VIERDE

198 23 2
                                    

“A-apa yang kalian lakukan?” pekikku marah. Entah dari mana aku mendapat kekuatan untuk berbicara lantang.

“Temanmu memaksaku bertindak kasar. Dari tadi mulutnya tidak bisa diam dan ngamuk seperti sapi gila!” ucap Wirya membela diri.

Aku mendengkus dan berlari ke arah Sadiyem. Kukibaskan tangan Kang Koesno yang berusaha menahan. Aku mendorong tubuh Suta dan Wirya dengan keras. Kutubruk tubuh Sadiyem yang luruh ke tanah. Matanya terpejam. Tanda merah membekas di pipinya yang tirus. Cairan berwarna merah pekat mengalir di sela sudut bibir Sadiyem. Aku berusaha menyadarkan Sadiyem.

Kugoyang-goyangkan tubuh Sadiyem dan kutepuk pipinya berulang kali. Namun, ia tetap bergeming.

Aku menjerit ketika tiba-tiba Suta menarik lenganku dengan kasar.

“Ayo, kami antar kamu pulang. Bapakmu sudah menunggu,” perintah Suta kasar.

Aku terperanjat mendengar ucapan Suta.

“Apa?! Bapak yang menyuruh kalian?!” tanyaku memastikan.

“Ya! Bapakmu tidak suka kamu bertemu dengan laki-laki itu!” ujarnya sambil menunjuk Kang Koesno. “sekarang, ayo pulang!” tegasnya.

“Lepaskan!” jeritku.

Sebisa mungkin aku berusaha memukul dan menendang Suta untuk melepaskan diri. Namun, apa arti kekuatan seorang wanita dibandingkan tenaga pria dengan tubuh kekar seperti dia? Suta dan Wirya adalah centeng kebun tebu. Mereka punya ilmu bela diri. Selain itu juga terkenal gemar main perempuan, suka membuat kericuhan, dan mata duitan. Meski mereka adalah teman bapak, tetapi aku tidak mengenal dengan baik. Bahkan simbok terlihat tidak senang jika bapak bergaul dengan mereka.

“Mereka memberi pengaruh yang buruk bagi bapakmu, Ndhuk. Simbok tidak suka itu,” ucap Simbok suatu ketika. Tangannya sibuk mengaduk kopi pahit yang akan disajikan kepada Suta dan Wirya.

Sadiyem masih belum sadar. Aku merasa bersalah. Aku tidak habis pikir mengapa Bapak tega berlaku seperti ini. Apakah Bapak tidak bisa mengajakku bicara baik-baik? Baiklah, aku memang bersalah bertemu secara diam-diam dengan Kang Koesno. Namun, itu aku lakukan karena Bapak tidak pernah mau menerima Kang Koesno dengan baik. Lagi pula meski bertemu diam-diam, kami tidak pernah punya niat untuk melakukan hal yang menyimpang dari norma kesusilaan. Jika di mata Bapak aku memang bersalah, tetap tidak bisa dibenarkan semua perbuatan ini.

Darahku menggelegak atas perlakuan Suta dan Wirya. Rasa benciku pada Bapak meluap. Amarah ini tidak dapat kubendung lagi. Dengan sekuat tenaga, aku ludahi wajah Suta yang berusaha menarik tubuhku.

“Bedebah!” umpatnya sembari mengelap pipinya yang basah memakai lengan baju.
“kalau tidak ingat kamu anak Soeroso, sudah kutiduri tubuhmu yang molek!” umpat Suta sembari mengangkat tangannya untuk menampar wajahku.

Aku segera memejamkan mata. Bersiap menerima tamparan Suta yang pasti akan terasa sangat menyakitkan. Namun, belum lama terpejam, aku membuka mata lagi ketika mendengar Suta mengaduh. Yang kulihat pertama kali adalah laki-laki dengan codet di pipi itu terduduk sembari memegangi kepalanya yang berdarah. Tak jauh darinya, Kang Koesno berdiri menggenggam erat satu lonjor bambu. Wajahnya memerah menahan amarah. Baru sekali ini aku melihat Kang Koesno penuh emosi.

“Jangan sentuh Kasmirah!” bentaknya garang.

Suta mengumpat-umpat sambil menutup luka dengan ikat kepalanya yang dilepas. Aku tersenyum sinis melihat ia kesakitan. Rasakan.

Namun, rasa senangku tidak bertahan lama ketika melihat Wirya menghampiri Kang Koesno dengan beringas.

“Bangsat! Kamu cari mati, heh?!” pekiknya dengan mata memerah. Rupanya ia tidak terima temannya disakiti.

