar selentingan jika Bapak punya gendakan. Namun, aku tidak memercayainya. Bapak tidak punya harta berlebih. Upahnya sebagai mandor hanya cukup untuk makan sehari-hari. Mana mungkin Bapak kuat memberi makan satu istri lagi? Kami bukan kaum ningrat. Kami pribumi biasa. Hanya saja, pekerjaan Bapak membuat kami dipandang mempunyai sedikit kedudukan.

Aku tidak tahu apa yang ada dalam benak Bapak perihal Kang Koesno. Padahal Kang Koesno adalah pria baik dan sopan. Ia juga cerdas. Pengetahuannya sangat luas. Ia bisa bercerita dengan lancar tentang VOC. Ia juga yang memberitahuku tentang Max Havelaar. Kang Koesno pernah bilang, ia pernah bersekolah di voolkschool. Dari Kang Koesno-lah aku belajar baca tulis.

"Kamu harus jadi wanita yang pintar, Rah. Supaya kelak anak-anak kita juga ikut pintar," ucapnya suatu ketika. Aku hanya bisa menunduk tersipu malu mendengar ucapan Kang Koesno.

Cinta Nyai Ragajampi (READY) Diterbitkan oleh LovRinz PublishingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang