xiii | die in his arms

2.2K 600 240
                                    

ohya, puter lagu terambyar yg kalian punya ya, soalnya chap ini mayan uwu wkwk.

ohya, puter lagu terambyar yg kalian punya ya, soalnya chap ini mayan uwu wkwk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Lo nggak sendiri disini Cal?"

Pertanyaan Tama hanya dibalas anggukan kecil dari Calandra karena perempuan itu ketakutan karena suara yang berasal dari dapur rumah itu.

Seketika Calandra memukul pahanya pelan seakan teringat sesuatu. "Kayaknya itu tepung yang gue beli siang tadi, bentar gue mau ngecek." dia beranjak menuju dapur dengan was-was.

"Berani sendiri? Gimana kalau bukan kantong tepung yang jatoh?" Tama menakut-nakuti, tidak ia pungkiri ternyata Calandra mendadak gemetaran karenanya. "Cewek kayak lo ternyata takut sama hantu juga ya?"

Calandra menoleh pedas. "Kelemahan gue ada dua. Satu, hantu. Dua, cowok pendiam."

Perkataan Calandra sukses membuat Tama berhenti menggoda, secara tidak sengaja itu menyindirnya. Tak bisa disanggah, Calandra memang setakut itu dengan makhluk gaib hingga sanggup berkata ketus pada Tama.

Namun satu tanya yang masih berotasi di benak Tama, kenapa perempuan itu nekat untuk tinggal ditempat terperosok seperti ini sendirian, sementara ia sendiri anti setan?

Keadaan telah lumayan kondusif ketika Calandra dan Tama usai membersihkan diri masing-masing. Masing-masing. Sendiri-sendiri. Namun entah kenapa keduanya justru tersipu malu saat menyadari rumah itu hanya punya satu kamar untuk ditiduri. Sebagai jalan akhir, Calandra pun menyiapkan satu set tempat tidur lesehan yang dulu jadi tempat tidurnya saat kecil bersama neneknya, sementara dia sendiri ia tidur di ranjang. Bukan apa-apa, Calandra ogah tubuhnya dikelilingi nyeri saat bangun dari tidur, sudahlah seharian dihabiskan demi mengayuh sepeda. Dan oh ya... Tama itu lelaki, dia pasti bisa menghandle dirinya sendiri.

"How could you live in this house?" Tama bersuara saat mereka sudah berbaring di tempat tidur masing-masing.

"Emang kenapa ni rumah?"

"I mean, you're a girl, seventeen, and alone at the big and haunted house."

"Angker?"

"Iya, gue sempat merinding pas nyampe disini."

Calandra tertawa singkat, "Walaupun begitu lo tetep nungguin gue sampe jam tujuh malam?"

Tama mengangguk, meski tak terjangkau oleh penglihatan Calandra.

"Tempat ini menantang, memang terkesan angker tapi angkernya tempat ini justru tersamar dengan kenangan yang ada. Gue malah suka. Tapi entah kenapa disaat ada lo, gue malah mendadak teringat hantu. Well, kayaknya lo adalah bahan dasar buat memulihkan kewarasan gue."

"Kalau gue adalah orang yang bisa memulihkan kewarasan lo, lo adalah orang yang bisa bikin kewarasan gue hilang, Cal..."

"Lo suka gue?" Perkataan super mendadak dari Calandra membuat Tama bungkam. Jari-jari yang digunakannya untuk memilin selimut berhenti bergerak, kepalanya sibuk memproses 3 kata yang tengah menggema dengan lantang ditelinganya.

Calandra terduduk, heran karena tidak mendapat balasan apa-apa. "Kenapa? Bukannya lo udah siapin kata-kata buat situasi yang kayak gini?"

Tama ikut menyibak selimutnya, bergerak menaiki ranjang atas. Calandra mematung saat dimana dengan tiba-tiba Tama terbaring dengan tangan yang menggerakkan perempuan itu untuk ikut dengannya. Calandra menurut lalu terlentang dengan kaku disebelah Tama, namun ia malah membuang wajah.

