#22 A Lie

291 54 1
                                    

"Untuk sementara, bagaimana dengan menggunakan rumahmu?" tanya Dahyun yang membuat Jimin menolaknya dengan cepat. "Waeyo?"

"Aku tidak punya rumah. Hanya ada apartemen dan itu terletak di lantai atas. Aku tidak mungkin membuat salon kecantikan di sana."

Perbincangan soal bagaimana mengawali usaha Jimin lagi dari awal memanglah hal yang menjadi topik utama untuk saat ini. Dari mulai ide sederhana hingga ide tak masuk akal Dahyun sarankan pada Jimin. Namun tetap saja pria Park itu menolak sarannya.

"Lalu sekarang kau ingin yang seperti apa?" tanya Dahyun yang kemudian duduk di trotoar, membuat Jimin dengan segera meraih tangan Dahyun dan menariknya agar Dahyun kembali berdiri. Namun nyatanya hal itu justru tak berhasil.

"Dahyun, bagaimana jika ada mobil?"

"Mobil tidak berjalan di trotoar," sahut Dahyun dengan nada kesalnya. Setengah hari dia habiskan hanya untuk mendengar penolakan dari Jimin dan dia saat ini sudah benar-benar lelah dan bosan.

"Bagaimana kalau makan dulu? A—"

Dahyun langsung berdiri lalu menggeleng. Dia tahu, saat ini Jimin pasti tak memegang uang yang banyak. Itu hanya akan membuat Jimin lebih kesulitan menyewa tempat nantinya.

"Kau tidak lapar?" tanya Jimin yang membuat Dahyun kembali menggeleng. "Tapi aku lapar."

"Tapi gunakan uangku saja," ujar Dahyun yang pastinya membuat Jimin menolak. Mana mungkin wanita yang harus membayarnya. Itu benar-benar tak ada dalam kamus seorang Park Jimin.

"Dahyun-ah, aku sungguh tak masalah menggunakan uangnya."

"Itu hanya cukup untuk menyewa tempatnya 'kan? atau mungkin saja itu akan kurang," ujar Dahyun mengingat jika saat ini Jimin sudah menutup semua akun kartu kredit dan ATMnya. Hanya sekitar 50.000 Won yang kini ada bersamanya.

Jimin hanya terdiam, sebelum akhirnya dia melangkahkan kakinya saat Dahyun menarik tangannya begitu saja.

"Aku tahu cara makan enak tanpa perlu mengeluarkan banyak uang. Aku selalu melakukan ini saat aku kehabisan uang di masa traineeku," jelas Dahyun yang membuat Jimin mau tak mau menurutinya.

Jimin memperbesar langkahnya, menyamai langkah Dahyun agar dia bisa berjalan beriringan dengan kekasihnya itu. Dia lantas merangkul pundak Dahyun, membuat gadis itu langsung tersenyum.

"Oppa, bukankah hal seperti ini adalah hal yang paling menyenangkan?" tanya Dahyun sambil menatap wajah Jimin sebelum akhirnya dia kembali menatap lurus ke depan.

"Aku rasa memang sangat menyenangkan karena aku selalu bersamamu," ujar Jimin yang kemudian mengacak rambut Dahyun, membuat gadis itu merasa sangat kesal saat ini. "Kenapa kau sangat kesal?"

"Kau melakukan hal paling menyebalkan. Jangan mengacak rambut," kesal Dahyun yang membuat Jimin terkekeh.

"Baiklah baiklah, aku tak akan melakukannya lagi agar kau tidak merasa kesal."

Jaebeom tersenyum sambil menatap ke seluruh ruangan megah yang kini menjadi kantornya. Dia cukup bahagia karena dia sudah sukses menjatuhkan reputasi Jimin dan mengambil alih perusahaan keluarga Park yang selama ini dia inginkan.

"Aku sungguh tak menyangka perusahaan ini akan jatuh padaku," gumam Jaebeom yang diiringi senyuman liciknya.

Jaebeom beranjak ke arah jendela, menatap bagaimana pemandangan jalanan dari sana. Namun dia harus menghentikan aktivitasnya saat seseorang tiba-tiba saja mengetuk pintunya dan masuk.

"Sajangnim, aku ingin mengundurkan diri."

Jaebeom membulatkan matanya saat Seongmin mengucapkan kalimat yang sungguh tak ingin dia dengar sedikitpun dari pegawainya.

Touch!✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang