Episode 13

79 8 0
                                    

Episode 13 bangkitnya para Alpha di sekitarku!

Plak! Plak! Plak!

Aku merasa seseorang tengah melakukan sesuatu. Namun aku tidak merasakan apapun. Bahkan samar-samar aku mendengar suara seseorang. Dan sekali lagi aku tidak mendengarnya.

Kepalaku sungguh berat, bahkan untuk membuka mata saja sangat sulit. Jadi aku berniat untuk tidur dengan tenang, sampai—

*Cup*

Tunggu. Dengan paksa aku membuka mataku tepat setelah aku menyadari sensasi lidah seseorang yang memasuki mulutku.

Dari siluetnya, rambut peraknya beberapa menutupi sebelah mataku, namun saat ia membuka matanya, mata keemasan itu menatapku. Aku tersadar dalam sekejap.

Itu Aquilla.

"Fyuh~ tampaknya kau harus di cium dulu untuk bangun, eh? Tuan putri Arven…" ia menjauhkan dirinya dariku. Aku masih terpaku di tempatku berada.

Namun segera saja aku menyadari sesuatu dan segera bangun. "Apa yang terjadi padaku? Kenapa aku kesini lagi?"

Aku mengabaikan sikapnya tadi. Lagipula, itu bukan kali pertamanya dia melakukan itu padaku.

Aquilla menaikkan alisnya heran, namun tetap menjawab. "Kau pingsan saat kakakmu membangkitkan subgendernya."

"Aku tahu itu. Yang kumaksud, apa penyebab aku pingsan? Bukankah terakhir kalinya aku sudah mengendalikan mereka meski hanya beberapa?" 

Aku bahkan tidak punya waktu untuk bercanda kali ini. Ini kedua kalinya aku memasuki lautan jiwa ini saat pingsan. Semenjak saat itu, mengapa aku kesini lagi?

"Tenanglah!" Ia memukul kepalaku dengan sisi telapak tangannya. Itu sakit.

"Hey! Bersikaplah dengan baik!" Omelku.

"Oke, oke… aku akan mengatakan alasannya." Ia berjalan ke arah danau dalam lautan jiwaku. Aku mengikutinya.

Terlihat, itu rupanya sosok kakakku, Alric, yang saat ini dikelilingi oleh cahaya samar berwarna gelap. Bahkan raut mukanya terlihat sangat ganas. Ayah sedang mengendalikan Alric yang tampak mengamuk. Namun aura ayah lebih pekat dari Alric. Ia pun segera kalah di tangan ayah, dan pingsan sementara.

Danau bergoyang, dan kali ini menampilkan upacara milik Alan. Itu hampir sama dengan Alric, namun auranya pekat berwarna ungu gelap. Ia tidak sekacau Alric, tapi kekuatan tempurnya sedikit membuat ayah bermasalah. Tampak seolah-olah ia sedang dikendalikan sesuatu. Beruntung, ayah sangat kuat, yang cukup untuk menghalau serangan dan menenangkan Alan seorang diri.

Air danau segera beriak dan kali ini menampilkan seorang anak berambut abu-abu. Namun yang aku ingat, ia bukanlah anak dari kaisar, melainkan anak dari teman kaisar. Hanya saja kedua orangtuanya telah lama meninggal. Sebagai wali, ayahku yang menenangkan insting ganas dari pemuda itu. Namun, kali ini, itu bahkan tampak seolah lebih stabil dibanding kedua kakakku, hanya saja auranya sangat pekat dibandingkan Alan atau Alric. Jadi, ia hanya melukai dirinya sendiri dengan ganas, sebelum akhirnya pingsan dengan sendirinya. 

Air danau kini menampilkan wajahku sendiri. Itu sudah selesai. Aku menatap Aquilla. Menuntut penjelasan.

Ia menghela nafas. "...kau masih tidak paham? Aku akan bertanya. Dari ketiga orang itu, manakah yang lebih berbahaya."

Aku berpikir sejenak. "Apakah… Alan?" Tanyaku. Pikirku, serangan Alan yang mengerikan itu, bahkan sampai melukai ayah, meski sedikit. Itu fatal, bukan?"

Ia menggelengkan kepala. "Sudah lupakan kau, tentang tingkatan? Lihat saja aura kakak-kakakmu. Diantara mereka, siapa yang mempunyai aura paling samar?"

Aku mengingat. "Alric. Jadi semakin samar, semakin kuat?" Simpulku asal.

Ia tersenyum. "Yah… meski kurang, tapi itu hampir benar. Tepatnya, semakin kuat aura seseorang, semakin sulit ia mengendalikannya. Otomatis, hanya sedikit aura yang akan terpancar keluar dari tubuhnya. Soal ia dapat mengendalikan atau tidak, itu tergantung dari kekuatan mental mereka."

Ia mengulang kejadian Alric dengan  melambaikan tangannya ke danau lagi. "Atau lihat saja seperti dia. Kekuatan mental Alric tampaknya tidak sekuat itu untuk mengimbangi kekuatannya. Serangannya sangat kacau dan tidak terarah. Artinya, ia kehilangan kendali, padahal itu masih sedikit yang keluar. Daya tempurnya juga kuat."

Ia melambaikan lagi, dan kini adegan Alan. " Mari kita bahas sialan * uhuk*  Alan maksudku. Auranya pekat, itu berarti kekuatannya tidak sekuat itu. Ia juga mempunyai kesadaran saat melancarkan serangannya ke Kaisar. Namun, dia sama saja tidak mempunyai mental yang kuat."

Aku menatapnya bingung. "Kenapa bisa?"

"Itu karena nyatanya ia masih menyerang ayahnya sendiri. Jika dia sadar, dia tidak akan mau, dan tidak bisa melukai oranglain. Itu jika dia sadar. Namun ibarat Alric dirasuki binatang buas yang ingin terbebas tanpa peduli kawan atau lawan, Alan itu tampak dikendalikan hewan buas yang punya pikiran. Kebanyakan mereka hanya ingin bermain-main, atau menguji kekuatan orangtua yang melahirkan mereka. Layak tidaknya mereka, ditentukan dari bisakah mereka mengendalikan insting putranya sendiri.

Biasanya, jika sangat kacau, kedua orangtuanya akan saling membantu. Namun, jika hanya kaisar saja sudah mampu mengendalikan mereka, maka kekuatan anaknya tidak lebih kuat dari ayahnya saja."

Aku paham apa yang ia maksud secara garis besar. Jika kekuatan anak melebihi sang ayah, maka ibunya serta ayahnya lebih dari cukup mampu mengendalikan anak mereka, karena kekuatan seorang anak didapat dari keturunan orangtuanya. Sebaliknya jika itu anak angkat. Mungkin akan lebih berbeda, karena itu bukan orangtua asli mereka. 

Tunggu. Lalu…

Aquilla mengganti adegan ke pemuda yang terakhir. "Kalau dia… selain karena ia mempunyai kekuatan lebih sedikit dari kedua kakakmu, ia juga menyadari kalau kedua orangtuanya telah lama meninggal. Jadi, insting untuk menguji orangtuanya telah lama hilang. Termasuk tadi, mental dia sangat kuat setelah kematian kedua orangtuanya. Jadi betapapun kuatnya dia, karena mentalnya masih mempertahankan kesadarannya, maka sebelum ia lepas kendali, segera menyakiti dirinya sendiri untuk tidak sadarkan diri."

"Hah~ jangan bertanya lagi. Aku lelah menceritakan semua itu. Biarkan aku istirahat. Menarik jiwamu agar tidak rusak, itu sungguh menguras tenaga. Kau akan terbangun sebentar lagi. Tunggu."

Setelah mengatakan itu, ia menghilang. "Hey—!"

Ugh. Aku menatap tangan kananku. Terlihat tatto 2 sayap, namun warnanya senada dengan kulitku. Itu cara dia beristirahat, katanya.

Aku pun merenungkan kejadian tadi, dan memikirkan alasan-alasan mengapa aku pingsan. Menurut dugaanku yang berdasar dari tubuh 'Arven', mungkin karena tekanan yang kuat, membuat mental anak ini yang sebelumnyaemang rapuh, menjadi terjatuh. Tidak. Tubuhnya saja yang rapuh. Sedangkan mental… itu bukannya sudah kuisioner dengan mentalku…? Entahlah. Aku kurang yakin.

Semakin dipikir, aku semakin curiga bahwa Aquilla hanya beralasan demi kabur dari pertanyaan utamaku. Tapi aku benar-benar tidak bisa menemukan apa yang salah.

...tidak. Tepatnya aku tidak berani memikirkan apa yang terjadi pada tubuhku. *Glek* termasuk subgenderku.

Lupakan! Kali ini jangan terlalu banyak berpikir. Bagaimana jika aku mengubah lautan jiwa ini dengan cahaya bintang yang Kusuka.

Aku pun mengingat langit malam yang penuh dengan bintang-bintang yang berkelap-kelip. Terdapat suatu rumah besar yang minimalis, dengan warna senada dengan putih susu. Terdapat pula meja dan kursi empuk berwarna senada dengan rumahnya… lalu dengan RI gan, aku menyesap teh sambil melihat indahnya bintang yang berkelap-kelip, serta ditemani suara air mancur di depan rumah.

Aku membuka mataku perlahan. Dan saat ini, aku benar-benar sedang duduk di kursi  senada dengan warna putih susu di dinding rumah. Khayalanku menjadi kenyataan jika aku berada di lautan jiwa. Aku menatap langit yang kini memantulkan cahaya redup bintang-bintang.

Astin…

Hanya ini yang dapat aku ingat sekarang. Senyumannya? Sifatnya? Wajah atau suara? Aku sudah lupa. Untung saja aku masih mengingat namanya, saat seperti sekarang, aku menatap bintang.

Where Am I !? (The Twins)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang