DELAPAN

635 65 0
                                    

Dev bergegas menaiki tangga sebuah rumah susun. Kakinya cepat menapaki satu persatu tangga dengan membawa tas jinjing di tangan kirinya.

Ketika sudah berada di lantai tiga- rumah susun itu ada lima lantai-ia berjalan mencari pintu nomor 9305, pintu itu berderet lima buah.

Pintu nomor 9305 ada di deretan terakhir. Tanpa menunggu lama, langsung dibukanya gagang pintu itu.

Di dalam kamar 9305, seorang wanita sudah menunggunya sambil menikmati minuman serealnya, pandangannya ke luar jendela-tirai sheer putih terbuka sehingga cahaya pagi menembus kaca jendelanya- menerpa wajah cantiknya.

Wanita itu duduk santai masih mengenakan lingerie. Sementara tak jauh dari duduknya, tampak tempat tidur serba putih itu berantakan.

Dev menghempas kuat tas yang ia bawa ke hadapan wanita itu.

"Uang yang kau mau," ujar Dev. Wanita itu tersenyum tipis, lalu menatap tas itu.

"Okay, thank you!" ujarnya santai setelah menghitung cepat isi tas tersebut.

"Jangan pernah datang lagi! Kau mengerti?" kata Dev tegas.

"Tenang, Sayang! Aku tahu diri kok. Tapi...."

"Tapi apa lagi?" ujar Dev yang masih berdiri.

"Apa kau tidak mau menikmati pagi ini bersamaku?" ujarnya beranjak menyosor dada Dev. Namun, Dev menepis tangan lembutnya itu.

"Hubungan kita sampai di sini, kuperingatkan sekali lagi. Jangan pernah datang ke kehidupanku lagi atau...." Dev menatap tajam wanita itu.

"Aku tak segan-segan menghabisimu, Diana."

"Hahaha!" Diana justru tertawa gelak mendengar ancaman Dev.

"Dev, Dev, kamu itu masih saja seperti dulu, tidak pernah berubah. Kau senang, kau dekati; kau bosan, kau jauhi; kau benci, kau ancam. Dev, jangan pernah lupa aku punya kartu yang sampai saat ini tidak bisa kau elak. Sebelum kau mengancamku, berpikirlah tentang itu!"

"Aku sudah memberikan apa yang kau mau, lalu apa lagi urusan kita?!"

"Urusan kita mungkin selesai, tapi jangan lupa! Kau masih punya tanggung jawab."

"Sudah kubilang biar aku yang urus semua itu, kamu pergi saja dari sini secepatnya!"

"That's the deal!"

Dev kembali turun dari tangga dan menuju mobilnya. Beberapa kali pesan dan panggilan masuk dari Lerra, namun ia enggan menjawab, justru gawainya ia matikan.

Pada saat bersamaan pula, Lerra sangat kesal dengan sikap Dev. Beberapa kali ia hempas gawainya di kasur empuknya.

Sudah dua hari ia tak sekolah. Meski Hewa menuliskan surat izin, ia takbisa tinggal diam. Soal sekolah adalah yang paling utama baginya.

Usianya masih 17 tahun, di usia masih muda seperti itu ia harus menanggung beban berat ulahnya sendiri.

Ia begitu gugup, bingung harus berbuat apa?

Bersambung...

Jangan tegang, ya! Tekan bintangnya dulu😉

KAFNUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang