Jumat ini, Camora akhirnya akan mencoba kelas tambahan melukis.
Sebenarnya, ia tak pernah benar-benar tertarik dengan seni lukis, apalagi berharap banyak dari kelas ini. Namun, seperti biasa, ia menjalani semua yang telah dijadwalkan tanpa terlalu banyak berpikir.
Kemarin, ia sudah mengikuti kelas puisi. Tak ada yang mengejutkan, kemampuannya dalam menulis puisi memang tak diragukan lagi. Hanya saja, ada rasa jenuh yang perlahan ia rasakan.
Ia selalu memilih kelas tambahan dengan pertimbangan matang. Mengambil kelas di luar keahliannya adalah langkah berisiko, terlebih untuk seorang Leabergsian. Semua orang tahu betapa ketatnya standar di sekolah ini.
Ingat kasus siswi kemarin?
Itu adalah bukti bahwa kelas tambahan bukan sekadar pilihan biasa, melainkan tantangan yang harus ditaklukkan.
Saat ini, Camora berjalan bersama Miss Rosie menuju Studio Lukis di lantai tiga. Jaraknya cukup jauh dari lounge room, tapi gadis itu tidak keberatan. Langkahnya tetap stabil, tanpa tergesa maupun ragu.
Sejujurnya, ia tidak pernah meminta bantuan Miss Rosie untuk mengantarnya ke sana. Ia juga tidak pernah secara spesifik memberi tahu siapa pun tentang jadwal kelas tambahannya. Hanya Ivy dan Milan yang mengetahui mata pelajaran yang akan diambilnya, tetapi tidak lebih dari itu.
Namun, hari ini, Camora kembali diingatkan akan sesuatu yang nyaris ia lupakan.
Ia selalu diawasi.
Sesaat, ia merasa bodoh karena sempat terlena dengan pikiran bahwa dirinya sedikit lebih bebas di sekolah ini.
"Camora."
Miss Rosie memecah keheningan.
"Bagaimana perasaanmu setelah bersekolah di sini?"
Pada saat yang bersamaan, mereka sampai di depan studio lukis.
"Baik," jawab Camora singkat. Ia menatap balik Miss Rosie yang tersenyum lembut kepadanya.
"Good. Tell me if you need some help, okay?"
Ada sesuatu dalam nada suara Miss Rosie yang membuat Camora terdiam sejenak. Sekilas, gadis itu bisa merasakan ketulusan dari kata-kata sederhana itu.
"Terima kasih," ucapnya pelan.
Miss Rosie mengangguk kecil sebelum mengarahkan Camora masuk ke dalam studio. Tidak ada siapa pun di dalam. Suasana ruangan terasa sepi, hanya terdengar langkah kaki mereka berdua yang menggema di antara peralatan melukis yang tersusun rapi.
Wanita itu berjalan ke salah satu ruangan kecil di dalam studio dan mengetuk pintu beberapa kali.
"Tuan Wilson, apakah Anda ada di dalam?"
Tidak lama, pintu terbuka. Seorang pria paruh baya berdiri di ambang pintu, usianya mungkin sekitar lima puluh tahun. Tatapannya tajam dan penuh ketelitian, seolah mampu menilai seseorang hanya dengan sekali pandang.
"Ada apa, Miss Rosie? Anda sampai repot-repot kemari."
Miss Rosie kemudian memperkenalkan Camora kepada pria itu, menjelaskan bahwa gadis ini akan mencoba melukis hari ini sebagai bahan pertimbangan untuk kelas tambahannya. Ia juga meminta pria bernama Wilson itu untuk membimbing Camora selama sesi ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Shadowlight In Bloom
Teen FictionCamora tumbuh dalam keterasingan. Terpisah dari orang tuanya, dari rumah, dari masa lalu yang tak bisa ia ingat, namun terus menghantuinya. Ia tak tahu alasan di balik jarak itu. Tak tahu mengapa hidupnya terasa seperti labirin tanpa ujung. Se...