Cahaya Keberuntungan

577 74 10
                                    

Sudah hampir sepekan Jimin tak terlalu banyak bicara, ia mengikuti semua sesi terapi dengan baik. Pada awalnya anggota keluarga yang lain nampak biasa saja, namun semakin lama Jimin yang menjadi semakin pendiam membuat kekhawatiran kedua orang tuanya muncul.

"Jimin kau mau makan eum?" Nyonya Park yang tiba di ruang rawat sang putra sembari membawa sekotak pangsit duduk di tepi brankar.

"Nanti saja eomma, aku masih kenyang."Senyum paksa Jimin begitu nampak di mata sang ibu, ingin bertanya namun ia takut akan memperburuk keadaan tetapi jika ia tak mengetahui masalah sang putra apakah itu akan menjadi lebih baik?

"Apa ada masalah? Kau lebih pendiam akhir-akhir ini."gelengan lemah Jimin membuat helaan napas dari Nyonya Park, lagi-lagi Jimin menyembunyikannya.

Terakhir kali Jimin menjadi tertutup sangat berdampak besar bagi pemuda itu, ibu mana yang ingin jika sang putra kembali jatuh kelubang yang sama.

"Apakah ada yang sakit?" kembali hanya gelengan yang menjadi jawaban atas pertanyaan wanita itu.

Jimin menunduk dalam sembari memainkan jari tangannya bergantian, menggigit bibir bawahnya dengan kening yang berkerut.

"Aku melihat Taehyung beberapa hari yang lalu, tapi mengapa ia tak menemuiku? apa ia marah?" gumaman Jimin yang cukup jelas di telinga sang ibu, membuat wanita itu bengkit dari duduknya sembari mencengram bahu sang putra.

"Dimana kau bertemu dengannya?" Jimin menatap sang ibu dengan mata sayu, apakah ia salah mengatakan hal itu? Mengapa sang ibu bereaksi terlalu berlebihan?

"Aku... aku melihatnya di luar ruang rawat saat sesi terapi dan......."

"Dan apa? apa yang kau harapkan darinya Park Jimin!" Entah sadar atau tidak Nyonya Park meninggikan nada bicaranya, cengramannya semakin kuat bahkan hingga menciptakan rintihan dari bibir pucat Jimin.

"Eomma.... appo....."

"Apa yang kau lakukan?! lepaskan Jimin, kau akan melukainya." Tak tau dan entah sejak kapan Tuan Park tiba, dengan sigap pria itu menarik sang istri menjauhi putranya. Emosinya sang istri yang tak terkendali bisa saja melukai Jimin, khawatir itu tidaklah salah tetapi ini sudah kelewatan.

"Kita bicara di luar, biarkan Jimin istirahat." Kepala keluarga itu berusaha meyakinkan ratunya yang mulai menitihkan air mata, ia tak ingin melukai siapapun jadi diam ada;ah cara yang lebih baik saat ini.

"Ta....tapi Jimin..."

"Aku mengerti, Seokjin akan kemari jadi ayo kita keluar." tak ada lagi perlawanan, Nyonya Park yang mula tenang mengikuti langkah sang suami meninggalkan ruang rawat. tak ada yanng tau hal apa yang ditakutkan wanita itu saat ini.

***

Hal pertama yang Jimin lihat setelah dapat keluar dari ruang rawatnya adalahhamparan rumput di taman rumah sakit yang nampak hijau. embun yang masih menempel dibeberapa daun bahkan nampak berkilau sungguh hal indah yang tak patut untuk dilewatkan.

Netra Jimin sesekali menatap gerak- gerik Sekjin yang mengumpulkan bunga rumput dan mengumpulkannya di telapak tangan Jimin.

Sensasi dingin dari rumut basah itu sangat tidak nyaman, tanpa belas kasih Jimin mulai menjatuhkan kembali rumput yang sudah di kumpulkan oleh Seokjin.

"Hei kau membuangnya?!"

Pekikan tanpa permisi itu membuat Jimin terlonjak dan tanpa sadar kembali menggenggam sisa rumput ditangannya, dengan wajah garang Sekjin mendekati pasien tak tau diri itu.

"Rumput itu kotor, aku tidak suka." Jimin berusaha mengelak sembari memalingkan wajahnya, ia tak mampu jika harus menatap wajah nyalang Seokjin yang mungkin akan memakannya hidup-hidup.

"Tehyung sangat suka bunga rumput." Pernyataan Seokjin membuat Jimin menatap dokter muda itu, mungkin saja ini akan menjadi moment penentu apakah Tehyungnya dan Taehyung adik Kim Seokjin  adalah orang yang berbeda.

"Sewaktu kecil, ia selalu membawa bunga rumput kerumah. Tak jarang pula ia mengumpulkan daun semangi yang menurutnya membawa keberuntungan, aku sangat tak suka hal itu karena ia membuat seisi rumah menjadi kotor." Jelas Seokjin sembari menata sisa bunga rumput yang ia ambil di tangan Jimin.

"Sepupuku Taehyung juga suka mengumpulkan daun semangi, lalu ia akan memberikan itu padaku dan memintaku agar menyimpanya." ujar Jimin seraya menatap telapak tangannya yang telah penuh dengan bunga rumput.

"Jadi apakah kau menyimpan daun semanggi itu?" Pertanyaan Seokjin dibalas gelengan singkat dari Jimin.

"Aku membuang semuanya, aku tak mempercayai hal seperti keberuntungan. Apalagi hal itu berasal dari sebuah daun." Seokjin menarik senyum dan mula terkikik pelan, ya..... memang tak salah jika Jimin tak mempercayai tahayul seperti itu.

"Tapi, tidakkah kau sadar jika kau baru saja mendapat sebuah keburuntungan?" kening Jimin mengernyit sembari menatap Seokjin, keberuntungan macam apa yang dimaksud? kiranya pertanyaan itu memenuhi  kepala Jimin saat ini.

"Keberuntungan seperti apa?"

"Eum...... kau beruntung karena selamat dari kecelakaan itu dan lebih beruntung lagi kau bertemu dokter setampan diriku." Sungguh sangat percaya diri, beruntung keluarnya Park memberikan pelajaran etika kepada putranya. Jika tidak sudah dapat dipastikan semua rumput ditangan Jimin akan berpindah ke wajah Seokjin.

"Jadi menurutmu aku punya banyak keberuntungan?" Jimin mengangguk sembari menggenggam tangan Jimin erat.

"Tetapi banyak pula orang yang tak seberuntung dirimu."

"Jinnja? Seharusnya saat itu aku mengembalikan daun semanggi itu kepada Taehyung." Jimin mulai terkikik sembari membayangkan wajah Taehyug jika ia tau semua daun semangginya telah terbuang.

"Mengapa kau ingin mengembalikannya?"

"Kurasa ia tipe orang yang kurang beruntung dan aku juga inggin meminta maaf padanya?" raut wajah Jimin yang berubah membuat Seokjin menatap pemuda itu lamat-lamat.

"Kenapa kau meminta maaf?"

"Sepertinya Taehyung marah padaku karena aku tak menjemputnya di bandara."





Bersambung...........

It's RealTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang