ACHTSE

152 20 1
                                    

Simbok pernah bilang, tidak akan ada tempat ternyaman selain di rumah sendiri. Meski hidup yang kaujalani penuh kesederhanaan, rumah akan selalu menjadi tujuan untuk pulang. Tadinya aku juga berpikir demikian. Meski tidak dekat dengan Bapak, tetapi Simbok adalah pelukan terhangat di saat aku sedang lara.

Namun, aku kemudian merasa rumah adalah neraka. Ketika Bapak tidak menganggapku sebagai manusia yang mempunyai hak menentukan nasibnya sendiri. Tanpa alasan jelas menentang hubunganku dengan Kang Koesno. Lalu ternyata semua itu hanyalah cara supaya keinginannya berjalan sesuai rencana.

“Apa kamu benar-benar mencintaiku?” tanya Kang Koesno sembari menyelipkan sekuntum bunga krisan berwarna kuning di telingaku. Ia memetiknya ketika tadi kami sedang berjalan di sepanjang pematang sawah. Kang Koesno mengajakku berjalan-jalan mengitari Desa Sumbersari, desa tempat di mana dia dirawat.

Aku bergidik ketika merasakan embusan napas Kang Koesno di tengkuk yang terbuka. Rambutku sengaja kugelung. Entah mengapa udara sore ini terasa sangat gerah. Padahal kami berdua tengah duduk di bawah sebatang pohon yang cukup rindang.

Aku terdiam. Tidak tahu cara mengungkapkan perasaanku. Selama ini aku tidak pernah mengatakan cinta padanya. Ketika Kang Koesno menyatakan perasaannya, aku pun merasakan hal yang sama. Kurasa tidak penting lagi mengatakan secara gamblang. Bukankah yang paling penting adalah aku sudah menjadi kekasihnya?

Kang Koesno meraih ujung daguku dan menariknya supaya kami saling berhadapan. Aku menunduk menyembunyikan malu. Tidak tahu mengapa, aku tidak pernah kuat jika harus berpandang-pandangan dengan Kang Koesno. Pemilik alis tebal yang menaungi mata elang itu seolah menguliti hatiku dengan tatapannya

“Katakan, Mirah,” bujuknya. Ia mengangkat daguku lagi supaya aku menatapnya.

“A-apa Kakang belum memercayaiku?” tanyaku lirih.

Kucoba menatap kedua bola matanya yang tengah mencari jawaban di dalam mataku. Kang Koesno tidak menjawab.  Ia justru bergeser lebih merapat ke arahku. Lalu ia menelusuri puncak kepalaku dengan jemarinya. Telunjuknya menarik garis ke arah wajahku. Ia seolah sedang menggambar ulang rupaku. Tidak ada satu inci pun yang dilewatkannya. Ia memahat alisku dengan sempurna. Begitu juga ia melingkari kedua mataku yang kemudian terpejam dan membelai ujung hidung ini dengan penuh kemesraan. Aku membuka mata. Kini wajahnya hanya berjarak beberapa senti saja dari wajahku.

Kurasakan embusan napasnya yang semakin berat. Begitu juga denganku. Aku menggeliat sedikit menahan napas ketika telunjuknya kini menari-nari di garis bibir. Ia berlama-lama di sana. Telunjuknya kini berganti ibu jari. Mengusap-usap dengan sedikit menekan dan beberapa kali menyelipkan ibu jarinya di antara sela bibirku.

“Aku mencintaimu, Mirah. Tolong, jangan pernah tinggalkan aku,” ujar Kang Koesno dengan suara serak.

Aku membuka mulut hendak menjawab, tetapi kemudian terpaku ketika tiba-tiba Kang Koesno menyambar bibir ini dan mengecupnya penuh gairah.

“Rah, Mirah!”

Tiba-tiba aku merasakan semua bergoyang-goyang dengan kencang. Aku membuka mata dan segera bangkit dari posisi berbaring.

“Lindu, lindu!” pekikku panik.

“Heh! Lindu-lindu, lindu mbahmu! Ini aku, Rah! Sadar dulu!” Suara cempreng Sadiyem bagaikan listrik kejut untukku.
Aku tercenung untuk beberapa saat. Kupindai penjuru ruangan ini.

Rumah Kang Sapta. Kesadaranku mulai pulih.

“Sudah? Sadar?” tanya Sadiyem.

Aku menggaruk rambutku yang tidak gatal.

“Jadi, yang tadi bukan lindu?” tanyaku polos.

“Bukan! Aku yang bangunin kamu. Lha kamu ini, lho. Ngelindur teriak-teriak aku cinta kamu, aku cinta kamu. Memangnya kamu mimpi apa, to?” tanya Sadiyem sambil melipat jarit yang dipakainya untuk berselimut.

Aku mengumpulkan kepingan mimpi yang baru saja terjadi. Spontan kusentuh bibirku dan tiba-tiba wajah ini terasa panas.

Ciuman itu ... .

“Wealah, malah senyam-senyum sendiri. Sudah sana mandi, matahari sudah tinggi.”

“Apa? Sudah tinggi?” pekikku kaget.

Sadiyem menunjuk jendela berterali yang masih tertutup. Pada celah di kusen itu aku bisa melihat langit di luar sudah terang.
Aku tergeragap.

“Kamu kok tidak bangunin aku dari tadi?” protesku gusar.

Sadiyem mencebik,” kamu tidur sampai ngorok, masa aku tega bangunin.” Ia berjalan menuju daun jendela dan membukanya.

Aku segera membuka bungkusan yang telah dipersiapkan Simbok kemarin. Kuambil sehelai kebaya lurik dan jarit berwarna gelap.

“Aku mandi dulu,” ujarku sembari melesat ke luar kamar.

Tidak berapa lama, aku sudah merapikan diri di kamar. Dengan penuh rasa heran, aku bertanya pada Sadiyem.

“Yem, kok rumah sepi banget. Kang Sapta pergi?” tanyaku.

“Biasanya, Kang Sapta pergi ke klinik. Letaknya ada di dekat surau. Dia membuka praktik periksa gratis untuk siapa saja yang sedang sakit,” jelas Sadiyem.

Aku sangat kagum dengan kepribadian Kang Sapta. Meski ia keturunan ningrat dan menempuh pendidikan tinggi, tetapi ia tidak lupa pada nasib pribumi.

“Aku nengok Kang Koesno dulu ya, Yem.”
“Iya, sana. Kamu sudah ditunggu. Tadi aku ke kamarnya sama Kang Sapta, antarkan bubur,” jawab Sadiyem.

Aku tak kuasa menahan haru sekaligus malu.

“Aduh, aku banyak merepotkan kalian. Sampai di sini aku malah bangun kesiangan,” sesalku.

“Ndak, lah. Sudah sewajarnya kamu capek. Baru pertama kali berjalan kaki sejauh ini,” hibur Sadiyem.

“Ya, sudah. Kamu temui kekasihmu itu. Aku ke dapur dulu. Tadi aku sudah minta izin untuk masak di sana,” sambung Sadiyem lagi.

“Terima kasih, ya. Nanti aku bantu.”

“Ndak usah. Pergunakan saja kesempatanmu untuk dekat dengan Kang Koesno,” sahut Sadiyem cepat sambil berlalu ke dapur.

Sepeninggal Sadiyem aku segera ke kamar Kang Koesno. Letaknya ada di bagian depan rumah ini. Telapak tanganku terasa dingin dan berkeringat. Aku sangat gugup untuk mengetuk pintu kamarnya.

“Masuk,” sahut suara di dalam setelah aku mengetuk pintu.

Aku mendorong satu daun pintu yang menutup bersisian. Aku segera menemukan wajah yang tidak asing lagi. Ia berbaring di atas kasur dengan telentang. Badannya kaku seolah tidak bisa digerakkan. Beberapa bekas luka mengering terlihat di beberapa bagian tubuhnya.

“Kang-,” ucapku yang kemudian tidak bisa melanjutkan kata-kata.

Aku segera berlari dan menubruk tubuhnya. Tanpa malu aku menyusrukkan wajah di atas dada bidangnya. Tangisku pecah melihat keadaannya. Kang Koesno membiarkanku menangis. Dengan satu tangan ia mengelus kepalaku. Aku menumpahkan semua rindu dan permintaan maaf untuknya.

“Maafkan aku, Kang.” Aku berbisik di antara isak tangis.

“Untuk apa? Kamu tidak pernah salah, Rah,” jawabnya.

“Tapi, Bapak-.”

“Seorang bapak wajar melakukan hal ini. Bapakmu hanya ingin menjagamu. Mungkin jika kelak punya anak perempuan, aku akan melakukan hal yang sama,” potong Kang Koesno.

“Tapi Bapak ingin menjualku pada kompeni,” ucapku masih dalam sedu. Aku menegakkan kepala dan menatapnya.

“Itu persoalan lain, Rah.”  Kang Koesno mengganjur napas.

“Dan pada akhirnya aku berniat membawamu lari. Sebab tidak ingin melihat kekasihku menjadi seorang nyai,” sambungnya dengan mata menerawang.

CATATAN:
Ngorok: mendengkur



Cinta Nyai Ragajampi (READY) Diterbitkan oleh LovRinz PublishingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang