Senin pagi, di pertengahan tahun 2017.
Hari ini adalah masa pengenalan lingkungan sekolah untuk siswa-siswi kelas sepuluh yang baru, dan tandanya Saya sudah naik ke tingkat dua sekolah menengah atas. Aneh rasanya, Saya belum siap menjadi kakak kelas sebetulnya.
"Lo dimana, Sa?" Tanya Saya pada Esa yang sedang duduk di kursi dekat mading. "IPA 2, sama lo lagi." Katanya setengah merutuk.
Saya menyenggol pelan badannya berniat mengganggunya. "Kita jodoh berarti, Sa." Ucap Saya lalu duduk disebelahnya. Esa masih memandangi benda pipih ditangannya, tidak terganggu dengan suara ribut yang datang dari siswa-siswi berseragam putih biru itu.
Lalu tak lama laki-laki disebelah Saya ini bangkit. "Gue mau nyamperin Mas Tara mau ambil kamera, temenin yuk ke gerbang." Katanya lalu tanpa aba-aba sudah menarik tangan Saya.
Saya merutuki dalam hati pasalnya Esa menarik Saya benar-benar sampai gerbang, bukan menarik lebih tepatnya seperti menyeret. "Mahesa!" Panggil seorang laki-laki berwajah mirip dengan Esa.
Esa melepas tangannya yang melingkar dipergelangan tangan Saya dan menghampiri orang tersebut. "Makasih ya, Mas." Katanya.
"Mas lo?" Esa mengangguk menyahuti saat punggung seseorang itu sudah menghilang dari pandangan kami. "Ganteng, Sa, kenalin dong." Ucap Saya disertai cengiran.
Esa mengernyit lalu memutar bola matanya malas. "Dih? Ogah gue punya ipar kayak lo." Katanya lalu berlalu meninggalkan Saya.
Baru selangkah tungkai Saya memasuki lobby, seorang laki-laki dengan blezer khas organisasi resmi sekolah menubruk kencang bahu Saya. "Sorry, Ca, sumpah maaf.." Katanya saat melihat Saya meringis sambil mengusap pelan bahu kanan yang di tabraknya.
Saya mendorong tubuhnya pelan agar ia menyingkir sedikit. "Gue gak apa-apa." Sahut Saya. "Tapi rambut lo kayaknya dalam bahaya deh, Ji."
"Iya nih, mana ngejreng banget lagi," Gumamnya sambil mengacak rambutnya entah reflek atau untuk cari perhatian pada murid baru yang berlalu-lalang di lobby tempat kami berdiri. "Biarin deh, paling ketemu Pak Susanto lagi."
"Cat balik hitam lagi aja sih."
Aji menoleh pada Saya lalu melingkarkan tangannya di pundak Saya. "Di gue gak boleh, Ca," Katanya lalu mulai melangkahkan tungkainya memasuki gedung sekolah. "Nanti dosa."
Ah, Saya paham.
"WOI JINENDRA!" Teriakan dari seorang anak laki-laki yang sudah Saya kenal belakangan ini menganggetkan kami. Aji menghentikan langkahnya dan melepas tangannya yang melingkar di pundak Saya. "Apaan?" Tanyanya.
"Lo PJ kelompok Adam Smith ya," Ucapnya.
ps. PJ yang dimaksud disini adalah Penanggung Jawab, ya..
"Adam Smith kelas apa?"
Haris —laki-laki di depan kami— membuka lipatan kertas yang Saya duga berisi informasi soal pembagian tugas. "Kelas IPS 4."
Aji mengangguk lalu menyuruh Saya untuk meninggalkannya saja, soalnya ia ingin briefing sebentar dengan anggota lain. Saya menaiki tangga untuk menuju lantai tiga setelah melihat Esa yang ternyata sudah tidak ada di kursi dekat mading.
Setelah sampai di lantai tiga, Saya melihat laki-laki itu justru sedang asyik memutar lagu-lagu indie kebanggan nya di belakang kelas. Dengan jas almamater sekolah yang entah sudah ada dimana. Sepertinya anak ini hari ini melupakan jabatannya yang masih berstatus sebagai Ketua Rohis.
"MAHESA ANJIR!" Teriak salah satu anak perempuan yang sepertinya risih dengan eksistensi Esa di atas mejanya. "MEJA GUE KOTOR SIALAN!"
"Perempuan mulutnya kotor banget sih," Sahut Esa lalu turun dari atas meja milik perempuan itu. "Nanti gak ada yang mau loh, kalo kasar-kasar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Eccedentesiast; Han Jisung
Hayran Kurgu⚠ tw! this story contains a selfharm and blood in some chapter. (.n); someone who fakes a smile, when all they want to do is cry, dissappear, and/or die. a fanfiction of Han Jisung Lokal Ver. credit name to @sklokal on twitter. © senyawaorganik 20...