Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hari itu, langit terbentang luas tanpa secuil pun awan menghalangi kilauan mentari. Sinar keemasan menari di atas rerumputan yang bergoyang lembut diterpa angin. Kicauan burung terdengar merdu, seolah melantunkan syair kebahagiaan yang menggema ke seluruh penjuru dunia. Seandainya ada yang mau mendengar, mungkin kehangatan itu bisa menyusup ke dalam hati siapa pun yang tengah membutuhkannya.
Namun, di suatu sudut dunia yang tersembunyi dari cahaya, kebahagiaan tak pernah singgah.
Di dalam ruangan yang sunyi dan lembap, dinding-dindingnya dipeluk kegelapan yang terasa begitu pekat. Seolah kehangatan enggan menjejakkan kaki ke tempat ini, membiarkan kesuraman berkuasa sepenuhnya. Bayangan-bayangan menggeliat di sudut-sudut sempit, menari perlahan dalam hening yang menyesakkan. Aroma logam samar masih melekat di udara, bercampur dengan dinginnya kesepian yang tak berkesudahan.
Di sana, di sudut ruangan yang terabaikan, seorang wanita duduk membeku. Matanya yang kosong hanya terpaku pada dinding di depannya—dinding yang dulu pernah menjadi kanvas bagi tangannya yang gemetar. Ia pernah melukis di sana, mencoba membunuh kebosanan dengan goresan warna. Namun, keterbatasan menghentikannya. Tak ada cat, tak ada kuas. Hanya ada dirinya dan sepi yang menggigit. Maka, dengan jemari yang lunglai, ia melukai kulitnya sendiri, membiarkan darah menetes perlahan, menciptakan jalur-jalur merah di permukaan yang dulu bersih.
Tapi itu dulu.
Sekarang, bahkan keinginan untuk mengusir kebosanan pun telah sirna. Tak ada lagi dorongan untuk melakukan apa pun selain menunggu. Menunggu akhir, menunggu kehampaan menelannya sepenuhnya.
Berulang kali ia mencoba pergi, meninggalkan dunia yang terasa begitu kejam. Namun, setiap usaha hanya berakhir pada kegagalan yang menyesakkan. Ratusan kali mencoba, ratusan kali terjatuh kembali. Takdir seolah menertawakannya, mengikatnya erat dalam jeratan yang tak terlihat.
Ia tidak lagi merasa hidup, tetapi ia juga belum benar-benar mati.
Sejenak, ia mengalihkan tatapan pada lengannya sendiri. Garis-garis luka yang telah sembuh, jejak jahitan yang tak lagi terasa perih. Tubuhnya menjadi kanvas dari penderitaan yang tak bisa dihapus. Ia ingin bertanya, pada siapa pun yang mungkin bisa mendengar: "Mengapa?"
Mengapa ia masih ada di sini? Mengapa dunia masih menahannya? Mengapa kematian begitu enggan menghampiri?
Tapi tak ada jawaban.
Hanya sunyi yang menemani. Hanya gelap yang berbisik lembut di telinganya.
Dia ingin pergi.
Namun, entah kenapa, dunia belum juga melepaskannya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.