Sangat disarankan sembari mendengarkan lagu dari Sam Kim yang berjudul Breath.
Hari keberangkatan
Pukul tiga dini hari."Hati-hati ya, Ica." Saya mengangguk sopan pada seorang wanita paruh baya di depan saya sekarang. "Ibu pasti bakalan kangen sama kamu," Katanya sambil mengusap surai saya lembut.
Saya meraih tangannya dan menyalaminya. "Ibu, sehat-sehat ya."
Subuh ini adalah hari keberangkatan saya ke Berlin, keluarga Aji berada disini untuk mengucapkan salam perpisahan pada saya. Namun, hanya ada Ibu dan bang Eja saja, tidak ada Aji. Nanti saya ceritakan kenapa dia tidak berada disini sekarang.
"Bang Eja, Ica berangkat ya," Ucap Saya beralih menyalami tangannya. Yang disalami itu tersenyum sambil mengangguk lalu mengacak singkat rambut saya. "Sehat ya, Ca."
Setelah sekiranya cukup, saya meraih tas ransel yang saya letakan di kursi teras dan menyampirkannya di bahu. "Bunda, ayo." Ucap saya menghampiri Bunda yang sudah siap di depan mobilnya.
"Ica berangkat ya, Bu, bang Eja." Pamit saya sebelum mobil Bunda melaju mulus di jalanan ibukota yang dini hari ini terlihat lenggang sekali.
Setengah perjalanan tidak ada percakapan yang menyertai kami saat ini, Bunda sibuk dengan kemudinya, saya sibuk dengan pikiran saya sendiri. "Bunda pikir waktu nganterin Dean sama Allen itu jadi yang terakhir kalinya Bunda jauh sama anak Bunda," Saya menoleh kearahnya, menunggunya melanjutkan cerita. "Ternyata hari ini Bunda nganterin anak perempuan Bunda satu-satunya jauh dari Bunda juga."
Bunda tertawa hambar, saya hanya bisa menatapnya dari kursi penumpang. "Bunda nggak akan pernah lupa waktu Dean sama Allen meluk Bunda sebelum berangkat, Bunda mau nangis saat itu, tapi kalau Bunda nangis mereka nanti jadi kepikiran."
Saya terenyuh mendengarnya, bahkan disaat hatinya merintih ia masih memikirkan perasaan orang lain. "Bunda sayang banget sama kalian. Tapi kalau kalian sama Bunda terus, Bunda takut nggak bisa jadi Bunda yang baik," Lirihnya.
"Bunda," Panggil saya. Wanita itu menoleh sekilas lalu kembali fokus pada kemudi di depannya. "Bunda nggak pernah gagal jadi Ibu buat Ica sama kakak-kakak."
"Bunda, kalau ada kehidupan selanjutnya setelah ini, Ica tetep mau jadi anak Bunda."
Bunda menepikan mobilnya sebentar lalu memeluk saya erat. Tubuhnya bergetar sempurna, Bunda menangis. Saya menepuk pelan pundaknya, saya tidak bisa menangis seperti tertahan rasanya air mata saya sekarang. "Bunda sayang banget sama anak-anak bunda," Katanya.
"Anak-anak Bunda juga sayang sama Bunda."
Setelah sekitar sepuluh menit Bunda menangis dan menenangkan dirinya, kami kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini sepertinya perjalanan menuju Bandara terasa lebih berat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eccedentesiast; Han Jisung
Fanfiction⚠ tw! this story contains a selfharm and blood in some chapter. (.n); someone who fakes a smile, when all they want to do is cry, dissappear, and/or die. a fanfiction of Han Jisung Lokal Ver. credit name to @sklokal on twitter. © senyawaorganik 20...