Cahaya Biru

599 79 10
                                    

"Satu suap lagi, ayo buka mulutmu." Nyonya Park dengan sabar berusaha merayu Jimin yang enggan membuka mulut.

"Eomma sudah cukup, aku merasa mual." Jimin mengatupkan mulutnya rapat sembari kedua tangan yang ikut menutup mulutnya pula.

"Baiklah, sekarang minum airnya dulu." Tangan Jimin terulur untuk mengambil gelas dari tangan sang ibu.

Sedikit berita gembira, Jimin sudah dapat duduk walaupun dalam prosesnya ia tak henti-hentinya mengumpati Seokjin yang berusaha membantu.

Dokter itu hanya tersenyum kala Jimin terus memakinya, dan setidaknya hal itu membuahkan hasil.

"Sebentar lagi Dokter Seokjin akan kemari, eomma harus pergi ke kantor bersama appa. Jungkook juga sedang ada kelas pagi ini, apakah tak apa jika kau disini sendiri."

Jimin menatap sang ibu yang nampak letih dan mulai menganggukkan kepala. Pemuda itu mengusap pelan sudut bibirnya dan mulai tersenyum.

"Ne.... lagi pula aku baik-baik saja."

"Baiklah, kalau begitu eomma pergi dulu. Sayang Jimin sangat banyak." Nyonya Park mengusap kepala sang putra dan memberikan kecupan hangat di sana.

Setelah kepergian Nyonya Park, Jimin membuat kesibukan sendiri. Mulai dari memainkan jari kakinya hingga menghitung tetesan cairan infus.

Dan ya..... ia akan mengulangi hitungannya dari satu saat ia lupa angka berikutnya.

Saat lelah mengangkat kepala, ia beralih menatap pulsi oximeter yang terdapat pada jari telunjuknya. Bisa dikatakan Jimin sedikit mengerti tentang alat medis kerena Jungkook.

Jimin nampaknya sangat asik memainkan benda yang menjepit jarinya itu.

Ia belum boleh terlalu lama memainkan ponsel, khawatir pemuda itu kan merasa pusing nantinya.

"Jimin-ssi." Pintu terbuka lebar dan menampakkan sosok tinggi dengan jas putihnya.

"Apa yang sedang kau lakukan hem....?" Pria itu mendekati Jimin dan mulai menarik senyum.

Jimin yang terkejut segara menyembunyikan tangannya di bawah selimut.

"Menurut anda apa yang bisa ku lakukan selain bernapas saat ini." Mendengar penuturan itu Seokjin berusaha menahan kikikannya.

"Jangan memainkan infus di tanganmu, jika kau mainkan darahnya akan keluar melalui selang." Seokjin menarik tangan Jimin, dan benar saja terdapat darah pada selang infus itu.

"Eum, aku hanya bosan."

"Tetap saja jangan dimainkan." Ekor mata Jimin mengikuti gerak Seokjin yang tengah menyibak selimutnya.

Sesaat Jimin menahan napas, ia sedikit ngeri kala Seokjin memulai sesi terapi.

Tak lagi berbicara, Seokjin mulai memijit pelan kaki Jimin. Sesekali Jimin memekik kala rasa nyeri menjalar hingga punggungnya.

Seokjin melakukan hal itu beberapa kali hingga ia berhenti karena Jimin menarik kakinya.

"Cukup bagus, kemungkinan akan butuh waktu lama untukmu dapat berjalan kembali." Dokter muda itu menarik kursi dan duduk disamping Jimin sembari mengusap pelan tengkuk pasiennya.

"Terasa sakit?"

"Anni, tetapi itu sangat tak nyaman." Seokjin menghentikan pijitannya dan menatap lama Jimin.

"Kau beruntung karena tak mengalami cidera kepala serius, tetapi kau benar-benar harus menjaga tubuh karena cidera tulang belakang." Jimin menatap Seokjin lamat-lamat, sungguh ia seperti pernah melihat orang ini sebelumnya.

Tapi dimana?

Apakah kampus, taman hiburan, atau tempat umum lainya. Jimin juga tak terlalu sering keluar jika bukan pergi ke kampus atau karena si bungsu.

Tatapan mata itu Jimin pernah melihatnya, cara bicara dan caranya berinteraksi. Semua itu tak asing dimata Jimin.

"Mungkinkah kita pernah bertemu sebelum ini?" Baiklah, setidaknya Jimin bertanya bukan. Entah apa jawaban dokter itu Jimin juga tak tau.

"Kurasa pernah." Jawaban Seokjin membuat pemuda itu terbelalak. Bukankah ini ajaib, ia pernah bertemu Seokjin sebelumnya.

"Sungguh dimana itu?"

"Aku pernah datang ke kampusmu untuk penyuluhan di hari kesehatan." Jimin berpikir keras, ia bukan tipe mahasiswa yang selalu mengikuti kegiatan seperti itu.

Ia lebih bahagia pergi ke kantin atah tidur di salah satu ruang kosong hingga acara selesai.

"Sungguh, entahlah? Tapi maaf jika itu mengganggumu." Seokjin menarik senyum, dan menghela napas pelan.

"Aku juga sering datang ke sekolah menengah atasmu dulu, mungkin satu minggu sekali." Seokjin memang bicara pada Jimin namun fokusnya tengah pada catatan yang ia bawa.

"Sungguh, untuk apa?" Jimin menatap seokjin yang menyentuh pergelangan tangannya.

"Menjemput adikku, ia merantau ke Seoul seorang diri jadi setiap minggu akan datang dan pulang bersama ke Daegu."

Jimin ber 'oh' ria sembari menganggukkan kepala. Berarti adik Dokter Kim sebaya dengannya, Jimin cukup banyak teman saat menangah atas, bisa saja ia mengenal adik Dokter Kim bukan.

"Siapa namanya, mungkin saja aku mengenalnya." Seokjin yang sudah selesai dengan catatannya mulai menarik stetoskop dari saku jasnya.

"Dokter Kim?" Jimin sungguh sangat penasaran karena Seokjin yang tak kunjung menjawab pertanyaannya.

"Taehyung, Kim Taehyung."



Bersambung...........

It's RealTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang