xii | finding calandra

2K 563 205
                                    

"Tama? Udah tidur, nak?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Tama? Udah tidur, nak?"

Suara ketukan pintu diiringi tanya pendek dari Dian membuat Tama menutup buku yang berada di atas pangkuannya. Dia tersenyum kala Dian duduk di atas tempat tidurnya.

"Baca apa itu? Kayaknya bukan novel, atau komik jepang-jepangan yang biasa kamu simpan." Dian mengernyit ketika tangannya membalik buku bacaan Tama.

"Ini humanistik, sejenis buku psikologi, Bun. Kenapa tiba-tiba nyamperin?" Tama memperbaiki posisi duduknya.

"Oalah, tumben kamu baca gituan. Oh iya, Bunda mau ngomong."

"Itu udah."

"Bukan gitu atuh... Bunda mau nanya, kamu akhir-akhir ini kok lemes banget? Nggak sakit, kan?"

Tama menggeleng. "Baik-baik aja."

"Kadang Bunda mikir kamu tuh keturunan siapa, kasep pisan, padahal muka Bunda sama Ayah sama-sama nggak enak diliat. Ternyata setelah liat kamu yang nggak bisa bohong gini, Bunda baru nyadar kamu bener-bener keturunan Bunda." Dian terkekeh. "Ayo bilang, kenapa kok murung? Karna cewek yang kemarin ya?"

Tama melotot, hampir membantah saat dengan mendadak Dian lagi-lagi bersuara.

"Itu cewek kemarin, kok dia nggak keliatan akhir-akhir ini? Berantem?" pertanyaan Dian dihadiahkan gelengan dari Tama.

"Dia ngilang, udah 4 hari."

"Loh kenapa? Oh iya namanya siapa?" tanya Dian lagi.

"Aku nggak tau... namanya Calandra. Mia Calandra, Bun."

"Kayak pernah dengar namanya." Dian tampak berfikir, namun ekspresinya berubah dengan cepat. "Kamu suka dia kan?"

Tama menunduk, menolak berdusta ataupun menjawab.

"Dia nggak sopan memang,"

Tama otomatis mendongak cepat.

"Tapi dia berani. Kamu butuh cewek begitu." Dian kelihatan bernostalgia. "Bunda dulu pendiam, suka menutup diri kayak kamu. Tapi Ayah, dia pemberani dan cenderung lugas. Liat sekarang, apa kami cocok? Jelas, ya walaupun sifat Ayah yang berbeda jauh dengan Bunda nggak jarang bikin kami cekcok. Apalagi pas ngasih nama kamu dulu, kalau bunda nggak keras kepala bisa aja kamu dikasih nama Abdul."

Tama tertawa, "Itu ayah yang ngasih? Nggak elit banget."

Dian mengangguk. "Pikiran Ayah kamu itu memang terlalu kuno." lalu matanya menatap lamat pada anak satu-satunya. "Melahirkan dan membesarkan kamu, satu hadiah terbesar di hidup Ayah dan Bunda, nak. Jangan sekali-sekali kamu tafsirkan rasa posesif kami itu sebagai suatu yang jahat. Kata-kata Ayah kemarin, jangan kamu masukin dalam hati terlalu dalam."

TAMANDRA, SUNGHOON ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang