III

136 35 20
                                    

Setelah satu harian penuh kemaren aku habiskan di kediaman keluarga mahadevan untuk merayakan Ulang tahun Tante Karin.

Sekarang aku harus di sibukkan lagi dengan kegiatan awalku, merevisi ulang naskah ceritaku yang akan dijadikan novelku berikutnya.

Untuk novelku yang satu ini, aku memiliki banyak perbaikan. Belum lagi lamanya menunggu naskahku di terima. Walau, kalau aku hitung-hitung saat aku nengirimkan naskahku, hanya butuh dua bulan lebih sebelum naskahku diterima, tapi penerbitan Novelku yang satu ku ini berbeda.

Untuk novel-novelku sebelumnya aku hanya akan menunggu satu bulan lebih, belum lagi Penerbit sangat mengagumi karyaku itu.
Penerbitan Novelku kali ini pokoknya sangat-sangatlah menguras tenagaku.

Dan karna aku merevisi naskah ceritaku dari awal, jadilah seminggu kemaren aku sama sekali tidak keluar apartemen.

Aku hanya menanggapi ini semua sebagi pelajaran, agar aku tidak lalai dan menyepelekan semuanya lagi dan mengganggap aku sudah sangat mengerti dalam bidangku ini.

"Woy, ra!. Tumben lo nulis di sini, biasanya juga lo nggak suka sama yang ramai-ramai gini kalau lagi nulis? Nggak traveling lo?" Akhirnya ada yang sadar kalau aku di sini. Bukan apa-apa aku ini adalah penulis travel writer. Aku akan traveling kemana saja yang buat aku ngerasa bebas dan ngerasa nggak ada beban dan saat itulah aku bakal nulis.

Kalau aku penulis travel writer bukan berarti aku akan selalu berpergiankan?, Ada saatnya aku ingin bermalas-malasan di apartemen atau berjalan jalan di sekitaran sini. Seperti sekarang aku sedang berada di salah satu cafe.

"Nanya nya satu persatu kampet!" Bukannya mengulang pertanyaan nya satu persatu lagi, Melisa temenku waktu menduduki bangku SMA ini malah senyum senyum, yang menurutku membuat wajahnya jadi menyeramkan. Nggak ada angin nggak ada hujan malas senyum senyum kan aneh.

"Lo kenapa senyum-senyum, mel?" Tanyaku takut. Ini anak kenapa ya Tuhan." Lo dateng ke sini karna mau ketemu Pak Galih kan?!" Tuduh Melisa masih tersenyum.

Aku lupa memberi tahu ini adalah salah satu cafe milik Mas Galih. Untuk tuduhan Melisa itu tak benar adanya. Banyak orang yang salah pahan dengan hubunganku dan Mas Galih, karna kami--aku dan Mas Galih sangat dekat, banyak orang yang berfikir kami ini sepasang kekasih.

Melisa ini salah satu kariawan di cafe Mas Galih ini. Jadi tak jarang aku sering bertemu dengannya. Sebenarnya aku dan Melisa tidak terlalu dekat sewaktu SMA. Aku anak ips dan dia anak ipa. Karna aku yang memang sering berkunjung ke cafe ini jadilah kami dekat.

"Nggak!, Gue kesini karna mau nongki-nongki cantik aja. Lagian kemaren gue ketemu di resto" jawabku santai sambil memainkan sedotan di minumanku.

"Ketemu di mana? Kapan? Loh udah jadiankan sama Pak Galih!" Nih anak kenapa mulutnya nyosor mulusih. Nah kalau Melisa ini mengira aku dan Mas Galih masih masa PDKT an. Kemarin sebenarnya dia mengira kami berpacaran, tapi setelah kujelaskan Melisa malah berkata kami berarti masi PDKT. Aku nggak ngerti jalan pikir Melisa itu gimana.
Aku hanya mengeleng sebagai jawaban.

"Ohhh, kirain udah resmi. Gue boleh duduk di sinikan?" Belum aku jawab dia sudah duduk aja sambil menggeser laptopku sedikit kearahnya dan membaca beberapa kalimat.

"Cerita kali ini tentang apa, ra?" Mata Melisa tak terlepas dari laptopku bahkan saat bertanyapun dia tetatap hokus kelajar laptop.
" Jangan dibaca!, Entar lo baca kalau udah jadi novel aja" kurebut laptopku dan menutupnya.
Buakan apa-apa Melisa ini salah satu dari sekian banyak pembaca novelku. Kalau dia membacanya berarti berkurang satu yang akan membeli novelku nanti.

"Alah, celit amat lo!, Ngomong-ngomong gue punya berita bahagia" entahlah aku yang aneh atau Melisa, yang pasti aku mau muntah melihat ekspresinya sekarang ini.

Aku Banget Ini?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang