Cahaya Kelam

600 67 12
                                    

"Jimin!" Suara pekikan nyaring Tuan Park memenuhi kamar sang putra, tatapan kosong Jimin membuat pria paruh baya itu berulang kali berusaha menyadarkan putra sulungnya.

"Jimin, dengarkan appa! Tatap aku Park!" Ayah mana yang tidak panik saat disuguhi kondisi sang putra yang nampak mengenaskan.

Jimin terus saja meronta dan berteriak tak karuan beberapa saat lalu, hingga seorang psikiater datang berusaha menenangkan pemuda itu. Tapi tak sampai di situ, Jimin kembali berulah dan terus memanggil nama Seokjin.

Sampai sang psikiater memilih menyuntikkan obat penenang guna meredakan ledakan emosi Jimin. Pemuda Park itu tertidur sekitar 1 jam, hingga ia terbangun dalam kondisi tatapan kosong dan sama sekali tak merespon semua orang di sekitarnya.

"Jimin-ah." Jimin yang mendengar suara Seokjin, bangkit dari ranjannya dan mendekati dokter muda itu dengan keringat yang memenuhi kening serta lehernya.

"Hyung, kau tau dimana Taehyung bukan? Dia membutuhkanku hyung, bawa aku bertemu dengannya!" Kebungkaman Seokjin ternyata tak memperbaik kondisi, Jimin semakin meronta dan mengguncang tubuh Seokjin terus menerus.

"Aku tak bisa membawamu menemui Taehyung..........."

"Wae?" Jimin yang mulai tenag dibawa Seokjin untuk duduk di tepi ranjangnya.

"Karena itu hanya imajinasimu, kau mengerti? Tak ada Taehyung disini, ia tak ada Jimin-ah." Suara tenang Seojin membuahkan hasil, Jimin mulai tenang namun bukan berarti Jimin dapat menerimanya begitu saja.

"Taehyung ada, ia menemuiku."

***

Hari menjelang malam, kediaman keluarga Park di penuhi kesunyian. Nyonya Park dan Jungkook pergi ke Daegu sejak kemarin dan mungkin baru akan tiba esok pagi.

Seokjin dan seorang psikiater yang masih menemani Tuan Park nampak berbicara serius mengenai kondisi Jimin. Jika hal ini dibiarkan akan dapat merusak psikis pemuda itu.

Bahkan Seokjin yang tadinya tidak sedang berada di Seoul harus bergegas kembali guna menemui Jimin yang tidak dalam kondisi baik.

"Saya memiliki usul untuk dilakukan terapi dengan metode hipnotis, kita dapat sedikit membuat Jimin lebih tenang dan dapat melupakan trauma masa lalunya yang berhubungan dengan Taehyung."

Tak ada yang dapat menjawab usulan sang psikiater, Tuan Park maupun Seokjin hanya bungkam dengan berbagai pikiran yang berputar terus-menerus.

"Appa!"

"Jimin-ah, kau sudah bangun. Apa kau lapar, appa akan meminta immo untuk menyiapkan makanan." Baru saja Tuan Park akan bangkit dari sofanya, pertanyaan Jimin membuat pria paruh baya itu mengurungkan niatnya dan menatap dalam sang putra.

"Dimana Eomma dan Jungkook?"

"Mereka pergi ke Daegu." Jawaban Tuan Park nyatanya tak membuat Jimin puas, pemuda itu menarik senyum simpul sembari mendekati sang ayah. Dengan langkah tertatih Jimin menuruni anak tangga dengan bantuan tongkatnya.

"Mengapa mereka tak mengajakku? Taehyung marah padaku." Helaan napas berat keluar dari semua orang yang ada di sana. Kembali Jimin menyebutkan nama Taehyung, apakah boleh jika Tuan Park berteriak di hadapan putranya dan mengatakan dengan lantang jika Taehyung itu tidak ada.

"Jimin....."

"Aku seharusnya menjemputya bukan? Seharusnya aku datang tepat waktu di bandara."

"Jimin dengarkan appa."

"Seharusnya aku datang lebih cepat agar Taehyung tidak pulang menggunakan taxi, jika aku tidak bodoh Taehyung masih ada di sini bukan!" Jimin membuang tongkatnya dan membuat tubuh pemuda itu tersungkur kelantai cukup keras.

"Jimin." Kali ini Seokjin yang berusaha mendekat, namun uluran tangan Seokjin ditepis begitu saja oleh Jimin.

"Mengapa kau peduli padaku! Aku membunuh adikmu hyung, aku membunuh Taehyung!"