Seluruh persendianku terasa lemas. Aku paham betul Kang Koesno tidak punya ilmu bela diri. Jika beruntung tidak sampai mati, ia pasti akan terluka parah.
Wirya menerjang dengan membabi buta. Pukulan dan tendangan diarahkan ke arah Kang Koesno. Aku berteriak ngeri. Sesekali bambu di tangan Kang Koesno menghantam tubuh Wirya. Namun, dibandingkan Wirya yang punya ilmu bela diri, apalah arti pukulan itu. Apalagi ketika bambu itu berhasil direbut Wirya dan dipatahkan menjadi dua bagian.

Selanjutnya Kang Koesno menjadi bulan-bulanan Wirya. Tamparan, tendangan, dan bunyi pukulan bersarang di badan Kang Koesno bersahutan tanpa henti.

Aku menjerit histeris ketika melihat Kang Koesno tersungkur dengan wajah lebam dan darah bercucuran. Dengan segera kuhampiri Kang Koesno yang tergolek lemas tidak berdaya. Dadaku sesak melihatnya mengerang kesakitan. Pipiku basah oleh air mata. Kuusap lebam di wajahnya penuh sayang. Ini karena kesalahanku. Semua karena aku. Andai aku tidak bersikeras tetap berhubungan dengan Kang Koesno setelah tahu sikap penolakan Bapak, ini tidak akan terjadi. Sadiyem yang menemaniku pun harus merasakan getahnya. Dua orang yang kusayangi justru menderita karena aku.
Aku refleks menoleh ketika mendengar desingan suara benda tajam yang dikeluarkan dari sarungnya. Aku membeliak ngeri menatap Wirya. Ia berjalan sembari menghunus golok ke arah Kang Koesno yang sudah tidak berdaya.

“Cukup! Berhenti!” pekikku.

Aku terseok-seok mendekati Wirya. Pria bercambang itu mengibaskan tangannya hingga tubuhku mencium tanah. Aku mengaduh merasakan pergelangan kaki yang terasa amat nyeri. Dengan sekuat tenaga kutubruk kaki Wirya yang terus melangkah. Tak kupedulikan rasa pedih pada siku yang terseret di tanah berbatu.

“Hentikan! Tolong, hentikan,” ucapku di antara isakan.

Aku memohon agar Wirya mengurungkan niatnya. Aku tidak mau nyawa Kang Koesno berakhir di ujung golok Wirya. Namun, centeng kebun tebu itu seolah tidak mendengarku. Ia terus saja berjalan dengan kaki yang masih kudekap. Ia bersiap menebas leher Kang Koesno dengan goloknya yang berkilau.

“Hentikan, Wirya!” tiba-tiba Suta bersuara. “tidak usah kaupedulikan pria tidak berguna itu. Ayo, kita antar Kasmirah pulang dan meminta bayaran pada Soeroso. Leherku sudah kering butuh tuak. Aku juga merindukan pelukan perempuan di rumah bordil,” lanjutnya sembari terbahak-bahak.

Sisa darah yang mengucur dari kepala Suta terlihat sudah mengering. Ia lalu memondong tubuh Sadiyem yang masih terkulai dan mendekati kami.

“Biarkan saja laki-laki ini mati kehabisan darah di sini. Paling nanti bangkainya dimakan binatang buas!” rutuknya. Rupanya si Codet masih dendam atas luka di kepalanya.

Wirya mendengkus kesal. Kesenangannya akan menghabisi Kang Koesno terganggu. Namun,  ia menuruti juga kata-kata Suta dan segera menarik lenganku untuk berdiri. Aku mengaduh. Sepertinya kakiku terkilir. Dengan terpincang-pincang aku berusaha berdiri. Kali ini aku tidak memberontak lagi. Aku menuruti kemauan mereka. Sudah cukup aku melihat Kang Koesno disakiti hingga hampir mati.  Aku juga tidak ingin Sadiyem terluka lagi.

Sejujurnya aku tidak ingin meninggalkan Kang Koesno sendirian di sini. Bagaiman jika terjadi sesuatu yang lebih buruk lagi? Namun, aku bisa apa? Jika aku terus saja melawan, bukan tidak mungkin kekasihku akan benar-benar mati.

Kudengar Kang Koesno memanggil-manggil namaku di antara rintihannya. Hatiku terasa bagai diiris sembilu. Tentu aku tidaklah tega membiarkan Kang Koesno di sini. Tidak ada yang yang dapat menggambarkan perasaanku saat itu. Cintaku telah hancur berkeping-keping tanpa sisa.

Maafkan aku, Kang. Lirih aku meminta maaf dan mengucapkan salam perpisahan kepada si Bujang Ganong.

Cinta Nyai Ragajampi (READY) Diterbitkan oleh LovRinz PublishingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang