Penyesalan memang tidak pernah terjadi di awal. Itulah sebabnya Tuhan memberikan akal dan pikiran untuk membekali manusia kala menghadapi suatu pilihan. Ditimbang-timbang apakah baik atau buruk? Namun, bagi Lerra saat itu tidak ada pertimbangan baginya sebab kejadiannya pun begitu cepat.
Sial kau, Dev. Kau menipuku! Umpatnya dalam hati.
Tersungkur Lerra dalam kamarnya. Bersandar di bawah ranjang, kedua tangannya meremas rambut, alisnya mengerut sembari berpejam. Mencari celah di mana ada jalan peluang dari masalahnya itu. Tiba-tiba, "krek." snop pintu kamarnya terdengar ada yang menarik.
"Mama?" ujarnya. Ibunya tersenyum.
"Coba lihat siapa yang datang?" kata ibunya seraya masuk. Lerra mengeryit.
"Om Dokter?" ujarnya kaget. Wajahnya langsung berubah pias.
"Apa kabar Lerra? Kudengar maghmu kambuh lagi, ya? Sampai-sampai ayahmu ini tidak masuk kerja hanya karena khawatir padamu."
Lerra menelan ludah. Ia mengerti bahwa ayahnya sangat menyayanginya. Namun, jika dokter itu memeriksa, tamatlah riwayatnya.
Tuhan, aku pasrah. Aku siap menerima hukuman dari mama dan papa. Apalagi hukuman dari-Mu. Begitulah ucapnya dalam hati sewaktu dokter langganannya bernama Dokter Temmy memeriksa keadaannya.
Lerra berebah di kasur. Dokter Temmy mulai menggunakan check suhu terlebih dahulu. Lalu memeriksa nadi. Dan...dokter paru baya itu mencoba memeriksa kembali. Lelaki putih bersih dan sedikut botak di dahinya mengerut sedikit tak percaya.
Lerra hanya diam tanpa memberikan reaksi, namun dadanya berdegup, khawatir. Ayah dan ibunya menunggu di dekat ranjang sembari memperhatikan Dokter Temmy melakukan tugasnya. Tampak Faizan berdiri santai sembari merangkul bahu istrinya.
Dokter Temmy selesai memeriksa Lerra. Ia pun keluar dari kamar itu.
"Bagaimana Tem, anakku baik-baik saja,'kan?" tanya Faizan.
"Tentu saja, tapi untuk beberapa hari perlu istirahat, minum obat teratur, dan makan yang pedas-pedas jangan dulu."
"Gimana ya, Tem, di rumah enggak makan, di sekolah iya. Tuh, anak emang bener-bener ngeyel," timpal Wina dengan nada sedikit kesal.
"Berarti mulai sekarang kamu harus membuatkan bekal setiap hari biar dia tidak makan di kantin lagi yang makanannya pedas-pedas semua."
Temmy hanya diam sesekali melempar senyum kepada kedua sahabatnya. Taklama kemudian, ia pun beranjak pergi.
***
"Hewa, gimana sekolahmu?" tanya Temmy. Lelaki itu membuka suara saat sarapannya telah selesai. Di seberangnya ada Hewa—anak sulungnya—yang sedang mengunyah rotinya sangat pelan. Di samping kananya ada istrinya dan di samping kiri ada Riska—anak keduanya.
"So far, just fine, Dad," jawabnya dengan santai sesekali mereguk gelas susu di depannya.
"Kalau Lerra?"
"Ya, gitu."
"Gitu gimana?"
"Akhir-akhir ini dia aneh, Dad. Udah tiga hari izin sekolah. Katanya sakit, tapi menurutku enggak juga sih. Bukannya Daddy ke sana, ya?" Temmy mengangguk lalu menghabiskan jusnya.
"Sakit apa dia, Dad?" tanya Hewa lagi. Namun, Temmy memilih diam.
"Ya, biasa. Akibat sering makan sambel di kantin," ujar ibunya menjawabkan. Hewa mengernyit. Ia berpikir bahwa sahabatnya itu sakitnya kambuh lagi.
"Enggak sering juga, sih, bahkan udah enggak ada tuh makan sambel." Kini berganti Temmy yang mengeryit. Ia menghela napas panjang.
"Ya, namanya magh akut, bukan hanya sambel, bisa saja makan yang asem-asem."
"Nah, kalau asem-asem dia sering. Bahkan di kelas saat pelajaran berlangung dia diam-diam makan rujak."
"Tuh, kan. Kamu jangan coba-coba begitu, ya!"
"Iya, Mam."
"Tapi aku pernah lihat Kakak makan rujak di taxi waktu pulang sekolah," kata Riska. Ibunya mendelik kepada Hewa. Riska hanya tersenyum-senyum saja saat Hewa melotot kepadanya.
"Apa yang harus kulakukan?" gumam Temmy.
***
Hededeeh, karena padatnya jadwal akhirnya bisa juga update kafnun. Semoga kalian tidak meraju karena lama menunggu kelanjutannya. Have a nice day, ya.😉
KAMU SEDANG MEMBACA
KAFNUN
General FictionIa keluar dari ruang aborsi itu dengan wajah pucat dan pias. Tubuh kurusnya masih terbungkus dengan baju putih abu-abu. Lalu, di ruang tunggu seseorang telah menunggunya. "Aku tidak mau ini terulang kembali," ucap Dev. Lalu, mereka berpisah.