'Brak'
Pintu besar itu terbuka dengan kasar, sosok lelaki dengan penampilan sedikit berantakan muncul di ikuti beberapa orang berjas hitam dibelakangnya.
"Lagi?" pertanyaan penuh sarkas itu keluar dari seorang pria yang tengah duduk di meja kebesarannya. Tatapan tajam ia layangkan pada salah satu pria berjas hitam yang berdiri di depan pria berjas hitam lainnya.
"Sepertinya kalian benar-benar ingin mati, mengurus satu orang saja tidak bisa." lanjutnya.
"Maafkan kami tuan," tak ada lagi pembelaan yang keluar. Ini sudah ke-tiga kalinya mereka kecolongan dan tentu itu benar-benar memicu amarah sang tuan besar. Pemuda itu walaupun hanya sendiri dan tanpa bekal senjata apapun, ia mampu melumpuhkan penjagaan ketat mereka.
"Buck, urus mereka," titah pria itu pada sekretaris pribadinya, buck yang sedari tadi berdiri tak jauh dari meja kebesarannya. Kegiatan mereka berdua yang sedang membahas hal penting itu jadi tertunda karena hal ini.
"Baik tuan," ia menunduk sebentar lalu keluar dari ruangan itu diikuti para pria berjas hitam tadi.
"Let me," keheningan melanda ruangan penuh sesak itu, tidak ada respon apapun dari sosok di depannya selain helaan nafas kasar yang keluar.
"I've already said no more talk about this Nic." Nicolo, pria itu mengepalkan tangannya menahan emosi atas jawaban pria di depannya. Mengusap wajahnya kasar, lelaki itu menatap dengan penuh rasa putus asa. Sudah beberapa hari ia berusaha dengan keras agar bisa mendapat apa yang ia inginkan melalui pria itu, tapi sampai sekarang tidak ada hasil apapun. Pria itu berpegang teguh atas jawabannya pada pertemuan pertama.
"Saya mohon..."
Xavier, pria itu menatap penuh bimbang lelaki didepannya. Ia juga tak kalah frustasinya. Wajah yang selalu tampak dingin kini terlihat sungguh menyedihkan. Ia sangat tahu betapa kuat keinginan lelaki itu hingga sampai se kacau ini. Tapi disisi lain ia mengkhawatirkan hal yang akan terjadi jika dia memberikan jawaban seperti yang lelaki itu inginkan.
"Jangan mengecewakanku," setalah mengatakan hal itu, Xavier bisa melihat ada harapan besar yang terukir di wajah lelaki di depannya.
"Jika sesuatu buruk terjadi, saya tidak akan mengizinkanmu bahkan untuk melihatnya saja." lanjut Xavier. Keputusan yang ia ambil, ia harap merupakan keputusan yang tepat. Juga, melihat kegigihan lelaki itu membuat rasa percaya hinggap dalam dirinya yang sebelumnya hanya ada keraguan besar.
"Saya tidak akan membiarkan hal buruk itu terjadi." Nicolo, lelaki itu berjanji dengan tekad yang begitu kuat dan Xavier tahu lelaki itu tak pernah melanggar janjinya.
~
"Sayang jangan berlari seperti itu," sahut seorang wanita cantik dengan dress putih yang sangat cocok dengan kulit putih susunya. Tak jauh darinya seorang anak perempuan sedang berlari begitu riang mengikuti arah kupu-kupu yang sedang beterbangan.
Di taman bunga yang luas itu hanya ada mereka berdua yang begitu menikmati kebersamaan. Hanya ada mereka dan alam.
"Mommy, look!" sahut gadis kecil itu, memperlihatkan kupu-kupu yang sedang hinggap di tangan kecilnya. Senyum gadis kecil itu terukir begitu indah. Ia merasa terlampau bahagia saat ini, Mommy dan kupu-kupu yang merupakan hal yang begitu ia suka dan saat ini mereka berdua bersamanya.
"Cantik, seperti Amor." ucap sang mommy, mengelus pelan rambut anaknya dengan penuh kasih sayang.
"Ti Mommy," balas gadis kecil itu membuat kekehan muncul dari sang Mommy. Rasa sedih tiba-tiba merasuki dirinya, rasa sedih dan gelisah membuat senyumnya kini pudar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Shadowlight In Bloom
Teen FictionCamora tumbuh dalam keterasingan. Terpisah dari orang tuanya, dari rumah, dari masa lalu yang tak bisa ia ingat, namun terus menghantuinya. Ia tak tahu alasan di balik jarak itu. Tak tahu mengapa hidupnya terasa seperti labirin tanpa ujung. Se...