Jam pelajaran terakhir kosong. Kelas IPA II tampak ricuh. Ada yang ajak lempar, menulis di papan tulis tidak jelas, main tebak kata, bahkan ada yang diam-diam main game di gawai.
Lerra seperti biasa, hanya diam membaca buku sambil merasakan sepoi angin di dekat jendela. Tentunya ia juga diam-diam makan rujak yang ada dalam tasnya. Sementara sahabatnya tampak senyum-senyum sendiri melihat ke dalam tas sekolahnya. Siswi berkaca mata itu asyik berkirim pesan dengan kekasihnya—Juan.
"Bisa turun rankingmu kalo ketahuan dan dilaporin ketua kelas."
"Stttt!" Hewa lekas meminta Lerra untuk diam.
"Hmmm baiklah, up to you!" Lerra beranjak meninggalkan Hewa yang tampak asyik saja dengan gawainya.
Lerra diam-diam mengintip kegiatan belajar kelas agama. Dari ambang jendela ia melihat sosok Ali yang telah menolongnya sedang memimpin teman-temannya membaca mushaf. Guru yang duduk di samping papan tulis, mangguk-mangguk dan tersenyum mendengarkan ayat-ayat yang dibaca para siswa secara serempak.
Lerra menyender kepalanya di batas dinding kelas itu. Koridor panjang penghubung kelas Agama dan IPA yang terpisah oleh IPS tampak lengang. Lerra menghela napas, ada sesak di dadanya. Saat itu juga ia mengelus perutnya. Keinginannya untuk berteman dengan Ali membuatnya ragu.
Bel pulang berbunyi, riuh anak agama bersiap hendak pulang. Terdengar Ali memimpin doa sebelum pulang. Lerra yang tersadar, ia berlari menuju kelasnya untuk bersiap pulang.
"Lerra, cepet!" Hewa melambai di koridor.
"Kemana sih?" tanyanya sembari menyerahkan ransel sekolah Lerra.
"Ke belakang tadi."
"Ya udah, aku pulang duluan, ya. Sudah janjian sama Juan. Bye!"
"Bye!" Dilihatnya punggung sahabatnya itu yang semakin jauh meninggalkannya. Ia mengembuskan napas lalu duduk di kursi panjang. Terpikir olehnya bagaimana jika ia mengatakan kebenaran dirinya kepada Hewa? Ah, tidak pikirnya. Ia tahu betul, akhir-akhir itu mereka tak begitu lekat. Lerra menyadari perubahan sahabatnya semenjak berkencan dengan Juan.
Lerra melihat Dev, Sello, dan Rintan sedang asyik ngobrol berjalan menuju mobil yang terparkir. Lagi-lagi ia menghela napas. Apalah daya ketika Dev kekasih yang ia cintai tidak juga menampakkan perhatian lagi. Desas-desus yang ia dengar, Dev dengan mudah mendapatkan dan dengan mudah pula melupakan.
Ada rasa mengkal di dada menerima kenyataan itu. Dev sama sekali sudah tidak peduli dengannya lagi. Apalagi kemarin malam Dev memutuskannya karena ia tak mau diajak jalan.
Ayolah Lerra, nanti kau pikir aku tidak perhatian denganmu. Kau sudah sehat, kan? Kalau begitu ayo jalan. Kita ke bioskop, gimana? Ada film baru lho, india kesukaanmu. Abis itu ke rumahku. Okay?
Karena Lerra masih kesal dengan sikap Dev, ia memutuskan panggilan telepon itu. Bukannya Dev memaklumi kekesalannya, justru mengirim pesan yang tak disangka oleh Lerra.
Baiklah, kalau itu maumu. Mari kita putus! Kau senang, kan?
Menetes air mata Lerra seketika itu teringat akan perlakuan Dev.
"Lerra?" sapa Ali tiba-tiba datang dari belakang. Cepat Lerra mengusap air matanya di kedua pipi.
"Eh Ali, kamu kok belum pulang?"
"Iya, tadi ke kantor dulu terus sekalian lewat gerbang IPA. Kata anak-anak taxi banyak mangkal di sana."
Lerra bersungut. Dilihatnya Ali menenteng tas kecil pemberiannya.
"Oyah, Lerra, ini...." Ali hendak menyerahkan tas kecil itu.
"Udah jangan dikembalikan, please! Aku kan udah janji kalau kamu terima hadiah terima kasihku itu aku tidak akan ganggu kamu lagi. Tidak akan panggil kamu lagi."
"Mulai sekarang anggap saja aku angin lewat, tidak pernah kenal. Sekali lagi terima kasih sudah menolongku tadi pagi." Lerra terus saja mencecar tanpa memberikan kesempatan kepada Ali untuk bicara. Lerra pergi meninggalkan Ali di koridor sekolah yang sudah lengang dan sepi.
Ali menghela napas. Sebenarnya, ia juga memberikan sesuatu untuk Lerra hanya saja dengan menggunakan tas yang sama.
***
"Assalammualaikum Ma, Lerra pulang," ujar Lerra sembari masuk dan melepas sepatunya lalu meletakkan di rak sepatu di belakang pintu. Ia memakai sandal rumah yang sudah siap di depan keset. Kemudian masuk sembari melepas jaket hodinya karena ia sudah cukup merasa gerah.
Rumahnya tampak sunyi. Hanya ada bunyi detak jarum jam dinding.
"Mama, papa?" ujarnya . Tiba-tiba ia dikejutkan dengan keadaan yang berbeda. Bantal sofa berserakan di lantai. Ayahnya menekur. Sedang ibunya menangis.
"Apa yang terjadi, Ma, Pa?"
"Seharusnya papa yang bertanya, apa yang terjadi pada dirimu?!" ayahnya sontak berdiri. Lerra tersentak karena suara ayahnya yang meninggi. Tampak ibunya meraih tangan ayahnya duduk kembali. Ayahnya menepis.
....
KAMU SEDANG MEMBACA
KAFNUN
Ficción GeneralIa keluar dari ruang aborsi itu dengan wajah pucat dan pias. Tubuh kurusnya masih terbungkus dengan baju putih abu-abu. Lalu, di ruang tunggu seseorang telah menunggunya. "Aku tidak mau ini terulang kembali," ucap Dev. Lalu, mereka berpisah.