ZESDE

166 22 1
                                    

Bapak telah berangkat ke kebun tebu sejak dini hari. Aku ikut terjaga ketika mendengar seorang buruh memanggil-manggil nama Bapak. Ia memberitahukan bahwa satu lori pengangkut tebu mengalami kerusakan. Sebagai seorang mandor, Bapak bertugas memastikan semua urusan kebun berjalan dengan lancar. Oleh karena itu Bapak segera berangkat tanpa membuang waktu lagi.

Sudah tiga hari berlalu sejak aku mengetahui rencana busuk Bapak. Sejak itu pula aku memilih menghindar dari Bapak. Perasaanku tidak menentu. Melalui Simbok, Bapak mengatakan bahwa Tuan Janssen menyetujui rencana ini. Bahkan Tuan Janssen berharap dalam beberapa hari aku sudah berada di rumahnya. Namun, Simbok memohon supaya diberi waktu untuk bersamaku. Ia tidak yakin bisa bebas bertemu putrinya sendiri ketika nanti aku sudah menjadi seorang nyai.

Tubin aku akan dijemput oleh centeng Tuan Janssen. Sesungguhnya aku ingin melarikan diri. Namun, ancaman Bapak selalu terngiang-ngiang di telingaku. Aku yakin Bapak tidak pernah main-main dengan ancamannya. Aku khawatir jika Simbok yang akan menerima akibatnya. Mengajak Simbok ikut lari? Rasanya hal yang mustahil. Bagaimanapun buruknya perlakuan Bapak, wanita yang melahirkanku itu tidak akan mungkin meninggalkan rumah.

“Simbok menikah dengan bapakmu juga karena dijodohkan. Simbok hanya ingin menggenapkan bakti pada Simbah. Jadi apa pun keadaannya, Simbok akan tetap di samping bapakmu,” tolaknya ketika aku mengajak Simbok pergi.

Aku menarik jarit usang yang menyelimuti tubuh. Udara pukul dua pagi masuk melalui celah-celah anyaman bambu. Rasanya aku masih ingin meneruskan tidurku yang terputus tadi. Namun, tiba-tiba tirai bilikku dibuka dari luar dan terdengar suara.

“Rah, bangun. Ini aku, Sadiyem.”

Aku terkejut. Dengan serta merta aku bangkit dari pembaringan. Dalam remang teplok aku melihat sosok yang tidak asing lagi. Kugosok-gosok kedua mataku untuk memastikan tidak salah lihat. Senyumku terkembang melihat Sadiyem berdiri di dekat tirai. Segera kusongsong Sadiyem dan memeluknya erat-erat. Kami berdua bertangisan.

“Kamu kenapa berani ke sini? Bagaimana kalau bapakku tahu?” tanyaku penuh kekhawatiran. Kuajak ia duduk di pinggiran amben.

“Simbokmu yang meminta aku datang. Kami sudah merencanakan ini jika ada kesempatan. Beruntung Mandor Soeroso dipanggil ke kebun. Makanya aku segera bergegas ke sini, begitu Simbok tadi mengetuk jendela kamarku,” jelas Sadiyem.

Aku terperanjat. Tidak menyangka Simbok akan melakukan hal yang dapat mengancam keselamatannya dari amukan Bapak.

“Simbokmu sudah ceritakan semua, juga tentang rencana Mandor Soeroso untuk menjualmu pada Tuan Janssen.” Sadiyem menarik napas panjang dan mengembuskannya kuat-kuat.

“Pergilah bersama Kang Koesno,” sambung Sadiyem tiba-tiba.

“Ka-kang Koes-Koesno?” ulangku terbata-bata. “di-dia selamat? Bagaimana keadaannya sekarang?” tanyaku beruntun.

Aku sangat ingin tahu keadaan Kang Koesno. Aku berharap ia selamat.

“Kekasihmu ndak apa-apa, Rah. Dia baik-baik saja.” Sadiyem menjawab pertanyaanku sambil tersenyum.
“Ta-tapi, ba-bagaimana bisa. Wirya telah-.”

“Iya, memang ketika itu keadaannya sangat parah. Satu rusuknya retak. Aku harus mengajak empat pemuda untuk mengangkatnya memakai tandu,” tutur Sadiyem memotong ucapanku.

“Ja-jadi kamu kembali ke sana dan menolong Kang Koesno?” tanyaku.

“Iya. Sebenarnya aku sudah siuman sejak kamu meludahi wajah si Codet. Aku bisa melihat semua kejadian yang menimpamu dan Kang Koesno. Aku sengaja berpura-pura pingsan untuk mengelabui mereka. Lagi pula, lumayan kan aku ndak jalan kaki sampai kebun Babah Liong,” ungkap Sadiyem sambil mengikik.

Aku tidak tahu harus berkata apa. Tidak kusangka Sadiyem punya ide cemerlang dan keberanian untuk menolong Kang Koesno. Aku menghambur ke dalam pelukannya lagi. Kuucapkan terima kasih berulang kali karena jasanya.

“Lalu, di mana Kang Koesno sekarang?’ tanyaku.

“Ia berada di tempat yang aman. Keadaannya sudah lebih baik. Ada dokter di sebuah desa yang merawatnya. Ia merindukanmu, Rah! Ketika kuceritakan rencana Mandor Soeroso, ia ingin segera membawamu pergi. Tapi, aku ndak mengizinkan. Ia menurut setelah aku berjanji akan menjemput dan membawamu ke sana,” jelas Sadiyem panjang lebar.

“Jadi, aku harus minggat dari sini?” tanyaku.

“Apa kamu mau menjadi nyai orang kompeni, Rah?” tanya Sadiyem gusar.

“Tentu tidak, Yem! Tapi, bagaimana dengan simbokku kalau aku pergi? Simbok pasti akan jadi bulan-bulanan Bapak,” ungkapku penuh ketakutan.

“Pergilah, Ndhuk. Mumpung hari masih gelap.” Tiba-tiba Simbok masuk ke bilikku.

“Tapi, Mbok-.”

“Jangan pikirkan simbokmu ini. Pergilah bersama laki-laki yang kamu cintai. Simbok merasa bersalah pernah memihak pada bapakmu meski Simbok tidak tahu apa rencananya di balik larangannya. Sekarang, izinkan Simbok menebusnya,” kata Simbok sembari mengulurkan sebuah bungkusan dari selembar kain yang masing-masing ujungnya saling terikat. Kuyakin isinya adalah beberapa potong pakaian.

“Ini pakaianmu, juga ada sedikit uang yang Simbok kumpulkan selama ini. Bawalah, gunakan untuk keperluanmu,” imbuh Simbok.

Aku masih bergeming tidak tahu harus berbuat apa. Di satu sisi tentu aku tidak sudi menjadi gendakan kompeni. Namun, di sisi lain batinku akan terluka berpisah dengan Simbok. Apalagi pasti Bapak akan menyalahkan dan menghukum Simbok karena kepergianku nanti. Aku tidak mampu membayangkan sesuatu yang buruk terjadi padanya.

“Rah, ayo!” desak Sadiyem.

Aku memandang Simbok meminta kekuatan. Simbok terlihat mengusap air matanya dan mengangguk tanda setuju. Segera kupeluk Simbok dan menangis sejadinya. Simbok menghibur dan memastikan ia akan baik-baik saja sepeninggalku.

Aku mengangguk pada Sadiyem yang langsung berjalan keluar. Aku meninggalkan satu pelukan lagi pada Simbok sebelum ia perlahan mendorong tubuh ini untuk segera pergi. Sekilas kuedarkan pandangan pada bilik yang selama ini menjadi tempat peraduan. Kutatap meja kursi di ruang tengah dan mengucapkan selamat tinggal. Juga pada seisi rumah yang menjadi tempat bernaung semenjak aku lahir. Hati ini habis saat simbok menutup daun pintu segera setelah aku sampai di beranda.

Bukan aku yang menginginkan perpisahan ini. Bukan aku yang meminta pergi dari sini. Namun, ketamakan seorang bapak yang telah membuang putrinya sendiri dari rumah ini. Aku mengusap air mata yang mulai menggenang. Aku harus kuat melewati semua ini. Simbok sudah banyak berkorban untukku. Ia bertaruh akan keselamatannya sendiri untuk menolongku.

Aku segera bergegas menyusul Sadiyem yang sudah lebih dulu berjalan. Kami bersisian melangkah cepat dalam gelap. Sengaja kami tidak membawa penerangan agar tidak mengundang kecurigaan. Kami hanya mengandalkan obor yang masih menyala di depan rumah penduduk. Aku berdoa supaya tidak berpapasan dengan serdadu kompeni yang sedang berpatroli. Namun, biasanya di waktu ini mereka lebih memilih bergelung dalam selimut masing-masing.

Aku tidak tahu kemana Sadiyem akan membawaku pergi. Jalan yang kami lewati semakin sempit. Ia mengambil jalan pintas di antara semak dan ilalang. Beberapa kali kulitku pedih karena tergores. Jalanan yang kami ambil semakin menyempit dan gelap. Sudah tidak ada rumah penduduk di sini. Aku menggamit tangan Sadiyem dengan erat. Rasanya aku ingin menangis karena ketakutan. Sadiyem menempelkan telunjuk di bibirnya tanda memintaku untuk tetap diam. Ia melepasan pegangan tanganku dan menyibak rumput kering yang seperti sengaja diletakkan di depan sebatang pohon. Benar saja, sebuah oncor yang terbuat sabut kelapa kering dan sepotong batang bambu sudah disiapkan Sadiyem. Lagi-lagi aku berdecak kagum atas idenya.

Kami melanjutkan perjalanan lagi. Kali ini suasana sangat sepi. Semburat fajar masih belum terlihat. Sadiyem sengaja menyiapkan oncor di tempat tadi karena sudah tidak ada rumah penduduk yang menerangi perjalanan kami. Sadiyem juga memilih suluh berukuran kecil supaya tidak menarik perhatian orang.

“Tahan dulu lelahmu. Ndak lama lagi kita sampai,” ucap Sadiyem memberiku semangat.

Cinta Nyai Ragajampi (READY) Diterbitkan oleh LovRinz PublishingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang