Ditemani Minho, Sakura pulang ke rumah gadis itu pada pukul sepuluh pagi, mereka sampai tidak masuk sekolah di hari Jum'at ini. Keduanya berdiri tegak di depan pintu pagar rumah blok AHB-2 bernomor 48, depan rumah Sakura. Gadis itu hanya menghela napasnya pelan, Minho di sampingnya tersenyum sambil menepuk punggung gadis itu agar ia tenang.
"Masuk gih, Ino temenin."
Sakura bisa melihat kedua mobil––yang ia yakini milik ayahnya dan Seokjin––terparkir berjejer di depan pagar rumah dengan pintu utama yang terbuka lebar.
Sakura melangkahkan kakinya untuk membuka gerbang rumahnya dan berjalan ke dalam rumah diikuti Minho di belakangnya––sekaligus membiarkan jemari mereka saling bertautan. Genggaman tangan Sakura pada Minho makin mengerat, tatkala mereka beradu tatap dengan tiga orang dewasa yang telah menunggu kepulangan Sakura di ruang tengah.
Sakura tersenyum tipis melihat Junmyeon yang juga ada di sana, kemudian ia juga tersenyum tipis ke arah Irene. Senyumannya mengembang saat Irene, menghampirinya di depan pintu. Perlahan genggaman ditangan Minho ia lepas seraya berjalan pelan ke arah sang bunda.
"Bund––"
plak!
"Irene!"
Irene menampar Sakura dengan keras, dibarengi dengan teriakan Junmyeon di belakangnya, serta Minho yang membawa gadis itu ke belakang punggungnya sambil menatap Irene di depannya dengan sebal. Minho sudah tidak peduli lagi siapa yang ada di hadapannya saat ini. Meskipun itu ibu kandung Sakura, Minho tidak peduli. Wanita itu menyakiti Sakura, di depan matanya.
Sedangkan Sakura yang sekarang ada di belakang punggung Minho, sedikit terkejut meskipun ia tahu akan seperti ini. Dipegangnya pipi Sakura yang merah dan sedikit membengkak, lalu menarik pelan lengan Minho di depannya.
"Ara gak apa-apa, Ino. Pantes kok diginiin."
"Ra––"
Sakura langsung menatap Irene dengan mata yang berkaca sambil tersenyum perih, "Maaf, Bunda." Gadis itu kemudian bersimbuh di hadapan wanita itu.
"Aku minta maaf atas kesalahan yang sering aku buat sama Bunda. Aku salah selalu kasar di depan Bunda dan selalu nyakitin hati Bunda. Aku sendiri kecewa. Kecewa banget kenapa selalu berharap hal yang gak akan pernah bisa terulang, contohnya berharap aku hidup sama Bunda dan Ayah lagi kaya dulu. Padahal jelas aku tau ... itu gak akan terjadi lagi."
Air matanya berambai-ambai mengucapkan hal yang selama ini ia pendam bertahun-tahun dari kedua orang tuanya. Linangan air mata membasahi kedua pipi gadis itu yang memerah, "Setiap aku ada di rumah sama Bunda, jadi asing banget. Bunda bahkan gak pernah sapa aku setiap pagi, cuma kasih uang jajan perminggu. Bahkan Bunda gak nanyain nilai aku bagus atau jelek, Bunda gak tanya kehidupan aku di sekolah."
"Tapi ... pas Bunda tau aku ikut ekskul tari, Bunda malah marah-marah. Bilang gak berguna, masa depan gak mutu, pekerjaan miskin, dan lain-lain. Sedangkan pas aku sengaja ngasih tau Bunda kalo aku dapet ikut olimpiade matematika, Bunda gak pernah apresiasi aku, gak pernah muji aku, gak pernah!" lanjut Sakura dengan gemetar.
Ruang tengah yang berisi lima orang itu terasa hening. Hanya dihiasi isakan tangis Sakura yang didominasi dengan isakan tertahan dari Irene. Ketiga lelaki diruangan itu hanya terdiam, mencoba untuk menenangkan masing-masing hati mereka. Terutama, Junmyeon.
Selama ia di Jepang, ia hanya berkomunikasi dengan Sakura via ponsel. Entah saling melaporkan kegiatan masing-masing yang kadang hanya sebulan sekali atau sekedar menanyakan kabar singkat. Junmyeon jarang mendapatkan kabar kurang mengenakkan perihal Irene dari Sakura. Dan Junmyeon tau, Sakura hanya berusaha untuk tidak merusak suasana keduanya.
Junmyeon kemudian melangkahkan kedua kakinya menuju Sakura dan memeluk gadis itu. Tak peduli air mata yang akan membasahi kemejanya nanti. Direngkuhnya tubuh anak gadisnya itu sambil membelai surai hitam Sakura yang sekarang juga memeluk Junmyeon.
Irene tidak bisa menahan perih hatinya, air matanya juga tak bisa terbendung lagi. Wanita itu baru menyesali perbuatannya yang menampar Sakura, menyakiti anak gadisnya untuk sekian kalinya.
"M-maafin bunda, Sakura. Bunda gak ber––"
"Aku yang harusnya minta maaf ke Bunda ... maaf selama ini aku juga selalu kasar ke Bunda," tukas Sakura sambil melepaskan pelukannya dari Junmyeon dan menatap Irene yang sekarang telah berlutut di hadapan Sakura dan Junmyeon.
Sakura menghampiri sang Bunda dan merengkuh tubuh wanita itu. Saling bersahutan isakan yang menyayat hati. "Maafin aku, Bunda. Maafin aku."
"Bunda juga minta maaf, Sayang."
Minho perlahan mundur ke belakang, membiarkan kedua perempuan itu saling menangisi kesalahan masing-masing dan meruntuhkan ego mereka. Ia berdiri di dekat pintu utama sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding. Begitu pula dengan Seokjin, ia hanya duduk di sofa dan menatap kedua perempuan itu yang bersimpuh saling merengkuh.
Sedangkan Junmyeon—pria itu berusaha menahan tangisnya dan berusaha untuk tidak ikut untuk merengkuh anak gadisnya dan mantan wanitanya itu. Ia membiarkan momen mereka yang tidak pernah terjadi itu dan mungkin bisa menjadi momen terakhir mereka sebelum Junmyeon membawa Sakura untuk tinggal bersamanya di Jepang.
Sakura yang berada dalam rengkuhan Irene merasa lega. Hatinya sedikit tenang setelah meminta maaf, memberi tahukan keluh kesahnya yang selama ini ia pendam. Gadis itu tidak ingat kapan terakhir kali ia memeluk Irene, mungkin sebelum pertengkaran orang tuanya terjadi Sakura pun juga tidak tau awal mula pertengkaran itu terjadi karena apa dan alasan kenapa sang bunda berselingkuh. Sakura tidak memikirkannya sampai sana.
Kini Sakura lega karena telah berdamai dengan Irene, sang bunda yang sebenarnya sangat ia cintai.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Not Perfect
FanfictionIni bukan hanya tentang impian atau masa depan, ini semua tentang kehidupan. Sakura Kim hanya menginginkan kesempurnaan dari keluarganya yang telah mengalami kerusakan. Di belakangnya ada sosok Minho Lee, seorang sahabat yang tak luput dari pandang...