Tama cemberut.

"Hei, liat gue dong?"

Fucc Adya Wiratama, fucc this atmosphere.

Tama langsung menarik kepala Calandra ke dadanya saat perempuan itu memalingkan wajah. Suara jantung Tama sontak terdengar keras ditelinga Calandra, Tama tidak malu, ia justru menarik perempuan itu lebih dekat.

"I love you." bisiknya pelan.

Calandra membeku ditempat, membuat Tama merasa tengah memeluk sebuah patung berdaging dingin. Jika dihitung-hitung, ini pertama kali Tama menyatakan cinta pada Calandra.

"Sshh sakit Cal." Tama meringis kala Calandra menonjok lengannya tanpa ampun.

"Gue cuma nanya lo suka sama gue apa nggak, tapi kenapa jawaban lo malah bikin gue sakit kepala." Calandra makin merengek saat Tama malah terkekeh melihat aksinya.

"Ya sorry, lagian gue juga udah lama nunggu buat ngomong, nggak ada timing yang pas." Tama bertutur jujur. "Harusnya lo berterimakasih karena gue peluk, coba gue ngomong gini pas muka lo terpampang jelas di bawah sinar matahari. Boleh gue tebak, pasti muka lo merah kan?"

Calandra mendecak, tangannya bergerak memeluk pinggang Tama tanpa komando. "Lo kenapa cerewet amat sih sekarang."

Tama menatap pucuk kepala Calandra dengan alis terangkat. "Kalo gue nggak cerewet emang lo bakal mau ceritain soal kemarin?"

Calandra menyembulkan kepalanya, membuat hidung mereka langsung berhadapan tanpa jarak. Pipi Calandra memerah, namun ia tetap memberanikan diri untuk menatap mata elang milik Tama. "Sorry gue nggak bisa, hidup gue hancur. Gue nggak bisa ceritain ke elo yang masih punya harapan buat hidup dengan baik."

Sungguh, Tama benci tatapan itu. Tatapan penuh raung minim harapan dari iris mata Calandra menusuk hatinya.

"Lo bisa cerita, gue nggak bakal terkontaminasi. Dan gue harus bantu lo, karena gua nggak suka liat orang yang gue sayang memandang gue dengan tatapan kayak gitu."

"Tam—"

"Cerita, anggap lo lagi dongengin gue buat tidur."

Sejenak, senyap menguasai udara, hanya terdengar suara yang berasal dari tangan Tama yang mengusap pelan surai Calandra.

Calandra berdeham guna menetralkan suara. "Di dunia ini, banyak Ayah yang nggak baik, tapi lebih banyak anak yang nggak becus." dia menatap kosong pada jidat Tama yang masih basah. "Gue pikir, dengan diam dan melarikan diri adalah solusi utamanya. Tapi... selama ini gue salah, ternyata semua kesalahan terletak di gue, gue yang nggak becus. Gue nggak mau menyalahkan siapa-siapa, apalagi menyalahkan diri sendiri. Gue cuma bisa lari kesini tiap dengar kalimat menyakitkan yang keluar dari bibir Ayah gue."

Tama masih diam, seakan berusaha setia untuk mendengar celotehan Calandra.

"... dan sekarang gue nemuin solusinya, ternyata bercerita ke elo adalah suatu hal yang paling melegakan untuk situasi kayak gini. Lain kali, kalau ada yang mau gue ceritakan, gue bakal ceritain ke lo."

"Janji?"

"Janji."

Tama tersenyum puas, bibirnya bergerak mengecup hidung Calandra. Singkat, namun sukses bikin Calandra kembali membenamkan kepalanya ke dada Tama dengan malu.

Mereka terdiam untuk beberapa saat dengan posisi ternyaman sedunia, yah Tama berfikir seperti itu mulai sekarang. Memeluk Mia Calandra adalah hal favorit seorang Adya Wiratama.

"Tam... Dosa nggak sih kita kayak gini?"

TAMANDRA, SUNGHOON ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang