Bersamaan pula Lerra keluar dari kamar mandi dan saling menatap dengan ayahnya. Kini Wina mengerti. Ia terenyuh dan lunglai seketika. Sesuatu mungkin saja terlewatkan tanpa memeriksa lebih jauh. Tetapi, ia masih menyimpan harapan bahwa itu akan berbeda dengan ekspektasinya.
"Papa, Mama?" ujar Lerra kembali ke meja makan.
"Kau?" ujar ayahnya. Wajah ayahnya masih syok.
"Apa kau masih sakit, Nak?" tanya Wina.
"Papa, Mama, Lerra sebenarnya...."
"Kau, bagaimana bisa Lerra?" sergah Faizan.
"Papa kenapa kau bentak anak kita?"
"Maafkan Lerra, Pa, Ma. Maaf Lerra sudah mengecewakan kalian."
"Apa yang kau maksud, Sayang? Sebaiknya kau izin saja, sepertinya kau sedang sakit," kata Wina.
"Bukan hanya izin, Wina. Tetapi dia harus menjelaskan semuanya?" ujar Faizan tampak mulai garang.
"Ayo Lerra, Mama antar ke kamar!" Wina merangkul Lerra. Lerra menahan ibunya.
"Papa, Mama, Lerra mau jujur. Sebenarnya...."
"Ya, kau memang selalu begitu. Sudah tahu masalah lambung tidak bisa makan sambel masih saja, sekarang sakit lagi kan?" potong Faizan.
"Iya, Lerra. Kami tidak ingin kamu sakit lagi," tambah Wina.
Lerra tercekat, ia tak tahu harus berekpresi seperti apa? Sebab, kedua orang tuanya tak menyadari sebenarnya yang terjadi. Ia ingin mengatakan bahwa dirinya hamil tetapi orang tuanya malah berfikir bahwa lambungnya kembali sakit.
"Sebaiknya langsung ke dokter saja!" kata Faizan.
"Ehm, jangan Ayah!" sontak Lerra ketakutan.
"Lho, kenapa sayang, lebih baik mencegah daripada mengobati." Timpal Wina.
"Pa, Bu, Lerra hanya butuh istirahat dan minum obatnya, kan?"
"Baiklah. Ayo kita ke kamar!" ibunya membawanya ke kamar. Sedangkan Lerra, dia masih bisa lega untuk sementara. Dan itu hanya sementara.
***
Pagi yang sama, situasi berbeda, Dev justru merasa lega. Ia merasa seperti baru saja keluar dari goa yang sangat gelap dan menyesatkan. Semua itu berkat teman motornya-Alan-dua hari yang lalu.
"Apa kau gila?" ucap Sello sewaktu di balkon sekolah. Setelah bertemu dengan Lerra, ia memanggil kedua Rintan dan Sello.
"Bagaiman bisa?" tanya Rintan. Kedua sahabatnya ini sontak terkejut dengan cerita tentang kehamilan Lerra.
"Hebat juga kamu," goda Sello.
"Kamu enggak pake pengaman, Bro?" tanya Rintan.
"Mana kepikir. Lagi pula aku melakukannya hanya sekali, tapi sial kenapa saat itu dia masa subur."
"Ternyata kamu normal juga Dev," ujar Sello. Kedua sahabatnya cekikian itu. Mata Dev berputar.
"Apa kalian pikir lucu? Aku butuh solusi bukan ketawaan."
"Sebentar, aku tahu Lerra bukanlah wanita yang mudah. Lalu, bagaimana kamu bisa....?"
"Ena-ena?" timpal Sello.
"Plaaak" Dev melayangkan tamparan ke kepala kedua sahabatnya itu, lalu pergi menuju lapangan.
Di pinggir lapangan, Dev dan Alan seperti biasa persiapan balapan motor. Orang-orang ramai di sekelilingnya. Wanita-wanita sexy pun turut ramai.
Dev bercerita masalahnya kepada Alan. Teman motornya itu lebih banyak mengerti urusan masalah dewasa dibanding Sello dan Rintan.
"Aku punya kenalan yang memiliki klinik khusus untuk aborsi ilegal. Kamu mau?"
"Aman tidak?"
"Jelas saja. Mantan pacarku saja juga datang di sana. Katanya tidak sakit. Bahkan ia mengatakan, 'Kalau begini, aku mau terus ena-ena tanpa pengaman biar lebih ena, hahaha...."
Dev meminta Alan membantunya.
"Tenang, Bro! Udah kutelepon orangnya. Pulang sekolah langsung aja ke sana, okay?"
Bergegas Dev mengirim pesan ke Lerra bahwa ia punya solusi dalam masalah itu. Lerra pun lega.
Pada bersamaan, Hewa dan Juan lewat. Mobil jaz merahnya meluncur melewati perkumpulan anak motor. Mereka baru saja keluar makan siang lalu kembali lagi ke sekolah.
"Bukankah itu Dev?" tanya Juan. Hewa celingukan ke luar jendela melihat keluar.
"Iya, betul."
"Dia anak motor, ya?"
"Iya, tapi semenjak pacaran sama Lerra dia berjanji enggak akan balapan lagi."
"Tapi dia balapan tuh?"
"Iya, ya. Padahal masih ada satu jam pelajaran terakhir."
"Makanya jangan mudah percaya sama cowok begitu," ujar Juan.
"Terus yang dipercaya seperti kamu? Mana mau Lerra sama kamu?"
"Kalau Lerra sama aku. Kamu gimana?"
"Ya udah, sih, ngalah. Tapi kalau kamu mau, sih, sama cewek modal cantik doang tapi oon." Hewa tergelak.
"Jangan lupa nanti ke turnamen."
"Iya, beybeh."
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
KAFNUN
General FictionIa keluar dari ruang aborsi itu dengan wajah pucat dan pias. Tubuh kurusnya masih terbungkus dengan baju putih abu-abu. Lalu, di ruang tunggu seseorang telah menunggunya. "Aku tidak mau ini terulang kembali," ucap Dev. Lalu, mereka berpisah.