TUJUH

665 71 4
                                    

Tangannya cepat melipat sajadah yang baru saja ia gunakan salat subuh. Kemudian, ia letakkan di atas lemari dekat figura ukuran 4R. Tampak dalam foto itu ada tiga orang. Ia, Ibu, dan saudaranya.

Setiap selesai salat subuh, pekerjaan pertama yang ia kerjakan adalah menyiapkan sarapan untuk ibunya. Lalu, membereskan rumah, mencuci pakaian, menjemur kemudian. Jika sudah selesai semua pekerjaan rumah, segera ia ambil air panas dan memasukkannya ke dalam baskom yang sudah berisi air dingin—membuat air hangat.

Wajahnya seperti biasa, mudah tersenyum bahkan saat tidak tersenyum. Langkah kakinya cepat, namun tidak tertancap terlalu kuat. Langkah kaki yang seperti ini menunjukkan jiwa yang tenang dan hati yang lembut.

"Ibu, ayo kita mandi!" ujarnya. Ibunya mengangguk tersenyum. Langsung digendongnya ibunya menuju kamar mandi.

Selesai ia mandikan ibunya, kembali lagi ke kamar. Ia seka dengan kain tubuh ibunya, dikenakannya daster pekalongan lengan pendek, rambut ibunya yang sedikit beruban itu dikeringkannya dengan handuk lalu disisirya, tak lupa juga ia menaburkan bedak ke wajah yang sudah mulai menua. Tugas terakhir adalah menyiapkan sarapan dan obat.

"Sudah, siap-siap sana sekolah, Ibu bisa kok makan sendiri." Ketika ia hendak menyuapi ibunya.

"Baiklah, tapi satu suapan pertama, aaaa!" ia meminta ibunya menganga. Diturutilah keinginannya itu. Lalu, diberikannya piring nasi itu ke ibunya.

Waktu bergulir kira-kira setengah jam, ia sudah siap dengan berangkat sekolah, tentu sudah juga salat duha.

"Ibu, aku berangkat." Diciumnya punggung tangan ibunya.

"Hati-hati di jalan, Nak!"

"Iya, ibuku sayang." Ciuman mendarat ke pipi ibunya. Ibunya hanya mampu tersenyum betapa bahagia memiliki anak sepertinya.

Ia berangkat dengan ransel coklatnya. Seragamnya rapi. Rambutnya disisir menyamping ke kanan.

Setiap ia tersenyum, ada lesung pipitnya. Giginya pun kelinci.

Ia tampan mungkin tidak, hanya sederhana. Namun, wajah manisnya dan perangai lembutnya yang membuat orang-orang menyukainya.

Pagi itu embun masih tersisa di ujung daun ilalang di pinggir jalan yang ia lewati.

Ayam-ayam peliharaan warga kompleknya mulai berkokok dan mengais-ngais makanan.

Komplek rumahnya sekitar dua ratus meter menuju gerbang ke jalan raya.

Beberapa orang yang berpapasan dengannya selalu menyapanya.

"Ali?!" baru saja ia sampai gerbang komplek rumahnya, seseorang memanggilnya dari dalam mobil.

"Juan?" ujarnya dengan wajah senang.

"Ayo, masuk!" pinta Juan, namun dilihatnya wajah kekasih sahabatnya dengan pandangan kurang hangat padanya.

"Makasih, saya naik taksi saja."

"Aih, ayolah masuk!" paksa Juan.

"Maaf, Juan, kali ini tidak dulu. Aku ada urusan sebelum sampai ke sekolah."

"Baiklah. Hati-hati di jalan!" Mereka pun berpisah.

Cepat Ali menyetop sebuah taksi. Ia teringat janjinya dengan seseorang pagi itu. Ia harus bertemu sebelum ke sekolah.

"Ke Jalan Panglima, Rusun 25!" ujarnya kepada supir taksi.

***

Apa yang kalian pikirkan tentang Ali?

KAFNUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang