♫ Lagu Pejalan - Sisir Tanah ♫
pukul 21.35
Saya mengamati jam yang melingkar di pergelangan tangan kanan lalu membuang nafas kasar. Selalu saja semalam ini.
Saya melangkahkan kaki keluar dari jajaran ruko tersebut lalu beralih ke halte bus di depan. Saya membetulkan letak totebag yang menyampir di bahu kanan dan menarik tali ransel agar kencang dan nyaman. Saya menghela nafas kasar dibalik penutup mulut, kenapa semalam ini justru makin banyak yang ingin naik bus yang sama. "Dik, kertasnya jatuh." Ucap salah seorang wanita setengah baya sambil menepuk pelan pundak Saya.
Saya menunduk untuk mengambil kertas yang dimaksud, lalu membukanya. Saya tersenyum kala melihat dan membaca isinya, simpel hanya 3 kata tapi artinya sukses membuat Saya lebih tenang.
Saya kembali melipat kertas tersebut dan menaiki bus yang sudah berada di hadapan Saya sekarang, walaupun penuh tapi Saya harus segera masuk agar bisa cepat pulang.
Saya berdiri di dekat pintu sekitar dua puluh menit sampai akhirnya sampai di halte tujuan Saya. Setelah turun dari Bus, Saya menaiki ojek online yang sudah Saya pesan tadi saat ingin turun dari bus.
"Alyssa ya?" Saya mengangguk sambil tersenyum walaupun Saya tau Bapak ini tidak akan melihat senyum Saya sebab masker yang Saya pasang ini.
Ia memberikan Saya satu helm untuk dipakai, setelah siap ia langsung melajukan motornya keluar dari area halte tempat Saya turun tadi. Tidak ada percakapan diatas motor sampai akhirnya Saya tiba di depan rumah berpagar hitam. "Terimakasih ya, Pak." Ucap Saya sambil memberikan ongkos.
Baru saja Saya ingin melepas sepatu, suara seseorang sukses mengurungkan niat Saya untuk melepasnya. "Kehujanan gak, Ca?"
Saya menggeleng. "Enggak, hujannya cuman sebentar doang tadi." Ucap Saya lalu melanjutkan melepas sepatu dan meletakkannya ke rak. "Aku masuk ya? Mau cuci muka, gerah."
"Makan habis itu ya! Bunda tunggu di meja makan!" Teriak Bunda saat Saya sudah melangkah naik menuju lantai 2 rumah Saya.
Baru saja Saya meletakkan tas, seseorang mengetuk pintu kaca balkon kamar Saya yang semula tertutup gorden. "Astaga!"
Ia tertawa lalu sembarang masuk kedalam kamar Saya sambil membawa buku Matematika Wajibnya dan tempat pensil berwarna hitam yang Saya bisa tebak isinya lebih banyak yang sudah tidak bisa digunakan. "Udah diajarin materi yang ini belum?" Tanyanya sambil mengarahkan bukunya pada Saya.
Saya melihat sekilas materi yang ia tanyakan. "Udah, sebentar tapi ya gue cuci muka sama ganti baju dulu." Ucap Saya lalu beralih menuju toilet di kamar Saya tanpa persetujuan darinya. Lagi pula Saya juga tidak perlu itu.
Setelah membersihkan muka dan berganti pakaian, Saya menyusul Aji yang sekarang sudah tengkurap diatas kasur Saya. "Mana?"
"Yang ini loh, gue kesel deh Pak Rahmat ngajarinnya gak pake hati cepet-cepet banget." Ucapnya sambil menunjuk materi yang ia tak paham.
Saya tertawa mendengarnya, lalu membenarkan posisi Saya untuk mengajarinya materi yang ia tanyakan tadi. "Demi apa sih gitu doang?" Ucap Aji saat tau ternyata rumus yang ditanyakan tidak sesulit apa yang diterima otaknya kemarin.
"Emang begitu, makanya kalo pelajarannya Pak Rahmat bismillah dulu."
Aji menuliskan sesuatu diatas bukunya lalu berucap. "Kalo lo baca bismillah juga gak kalo pelajaran Pak Rahmat?"
"Pertanyaan lo retoris banget, Ji." Sahut Saya lalu meninggalkannya untuk mengambil makanan dibawah.
Setelah mengambil makanan di bawah dan memberi tahu Bunda tentang Aji yang sekarang sedang berada di kamar, Saya kembali masuk dan mendapati Aji yang sekarang sedang bermain-main dengan alat lukis Saya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eccedentesiast; Han Jisung
Fanfic⚠ tw! this story contains a selfharm and blood in some chapter. (.n); someone who fakes a smile, when all they want to do is cry, dissappear, and/or die. a fanfiction of Han Jisung Lokal Ver. credit name to @sklokal on twitter. © senyawaorganik 20...