Terhitung 2 hari setelah Jimin sadar, pemuda itu juga sudah mulai dapat berkomunikasi.
Ia mulai sadar jika yang ia lalui semuanya adalah bunga tidur. Entah itu tentang Taehyung maupun keluarganya.
"Hyung mau?" Jungkook menyodorkan sepotong apel kearahnya, sebagai respon Jimin hanya mengeleng dan menarik senyum tipis.
Rasanya mual ketika ia mulai memasukkan makanan ke perutnya, dan setelah itu semua akan berakhir ia mutahkan.
Kedua orang tua mereka tengah mendatangi rapat bersama para kolega, sehingga hari ini Jimin hanya bersama Jungkook.
Ada kalanya Jimin khawatir tentang kesehatan si bungsu yang harus menjaganya, tapi tak ada pilihan lain lagi bagi Jimin bahkan untuk bergerak saja terasa sangat sulit.
"Cooky!" Jimin menolehkan kepalanya dan menatap sang adik yang sibuk dengan kupasan apelnya.
"Ne, Hyung butuh sesuatu?" Jungkook baru saja akan bangkit dari kursinya sampai tangan Jimin menahannya.
"Apa ada masalah hyung?" Si bungsu kembali duduk dan mendekatkan diri pada sang kakak.
"Bisakah aku bertanya? Apa yang sebenarnya terjadi, maksudku bukankah seharusnya aku menjemput Taehyung di bandara?" Pertanyaan Jimin membuat raut wajah Jungkook berubah drastis namun terlihat jelas jika pemuda itu berusaha tersenyum.
"Hyung belum sepenuhnya pulih, sebaiknya kita bicarakan ini saat hyung sembuh nanti."
"Cooky, tak bisakah kau mengatakannya padaku?" Jungkook hanya diam pemuda itu nampak berpikir, akankah ia harus menceritakan semua.
"Ingatan terakhirku adalah aku harus menjemput Taehyung di bandara pada 23 Desember dan saat ini, kalian mengatakan jika ini bulan Februari. Aku ingin tau apa yang terjadi selama hampir 2 bulan ini."
Jungkook masih diam, dan semakin menundukkan kepala.
"Hyung koma, itu saja." Ujar Jungkook lirih.
"Jungkook-ah....."
"Selamat siang!" Seseorang yang tiba membuat Jungkook bernapas lega setidaknya sang kakak tidak terus menuntut jawaban darinya.
"Bagaimana perasaan mu hari ini Jimin-ah?" Pria berjas putih itu mulai sibuk menempelkan stetoskop yang ia bawa pada dada pasiennya.
"Cukup baik, hanya sesekali kepalaku terasa pening." Jimin mengusap tengkuknya sekilas sembari menarik senyum.
"Kau harus istirahat jika mulai merasa pening, jangan paksakan untuk terjaga."
"Ah...ne."
Dokter ber name tage Kim Seokjin itu menarik senyum dan menyesuaikan kecepatan infus sebelum beranjak.
"Ah... aku hampir lupa, sesi terapi akan dimulai besok jadi persiapkan dirimu. Aku akan datang sore ini untuk melakukan pemeriksaan kembali." Jimin hanya tersenyum sebagai jawaban, sembari menatap pria itu meninggalkan ruang rawatnya.
Kini Jungkook kembali dibuat resah, apa yang harus ia katakan jika sang kakak kembali bertanya.
"Cooky!"
"Ah....ne...ne..." benar saja, Jungkook semakin resah saat ini.
"Apakah kau merasa familiar dengan dokter itu?" Jungkook memiringkan kepala dan mengusap sejenak tengkuknya.
"Maksud hyung, dokter Kim Seokjin?" Kali ini Jimin mengangguk pelan.
"Tentu saja, aku bertemu denganya setiap hari selama 2 bulan ini. Ia juga orang yang baik." Jimin menghela napas, bukan itu yang ia maksud. Entah mengapa Jimin merasa pernah bertemu dengan pria itu sebelumnya.
"Apakah itu acara wisuda?" Gumam Jimin berusaha menerka kepingan ingatan.
"Hyung mengatakan sesuatu?"
"Ah.... lupakan, kau istirahatlah jangan sampai sakit."
***
Hari ini merupakan hari yang cukup berat bagi seorang Jimin, tubuhnya beberapa kali dipaksa untuk bergerak ke kanan dan ke kiri.
"Sedikit lagi, anda pasti bisa melakukannya." Seorang dokter berujar semangat sembari membantu menopang bahu Jimin.
"Argh.... aku tak bisa lagi." Mendengar keluhan Jimin dokter itu membantu si pemuda untuk kembali berbaring.
"Sekarang coba angkat kakimu, perlahan saja." Sungguh tubuh Jimin sangat lelah, padalah yang ia lakukan hanyalah memiringkan badan dan mengangkat kedua tangan serta kakinya itupun dalam posisi berbaring.
"Saya rasa cukup untuk hari ini, Jimin-ssi sangat hebat. Ini pencapaian yang bagus, beberapa pasien bahkan tak menunjukkan perkembangan secepat ini."
Bagaimana bisa dokter itu tersenyum lebar, Jimin ingin mengumpat rasanya.
"Jadi, Jimin dapat segera pulih?" Pertanyaan dari Tuan Park mendapat tatapan intens dari Jimin.
"Itu tergantung kemauan pasien dan usahanya. Kalau begitu saya permisi."
'Ya pergi saja!' , mungkin seperti itu kalimat di kepala Jimin.
"Hyung kau hebat." Jimin menarik senyum diantara kerutan kening yang menahan nyeri.
"Sehebat itukah? bahkan aku hanya dapat memiringakan sedikit tubuhku."
"Tentu saja, para dokter juga sering memujiku jika dapat mengendalikan detak jantungku." Kali ini raut wajah Jimin berubah drastis.
"Apakah ia masih sering berulah?" Jungkook menggeleng singkat.
"Tadinya aku khawatir karena detaknya sangat lambat, tapi sekarang jauh lebih baik." Bungsu keluarga Park itu tersenyum lebar dan menunjukkan dua gigi kelincinya.
"Kalau begitu tetaplah sehat, aku tak akan bisa menggendongmu dan berlari saat ini." Ucapan Jimin disertai kikikan lirih.
"Kurasa para dokter akan berteriak heboh sembari bersorak saat melihat hyung berlari." Jungkook mulai terkekeh dan melepas tawanya begitu juga dengan si sulung.
"Mereka akan menghadiahkan mendali dan sejumlah uang tunai." Lanjut Jungkook dengan tawanya.
Sampai tawa keduanya berhenti. Jungkook maupun Jimin saling melempar tatapan cemas.
"Aku baik-baik saja hyung, hanya terkejut karena jantungku berdetak lebih cepat."
"Ah.... aku juga baik-baik saja, hanya saja leherku terasa nyeri."
Jauh di balik kaca, Nyonya dan Tuan Park memperhatikan interaksi kedua putranya.
"Jimin, akan baik-baik saja bukan?" Tuan Park tersenyum simpul dan merengkuh tubuh sang istri.
"Bagaimanapun jangan katakan apapun padanya."
Bersambung..........
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Real
General FictionTerbagun dan kembali tertidur dengan situasi yang membingungkan, tak ada jawaban hanya labirin tanpa ujung. - Park Jimin - Diriku dan segala pertanyaanku.