NEGENTIENDE

186 20 0
                                    

Aku yang terbiasa mandi di sungai atau pancuran belakang rumah, sedikit bingung dengan tradisi mandi orang Belanda. Jika biasanya aku hanya mandi dengan duduk di bawah air mengalir, kini Lasmi membantu mengambil air dari tandon besar di dalam kamar mandi menggunakan ciduk. Jika setiap harinya aku hanya menggosok badan dengan batu apung berongga, kini Lasmi menggunakan sepotong sabun berbentuk kotak yang berbau harum. Aku bertambah heran ketika Lasmi merentangkan kain tebal berbahan halus untuk menutup tubuh. Biasanya aku hanya berkemban jarit.

“Ini namanya handuk. Gunanya untuk mengeringkan tubuh selepas mandi.”
Aku manggut-manggut mendengarkan penjelasan Lasmi.

“Jangan lagi mandi di sungai ya, Nyai? Mulai sekarang Nyai harus mengikuti tradisi Tuan Besar,” seloroh Lasmi sambil membantu mengeringkan tubuhku.

Aku tersenyum mendengar celetukan Lasmi.

“Kamu harus banyak membantuku. Aku benar-benar buta dengan segala kebiasaan orang kulit putih itu,” cakapku sambil mengetatkan jarit, menggantikan handuk yang dibawa Lasmi untuk diletakkan di sebuah keranjang.

“Jangan khawatir, Nyai. Saya memang ditugaskan untuk itu,” sahut Lasmi ramah.

Lasmi memintaku tidur terlentang dengan kepala di ujung sisi bawah ranjang. Rambutku yang terurai dibiarkan menggantung di lantai. Dari arah pandang mata yang terbalik aku melihat Lasmi mengambil tungku kecil dari sudut kamar. Selain itu ia membawa sebuah bungkusan yang isinya kemudian diletakkan di atas tungku. Lasmi mulai membakar bubuk itu di dekat rambutku hingga tercium aroma yang sangat harum di seantero kamar.

“Apa ini?” tanyaku keheranan.

“Ini ratus rambut, Nyai. Supaya rambut berkilau dan harum. Tuan Besar sangat suka dengan wewangian khas seperti ini. Beliau orang yang sangat apik dan resik,” jawab Lasmi. Aku mencatat perkataan Lasmi dalam hati. Pantas saja rumah ini dalam keadaan rapi dan bersih.

“Kamu membuat sendiri? Bahannya apa saja?” tanyaku lagi.

“Betul, Nyai. Saya membuatnya sendiri. Ada akar wangi, cendana, kelabat, dan kayu manis,” jelasnya sambil mengipasi tungku supaya asapnya lebih banyak lagi.
Aku menikmati ratus rambut ini dengan senang hati. Bagaimana tidak? Lasmi sesekali memijat kulit kepalaku dengan sangat teliti. Di beberapa titik ia menekannya dengan sedikit kencang sehingga aku merasa nyaman dan rileks.

Setelah beberapa saat, Lasmi memintaku duduk di sebuah bangku yang agak tinggi. Aku tidak tahu ritual apa lagi yang harus dilakukan untuk bertemu dengan Tuan Besar.

Lasmi meminta mengendurkan jarit yang kupakai. Ia juga berpesan supaya kedua kakiku terbuka lebar. Sementara ia lalu keluar kamar meninggalkanku yang keheranan seorang diri.

Tak lama Lasmi masuk dan membawa sebuah baskom berisi air berwarna kecokelatan. Terlihat uap yang mengepul menandakan isi baskom tersebut masih sangat panas. Dengan hati-hati ia meletakkan baskom tersebut tepat di antara kedua kakiku. Sontak aku diselimuti uap hangat yang beraroma harum dan segar.

“Ini ratus untuk kewanitaan. Bahannya sirih, kayu manis, cengkeh, dan air.” Lasmi menjelaskan sebelum aku bertanya.

“Supaya Tuan Besar selalu teringat pada Nyai,” ujarnya sambil mengikik.

Aku mengerutkan dahi tanda tidak mengerti.

“Ingat padaku? Karena aroma ini? Mengapa?” tanyaku keheranan.

Lasmi tidak menjawab, tetapi hanya tertawa sambil menyiapkan baju yang akan kukenakan.

“Oh, ya. Kamu sangat paham kegemaran Tuan Janssen, ya? Apakah sudah lama menjadi pelayan di rumah ini?” tanyaku.

Cinta Nyai Ragajampi (READY) Diterbitkan oleh LovRinz PublishingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang