VI

85 22 10
                                    

"Mas nggak pergi kerja?, Udah jam delapan loh" aku baru sadar sedari tadi Mas Tama belum pergi ke-rumah sakit. Inikan bukan hari libur, Mas Tama tampaknya juga baik-baik saja, kenapa tidak bekerja seperti biasanya coba?.

"Saya tidak kerumah sakit. Klinik juga saya tutup" jelas Mas Tama singkat. Aku hanya mangut-mangut saja pertanda mengerti.
Aku tidak terlalu mempedulikan masalah perkerjaan Mas Tama, yang kutau hanya Mas Tama adalah salah satu Dokter spesialis bedah Ortopedi, dirumah sakit besar Jakarta selatan.

"Kamu nggak salah kamar, Ara?. Kamar Tirta di sebelah, bukan di sini. Gih sana!, saya mau mandi!"

"Nggak usah ngusir dong Mas, lagian aku tuh kangen sama kamar Mas. Bayangin udah berapa lama aku nggak pernah masuk kesini lagi" aku masih tetap berjalan santai melihat seisi kamar Mas Tama yang cukup besar untuk ukuran seorang pria lajang.

"Mas!, Kalau di sini ada meja rias, disini lemari satu lagi, terus warna yang monoton ini berubah sedikit lebih berwarna, aku mautuh nikah sama Mas" celetukku asal ceplos, entah apa maksud dari perkataanku tadi. Tapi ekspresi wajah Mas Tama setelah itu bembuatku sadar, kalimatku barusan pasti ada yang salah.

"Kata-kata aku salah yah Mas?. Aku bercanda kok, suer. Aku cuma mau nyampein kalau seandainya kamar Mas Tama sedikit berwarna lagi, pasti lebih enak dilihatnya" jelasku takut. Ekspresi Mas Tama sekarang tidak bisa di anggap main-main. Dengan mata yang menatap aku lurus, netra matanya yang sangat tajam itu membuatku berkeringat dingin seketika.

Mas Tama sama sekali tidak membalas ucapanku, tetapi nentra coklat tuanya sama sekali tidak berpaling dari mataku. Aku semakin deg deg'kan. Beritahu aku di mana letak kesalahan kalimatku tadi!.

"Eh, Mas. Mas yah? yang ajak Mamah buat dateng kemari?. Kok tiba-tiba Mamah paksa-paksa aku sih temenin dia ke sini?" Untuk pengakhiri saling tatap-menatap ini aku mencari topik lain. Sungguh aku tak tahu harus apa. Ku garuk leher belakangku yang sama sekali tidak gatal. "Heheheh, aku keluar ajadeh Mas, kelihatannya Mas mau mandi bangetkan? Aku pergi dulu Mas"

Buru-buru aku keluar kamar Mas Tama, entah mengapa saling menatap seperti tadi membuat aku tak bisa berpikir jernih. Aneh yang kurasakan saat netra coklat tua cantik Mas Tama melihatku tampa berpaling, rasanya deg-deg serr gitu. Aneh!!.

Aku terus berjalan tampa tau tujuan dan tau-tau sekarang aku sudah ada di atas tangga saja, menuju ruang tamu. Benarkan, membayangkan tatapan Mas Tama tadi saja membuat aku linglung, apalagi lebih dari itu coba?.

Aku yang sadar bukan ini tujuanku, berniat berputar balik lagi menaiki tangga menuju kamar Tirta, sepertinya urusannya dengan kekasihnya itu sudah selesai.

Tapi belum lagi aku mulai menaiki satu persatu anak tangga, aku mendengar obrolan Tante Karin dan Mamah dari bawah, tepatnya di ruang tamu.

"Nanti saya akan membicarakannya dengan Chita bu"

Itu suara Mamah, tapi mereka membicarakan apa?. Namaku juga di sebutkan tadi.

"Iya, mudah mudahan keinginan kita ini terpenuhi yah, bu"

"Ra!!"

"EH!!, KAMPRETT!!" sumpah aku sangat terkejut. Untung tubuhku memiliki respon yang baik, hingga bisa tetap menyeimbangkan gerak tubuhku. Kalian harus ingat aku masih ada di atas tangga sekarang.

"Lo, apa-apaan sih ,ta?!. Kalau gue jatuh gimana?" Aku emosi sekarang, ditambah lagi dengan cengiran Tirta menambah emosiku. Bukannya meminta maaf telah mengejutkanku, dia malah cengar- cengir menatapku tampa rasa berdosa.

"Lucu banget sih lo kalo terkejut, seneng gue liatnya" kata Tirta masih terus tertawa, malah sekarang dia sudah memegang perutnya menahan geli. Memang sahabat laknat!!.

Aku Banget Ini?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang