Tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya, Lerra pergi ke rumah Dev. Keluar dari rumah tentu saja dengan rencana yang cukup matang. Lerra menyelimuti bantal guling agar ketika ibunya menceknya di kamar seolah seperti orang tidur.
Malam itu, kedua orang tuanya telah masuk kamar. Sebelum kedua orang tuanya berencana datang ke rumah Dev esok harinya, ia hendak mengatakan kejujurannya kepada Dev.
Sesampai di rumah Dev yang mewah itu, ia tak mendapatkannya. Keterangan dari satpam, Dev baru saja pergi dijemput seorang wanita.
Mendengar itu Lerra kembali terasa seperti ditusuk jantungnya. Mengumpat juga percuma.
"Kemana, Pak?"
"Enggak tau, Neng."
Lerra teringat akan Sello dan Rintan. Pertama ia menghubungi Sello tetapi tidak di luar jangkauan. Ia menghubungi Rintan, tersambung.
"Hallo, Rintan, kamu di mana?"
Di rumah, ada apa Lerra?
"Aku perlu ketemu dengan Dev dan ini sangat mendesak. Kusamperin ke rumahnya tapi katanya dia baru saja keluar sama cewek."
Wah, kurang asem tu Si Dev, pasti sama Shella. Gemerisik suara Rintan di sambungan itu.
"Shella? Siapa dia?!" Rasa cemburu membakar hati Lerra.
Sorry, Ra, katanya Dev punya hubungan dengan Shella. Shella itu kerja di bar dekat lampu merah Kemboja.
"Setan Alas!" Lerra langsung mematikan panggilan itu. Rintan yang mencium aroma kemarahan Lerra memanggil Sello tetapi nomornya masih di luar jangkauan. Tanpa menunda ia langsung pergi ke rumah Sello yang bertetangga dengannya.
Hanya satu bar dekat lampu merah kamboja. Bar Carlotte. Dengan langkah pasti Lerra masuk ke dalam bar itu. Gesit ia mengedarkan pandangannya mencari sosok Dev.
Tampak Dev tengah duduk bersama seorang wanita dengan rok mini dan baju sepusar begitu intim.
"Di sini kau rupanya, Dev?!"
"Lerra?" wajah Dev langsung berubah tak percaya dengan kedatangan Lerra.
"Siapa dia?" tanya Shella sinis. Namun, Lerra tak mempedulikan wanita itu. Ia justru menarik paksa lengan Dev keluar dari bar itu.
Di luar bar, parkiran yang sudah penuh dengan mobil. Di sela-sela parkir yang bejibun Lerra mulai marah. Dev menariknya masuk ke dalam mobil dan pergi dari Carlotte Bar.
Di pinggir jalan yang sepi Dev menghentikan mobilnya. Mereka mulai bertengkar.
"Jawab Lerra!"
"Dev, aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Ali. Aku baru saja kenal dia tadi pagi itu pun karena dia nolongin aku. Ada dua preman menguntitku tadi pagi yang sampai saat ini aku belum tahu mengapa? Apakah mereka itu memang penjahat atau ada yang orang jahat nyuruh mereka? Itu adalah kejujuran pertama."
Dev masih tampak tak percaya.
"Dan kejujuran kedua," ujar Dev.
"Dev, aku masih mengandung anakmu."
"A-a-apaaa?"
"Iya, Dev. Aku tidak bisa lakukan itu Dev. Aku tidak mau menjadi seorang pembunuh."
"Itu artinya kita akan mati berdua, Lerra."
"Dev, sebelum terlambat mari kita jujur dengan orang tua kita. Kumohon Dev!"
"Gila kau, Lerra. Tamatlah riwayat kita kalo begini, Lerra. Astaga!" Dev mengacak rambutnya.
"Kau benar-benar pengecut. Baiklah, kalau kau tidak mau biar aku yang melakukannya." Dev terkesiap dengan keputusan Lerra. Ia tampak sangat kebingungan. Sementara Lerra turun dari mobiknya dan melangkah cepat berlari menyeberang jalan.
"Lerra, tunggu!" Dev terus memanggilnya dari belakang. Lerra tak mempedulikan.
"Lerra, berhenti Lerra. Jangan lakukan itu, tamatlah riwayat kita." Dev terus mengejar Lerra yang berjalan amat cepat.
Tanpa mempedulikan Dev yang mengejarnya, Lerra menyeberang jalan.
"Lerraaaaaa?!" Dev berlari ke arah Lerra dan menariknya namun tak sempat.
"Buukkkkkk!" sebuah mobil hitam melintas cepat.
"Lerraaaaaaa!" Teriakan itu dalam sekejab hilang tenggelam dalam suara ambulan dan ricuhnya gerumunan orang-orang yang mengelilinginya.
Sejauh seratus meter, Lerra tersungkur tiada berdaya. Tangisnya menyeruak begitu saja, nafas tersengal, memburu rongga dada, teriakannya menusuk batang tubuh Lerra yang baru saja menghantam flyover rasanya itu lebih sakit. Ia tak perduli, ia hanya ingin Dev baik-baik saja.
...
Have nice day, readers. Jangan lupa tekan bintang dan komen ya. Thank you.😊
KAMU SEDANG MEMBACA
KAFNUN
General FictionIa keluar dari ruang aborsi itu dengan wajah pucat dan pias. Tubuh kurusnya masih terbungkus dengan baju putih abu-abu. Lalu, di ruang tunggu seseorang telah menunggunya. "Aku tidak mau ini terulang kembali," ucap Dev. Lalu, mereka berpisah.