ZEFENDE

158 19 0
                                    

Dalam keheningan aku terus berjalan mengikuti langkah kaki Sadiyem. Kami sudah berjalan sangat lama. Telapak kakiku pedih. Di sepanjang jalan hanya terlihat bayangan pohon yang menjulang. Aku berusaha tidak menoleh ke kanan atau pun ke kiri. Jujur saja aku takut akan gelap. Namun, aku tetap menutup mulut. Tidak mungkin aku mengeluh pada Sadiyem. Sementara dia begitu gagah berani menjemputku dengan segala risiko yang  bisa menimpanya. Selain itu, dalam pikiranku hanya satu. Ingin cepat bertemu dengan Kang Koesno.

Beberapa kali kami berhenti sejenak untuk minum dari bumbung yang dibawakan Simbok. Beberapa potong ubi rebus juga telah disiapkan untuk sekadar mengganjal perut. Dadaku sesak teringat wanita yang sangat berarti di hidupku itu. Aku tidak sanggup membayangkan bagaimana reaksi Bapak ketika menyadari aku tidak ada di rumah. Ketika sedang melamunkan simbok, tiba-tiba kulihat kerlip pelita di depan sana. Seperti rumah penduduk.

“Kita sudah sampai,” bisik Sadiyem seolah mengerti isi pikiranku. Ia terus melangkah sembari menggengam jemariku. Rasa gembiraku membuncah. Aku mengangguk dan semakin mempercepat langkah.
Sebuah gapura menjadi penanda masuk wilayah desa ini. Tidak jauh beda dengan Ragajampi. Bahkan aku merasa sedang masuk desaku sendiri. Kami dihadang oleh tiga orang pemuda berbadan tegap di muka gapura. Satu di antara mereka membawa senjata tajam. Aku sedikit ngeri melihatnya.

“Jangan khawatir. Mereka hanya berjaga-jaga,” ucap Sadiyem menenangkanku.

“Kang Tohir!” panggil Sadiyem ketika kami semakin dekat.

“Owalah, kamu, to?” balas laki-laki dengan celana selutut itu. Golok yang ia bawa dimasukkan kembali ke dalam sarungnya.

Sadiyem melepaskan tangannya dari genggamanku lalu berlari menyongsong pemuda bernama Tohir. Mereka berpelukan sesaat bagai sepasang kekasih. Sementara dua teman Kang Tohir sibuk bersiul menggoda mereka. Aku yang tidak tahu apa-apa hanya dapat menatap dengan rasa heran. Sementara yang digoda hanya tersenyum malu.

“Kenalkan, Yem. Ini Kang Tohir. Pacarku.” Ketika Sadiyem mengucapkan kata terakhir ia berbisik sambil menunduk malu. Aku menatap Sadiyem dengan pandangan meminta penjelasan. Sadiyem hanya nyengir menampakkan deretan giginya.

“Kalian tidak apa-apa? Kenapa tidak mengabari kalau mau datang sekarang? Kami bisa menjemput kalian,” kata si kaus putih. Belakangan kutahu namanya Parman.

“Kami ndak apa-apa. Ini ndak direncanakan, Kang. Tadi simboknya Kasmirah tiba-tiba meminta aku ke rumahnya. Kebetulan Mandor Soeroso dipanggil ke kebun sejak dini hari. Akhirnya aku sekalian mengajak Kasmirah pergi,” jawab Sadiyem.

“Ya, sudah. Sekarang kalian masuk. Khawatir ada yang melihat,” potong pria yang terlihat berwibawa di antara lainnya, namanya Sapta. Ia terlihat menengok ke kanan dan kiri, mungkin berjaga jika ada yang mengikuti kami.

Aku yang dari tadi hanya terdiam, kini pun hanya bisa mengekor mereka. Sebenarnya aku juga sudah tidak sabar untuk sampai tujuan. Aku ingin segera dapat bertemu Kang Koesno. Kami melewati deretan-deretan rumah. Suasana masih sangat sepi.

Kami sampai pada sebuah rumah yang menurutku ukurannya cukup besar. Meski pekarangannya tidak bergitu luas, tetapi terlihat sangat asri dengan beberapa tanaman dan pagar bambu yang ditata rapi.

“Silakan masuk, anggap saja rumah sendiri.” Kang Sapta bersuara.
Kang Sapta mendahului kami membuka pintu dan masuk ke rumah. Dengan kikuk aku mengikuti untuk masuk.

“Kekasihmu ada di dalam,” bisik Sadiyem sambil mengerling.

Aku menatapnya dengan rasa tidak percaya. Ia mengangguk untuk meyakinkanku.

Kami menuju ruang tengah. Sebuah ruangan yang cukup luas dengan meja bundar dan beberapa kursi kayu. Beberapa foto tergantung di dinding. Sebuah plakat bertuliskan Sekolah Dokter Djawa terletak di atas meja kayu panjang.
Kang Sapta keluar dari dapur sambil membawa sebuah nampan. Empat cangkir teh panas mengepulkan uapnya. Beberapa pisang rebus juga terhidang di atas meja.

“Ayo, diminum dulu. Kalian pasti sangat lelah. Hir, Man, kalian juga silakan menyantap hidangan ala kadarnya,” tawar Kang Sapta ramah.

“Jadi, kamu yang bernama Kasmirah?” tanya Sapta.

“I-i-iya, Pak, Kang, eh-,” jawabku gugup.
Ia tertawa mendengar jawabanku. Juga ketiga orang lainnya yang sedang sibuk mengunyah pisang.

“Tidak perlu canggung. Aku sudah mendengar tentang kamu dari Sadiyem,” ujar Kang Sapta.

“Kang Sapta ini yang merawat Kang Koesno. Dia lulusan Sekolah Dokter Djawa,” urai Sadiyem.

Sekilas aku melirik plakat yang tadi sempat kubaca. Kang Sapta hanya tersenyum mendengar ucapan Sadiyem.

“Terima kasih, Kang. Tanpa bantuan Kang Sapta, entah bagaimana nasib Kang Koesno,” ujarku dengan suara sedikit bergetar.

“Tidak perlu begitu. Sudah menjadi kewajibanku untuk menolong pasien,” balas Kang Sapta.

“Sebaiknya kalian berdua sekarang membersihkan diri. Lalu beristirahat. Ada kamar kosong di belakang.” Kang Sapta menunjukkan arah kamar yang dimaksud.

“Ma-maaf, Kang. Ba-bagaimana keadaan Kang Koesno?” tanyaku.

Kang Sapta tersenyum sembari menatapku.

“Dia tidak apa-apa. Koesno ada di kamar depan. Tadi kulihat tidurnya sangat nyenyak. Sebaiknya kamu menemuinya besok pagi,” jawabnya.

“Aduh, sudah ada yang rindunya ndak tertahan,” celetuk Sadiyem.

Aku yakin wajah ini kini memerah menahan malu. Segera kucubit pinggang Sadiyem. Aku hanya mencebik ketika dia mengaduh sambil merengek kepada Kang Tohir.

Aku menuruti Kang Sapta. Meski aku sudah sangat ingin bertemu Kang Koesno, tetapi Kang Sapta adalah pemilik rumah ini. Aku juga sangat menghormatinya. Aku merasa berutang nyawa padanya. Meski pada kenyatannya, nyawa Kang Koesno-lah yang diselamatkan.

Aku dan Sadiyem bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Letaknya bersebelahan dengan dapur. Berbeda dengan rumah pribumi kebanyakan, rumah Kang Sapta sudah menggunakan listrik. Kutahu jika Kang Sapta masih keturunan ningrat. Ia adalah cicit dari seorang tuan tanah di Sidoarjo. Ayahnya sendiri adalah seorang mantan wedana.

“Istri Kang Sapta kok tidak kelihatan, Yem?” tanyaku ingin tahu. Kami berdua sudah ada di atas pembaringan. Aku memiringkan tubuh hingga menghadap Sadiyem.

“Kang Sapta masih bujangan, Rah. Kalau saja aku belum ketemu Kang Tohir, aku mau jadi istri Kang Sapta. Nanti kamu panggil aku bu dokter, ya?” kelakar Sadiyem sambil terkekeh.

Aku cubit paha Sadiyem hingga dia meringis.

“Ngawur! Kuadukan sama pacarmu. Kamu juga utang cerita tentang Kang Tohir,” ujarku menanggapi kelakar Sadiyem.

“Kapan-kapan. Sekarang aku mau tidur. Capek jemput kamu,” ucap Sadiyem menyebalkan untuk menggodaku. Ia menarik jarit hingga di bawah dagu lalu memejamkan mata.

Aku tersenyum melihat polah tingkahnya. Memang betul sangat melelahkan perjalanan tadi. Aku saja yang menjadi pemeran utama dalam pelarian ini merasa sangat lelah. Apalagi Sadiyem yang sebenarnya tidak mempunyai kepentingan apa-apa di dalamnya.

“Kamu memang sahabat sejati, Yem. Aku sangat menyayangimu,” bisikku sambil menatap wajahnya. Dengkur halus samar terdengar.

Aku menelentangkan badan dan lurus menatap langit-langit kamar. Atap tinggi dengan genting berwarna tanah disokong lonjoran kayu jati berada di atasku. Pikiranku melayang ke Ragajampi. Menebak-nebak apakah sekarang Simbok bisa tidur nyenyak. Atau justru terjaga karena memikirkanku. Juga memikirkan nasibnya jika nanti Bapak tahu. Mungkin aku memang egois. Hanya memikirkan diriku sendiri. Namun, sungguh. Jauh dari rumah demi menemui Kang Koesno adalah hal yang sangat indah untukku.

Ah, Kang Koesno. Sebentar lagi kita akan bertemu. Kita sudah sangat sedekat ini. Aku menyunggingkan senyum seolah ia ada di hadapanku. Kulihat ia semakin dekat dan erat. Memelukku dalam dekap hangat saat mataku yang terasa berat terpejam.

Cinta Nyai Ragajampi (READY) Diterbitkan oleh LovRinz PublishingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang