Sebelumnya Papa Moon emang udah menduga kalau sikap istrinya itu ada hubungannya sama masa lalu. Maklum, Mama Moon dari kecil kurang kasih sayang ㅡbahkan pernah liat ibunya hampir dibunuh sama ayahnya sendiri. Wajar kalau keadaan mentalnya bisa kacau sewaktu-waktu. Jalan keluar satu-satunya cuma terapi.
Sekarang, PR Papa tinggal satu;
gimana cara bujuk Mama konsultasi ke dokter jiwa tanpa memancing prahara rumah tangga?
*****
Besok paginya papa Moon bikin sarapan. Cukup sen
dirian soalnya Mama Moon kemusuhan abis sama dapur, dan itu menurun ke anak mereka. Jadi nggak ada yang bisa diandalkan selain diri sendiri. Pagi ini harus bikin sarapan yang enak biar mood Mama bagus dan bisa dibujuk konsul ke psikiater."Beneran waktu hamil aku Mama makan testis banteng?" tanya Mark ke ibunya sambil menunggu sarapan matang.
Mama Moon mengangguk. "Iya. Makanya kamu lahirnya cakep gini. Walaupun kadang bau asem."
"Apa hubungannya?" Mark mikir keras.
"Testis banteng itu lambang laki-laki perkasa," kata Mama Moon.
"Ooh... pantesan mama perkasa. Enak nggak Ma?"
"Hm... lebih enak daripada pankreas anak sapi sih," Mama Moon mencoba mengingat ulang rasanya.
"Tapi itu kayak bukan makanan," Mark bergidik. "Daging banteng aja nggak kebayang rasanya kayak apa."
Mama Moon nggak terima seleranya dibilang aneh. "Jangan salah, harganya mahal tau. Di restoran China banyak menu testis banteng. Mau testis yang lain juga ada ㅡsapi, kambing, kudaㅡ"
"Udah jangan dibahas terus, bikin nggak nafsu makan aja," Papa Moon menyela, membawa dua piring nasi goreng kimchi. "Nih makan nasi goreng normal."
"Terus maksudnya selera makananku nggak normal??" protes Mama.
"Nggak gitu, cuma ekstrim aja," jawab Papa kalem, padahal dalam hati sebenernya geregetan. Nggak lupa memasang senyum rayuan maut.
Mark menghela napas, masih kecil udah banyak pikiran. "Adek bayinya nanti laki-laki apa perempuan ya?"
"Harus laki-laki," sambar Mama tanpa berpikir dua kali.
"Kenapa?" tanya Mark bingung.
Mama Moon menatap anak laki-lakinya serius. "Kalo adik kamu perempuan, nanti Papa nggak sayang lagi sama kita. Soalnya kan sebelumnya nggak ada anak perempuan di rumah ini."
"Hmm... iya juga," gumam Mark, gampang banget diprovokasi.
"Hehㅡ apanya yang iya juga?!" sela Papa Moon. "Udah cepetan makan, nanti nasi gorengnya keburu dingin!"
"Kalau bayinya laki-laki, gimana kalo kita bunuh aja?" Mama Moon pantang menyerah ngajak ngomong anaknya.
"Ih jangan dibunuh Ma, suruh masuk aja lagi," saran Mark.
"Nggak bisa gitu, jadi kita bunuh aja."
"Jangan, ya udah biarin aja hidup nanti pas gede lumayan bisa disuruh-suruh ke warung."
"Bunuh aja."
"Ya udah boleh deh, tapi diputer-puter dulu sebentar kayak adiknya Haechan hehehe."
Papa Moon memijat pelipis. Obrolan anak dan istrinya udah makin nggak sehat. Tapi Mark sih cuma anak kecil, ikut-ikutan aja kata ibunya. Jadi yang harus dibawa ke psikiater harus Mama Moon dulu.
Selesai makan, Mark pergi ke kamarnya buat mandi. Waktunya Papa Moon membujuk istrinya biar mau dibawa ke rumah sakit. Sebelum ngomong udah berdoa dulu dalam hati. Semoga mau semoga mau semoga mau.
"Kamu kan hamil, jadi mulai sekarang harus rutin periksa kandungan kan?" Papa Moon membuka topik.
"Iya lah, walaupun ini anak nggak diinginkan, tetep harus lahir sehat," sahut Mama.
"Jangan bilang gitu dong," kata Papa sambil ketawa garing. "Selain kesehatan kandungan, kesiapan dan kesehatan psikologis juga penting."
"Kata siapa?"
"Kata kenalanku yang dokter."
"Langsung aja, maksudnya kamu mau apa?"
Papa cengengesan. "Konsul ke psikiater juga yuk? Biar kamu bisa terima kehadiran anak itu dan siap jadi ibu lagi."
Sejenak Mama Moon berpikir, terus langsung buang muka. "Nggak mau. Buang-buang waktu, mending aku nonton live online shop."
"Yaaah, ayo dong, masa nggak mau??" bujuk Papa Moon.
"Nggak ah, males."
"Demi kamu juga loh."
"Nggak."
"Bisa sekalian jalan-jalan."
"Nggak."
"Mau."
"Nggak."
"Harus mau."
"Ish!" desis Mama, lama-lama kesal juga. "Ya udah, tapi ada syaratnya."
"Apa?" Papa langsung antusias.
Senyum lebar merekah di wajah Mama Moon. "Aku lagi browsing makanan, terus ada ini." dia menunjukkan layar ponsel ke suaminya. "Liat deh, keliatannya enak 'kan?"
Papa Moon mengernyit saking bingungnya liat makanan yang terpampang di layar ponsel.
"Ini... apa?" gumamnya."Penis domba."
"H-hah?"
"Sate penis domba. Liat dong, di situ kan ada tulisannya ㅡbisa baca nggak sih?!" tunjuk Mama.
"I-iya, udah baca kok. Tapi kirain salah liat," ujar Papa.
Mama Moon menggeleng. "Nggak sayang, beneran ini penis domba. Aku mau ini."
"T-tapiㅡ"
"Kalo nggak boleh, aku nggak mau ke rumah sakit."
Diancam, Papa Moon cuma bisa mengacak rambutnya dengan kesal. "Ishㅡ ya udah deh, iya! Aku mandi dulu, habis itu mau nganterin Mark sekolah terus cari penis domba!"
Mama senyum lebar lagi. "I love you sayang~"
"Bodo amat," ketus Papa Moon sambil ngeloyor pergi.
"I love you! Heh, aku bilang I love you nih! Aku bilang I love you harusnya kamu jawab I love you too! HEH! BILANG I LOVE YOU TOO DULU BARU PERGI! BILANG DULU! BILANG NGGAK?! I LOVE YOU! JAWAB I LOVE YOU TOO CEPET! HEHㅡ DENGER NGGAK SIH?!?"
Ada yang mau sate penis kambing?
*Ps: semua makanan ekstrim yang disebut di cerita ini emang ada beneran, jadi nggak bermaksud makananshamming wkwkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
The Moons (Psycho But It's Okay | AU)
Conto"Aku cuma mau satu anak laki-laki. Kalau telanjur ada anak lagi, anak itu aku bunuh nanti." #PsychoButItsOkay 10-20 years later alternative universe ©pinkishdelight