"Jimin tidak, kau tidak melakukan apapun." Seokjin masih berusaha, walau tubuhnya berulang kali didorong pemuda Park itu.

"Ya! Aku tak melakukan apapun saat Taehyung membutuhkanku!"

Flashback

Winnter 2018

Seorang pemuda tengah sibuk dengan agenda akhir tahun di universitasnya, banyak hal yang harus ia kerjakan. Mulai dari perancangan acara hingga jadwal pribadi miliknya, nampaknya ia melupan sesuatu yang penting. Hingga ia baru menyadarinya kala netranya melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Astaga, apa yang kulakukan?" Jimin si pemuda itu, segera bangkit dari kursinya dan berlari meninggalkan ruangan. Tentulah hal itu membuatnya di panggil kembali oleh beberapa rekannya yang masih berada di ruangan itu.

"Yak, Park Jimin mau kemana kau?"

"Aku akan segera kembali!" Balas Jimin dengan berteriak tanpa menghentikan langkahnya.

Mobil yang Jimin kendarai membelah jalanan Seoul yang dipenuhi salju, seharusnya ia membaca ramalan cuaca bukan? Tumpukan salju yang cukup tebal membuat Jimin lebih berhati-hati.

Pemuda itu bahkan tak hentinya menghubungi Taehyung, orang yang seharusnya ia jemput di bandara sejak satu jam yang lalu.

"Halo Tae!"

"Oh.... Jimin-ah wae?"

"Mianhae aku lupa menjemputmu, aku akan tiba dalam 10 menit." Ujar Jimin yang berbincang melalui ponsel pintarnya.

"Tak perlu, aku sudah berada di taxi menuju rumahmu." Mendengar hal itu Jimin menepikan mobil yang ia kendarai.

"Astaga, maafkan aku. Banyak tugas di kampus dan membuatku lupa untuk menjemputmu."

"Santai saja, aku akan tiba dalam 5 menit. Dan sebagai gantinya  kau harus menemaku malam ini untuk menghabiskan coklat yang dijanjikan eomma." Ujar Taehyung sembari terkiki, Jimin dan Taehyung berteman sejak lama dan dapat dikatakan mereka seperti keluarga.

Kondisi keluarga Taehyung dan Seokjin yang serba kekurangan membuat kedua orang tua mereka bunuh diri, namun selamat saja Seokjin membawa Taehyung pergi dari rumah agar kedua orang tuanya tak melakukan hal gila dengan juga mengajak mereka untuk bunuh diri.

Dan Seoul adalah tujuan Seokjin, dengan hayalan jika Seoul dapat menghidupi mereka berdua. Tetapi semua salah, kehidupan mereka semaki sulit sampai mereka bertemu Keluarga Park.

Dengan senang hati Tuan Park membiayai sekolah kedua pemuda Kim itu dan berhasil membuat kehidupan keduanya lebih baik.

"Baiklah, aku akan segera sampai dan........" Jimin menghentikan ucapanya saat mendengar suara benturan yang sangat kencang.

"Tae.... Taehyung-ah..... Kim Taehyung! Kau masih di sana?!" Pertanyaan Jimin yang hanya di balas dengan deru napas berat, Jimin semakin kalut saat mendengar suara serak Taehyung.

"Jim.....appo....akh....."

"Tae, apa yang terjadi? aku... aku akan segera kesana!"

"Kau..... akan menemaniku..... bu.....bukan?"

"Astaga Tae, kumohon tetap bicara padaku, kau mendengarku? Tae..... Taehyung-ah!" Jimin dengan cepat memutar balik arah mobilnya, ia sendiri bahkan tak peduli jika dirinya sendiri bisa saja mengalami kecelakaan.

"Tae.....?!" Jimin kini mendengar suara deritan, apakah ada orang yang datang atau Taehyung yang berusaha bergerak.

"Jim..... akh...... ini sakit." Pemuda Park itu tak lagi dapat membendung air matanya, rintihan Taehyung begitu menyakitkan.

"Tae....hiks.... kumohon dengarkan aku..... semua akan baik-baik saja, kau akan baik-baik saja."

Hingga hal terakhir yang dapat Jimin dengar adalah suara benturan keras yang diikuti kesunyian, tak lagi terdengar suara Taehyung di sana.

"Tae..... Kim Taehyung..... Tae...... kau baik-baik saja bukan...... hiks...... hiks..... Kim Taehyung.....!!"

Flashback end








Bersambung...............

It's RealTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang