Kekasih Hati

1 0 0
                                    

Sekarang aku duduk bersebelahan dengannya. Dia menyentir tanpa berbicara sepatah pun. Menatap jalan raya yang sangat lengang dan membuatnya melaju mobil dengan kecepatan penuh. Aku yang sedari takut mati karnanya hanya bisa berpegangan pada handle pintu mobil seraya berdoa kepada Tuhan untuk memaafkan semua dosa-dosaku. Aku tidak mengerti kenapa Farrel menjadi seperti ini setelah mengendarai mobilnya.

"Farrel." Panggilku setelah sekian lama mengumpulkan keberanian untuk menyebut namanya. Aku melirik kearah. Tidak ada jawaban. Damn. Apa sekarang dia tuli.

"Kenapa?" Jawabnya akhirnya setelah aku menutup mata. Aku membuka mata dan menengok kearahnya.

"Jangan ngebut." Lidahku terasa keluh. Suara yang terlontar seakan seperti hembusan angin. Pelan namun terdengar. Farrel mulai mengurangi laju mobilnya. Aku mengendurkan pegangan pada handle pintu.

"Pegangan tangan aku, jangan pintu mobil." Farrel menyodorkan tangannya. Aku diam beberapa detik. Apakah ini nyata.

"Kalau tidak ingin berpegangan. Aku akan menambah kecepatannya kembali." Mendengar kata menambah kecepatan aku langsung memegang tangannya dengan kedua tanganku tanpa sadar.

"Jangan." Pekikku. Dia tersenyum. "Iya. Nggak." Sembari menggenggam tanganku.

"Kita mau kemana?" Aku bertanya-tanya dalam benak. Farrel ingin membawaku kemana?

"Rahasia." Jawabnya singkat dengan nada datar dan tetap menggenggam tanganku. Jawaban yang cukup membuatku jengkel. Aku jadi ingin seperti Edward Cullen yang dapat membaca pikiran orang lain. Agar aku dapat membaca pikirannya sekarang tanpa harus bertanya seperti tadi.

"Apa kau lapar?" Tanya Farrel sembari mengelus punggung tanganku.

"Tidak." Aku hanya menatap keluar jendela memikirkan kemana aku akan dibawa olehnya.

"Tapi aku lapar." Aku mendengar suaranya yang seperti merajuk. "Apa kau yakin tidak lapar?"

"Tidak." Jawabku sama tanpa menoleh kearahnya.

"Apa kau tega melihat kekasihmu kelaparan?"

"Kalau kau lapar makan. Kenapa harus laporan ke aku?"

"Karna kau kekasihku."

"Apa kau seperti ini dengan kekasih terdahulu?"

"Dengan siapa?"

"Ya dengan perempuan."

"Siapa?"

"Ntah. Aku tidak tahu menahu tentang mantan kekasihmu."

"Kau harus tau. Kau adalah kekasih pertamaku."

Apa aku tidak salah mendengarnya. Aku kekasih pertamanya. Pertamanya. Mana mungkin.

"Pertama?" Aku mengulangi pernyataannya.

"Iya." Ya Tuhan. Aku tidak salah. Aku kekasih pertamanya. Apa akan jadi juga yang terakhir. Pertama dan terakhir. Itu seperti hubungan yang sangat mudah bukan. Kekasih pertama dan terakhir. Aku menginginkan seperti itu tapi apa bisa aku bersamanya.

"Apa ada yang salah?" Farrel menyadarkan ku dari lamunan.

Aku melirik kearahnya sejenak. "Tidak tidak. Tidak ada yang salah."

"Apa kau mempunyai mantan kekasih?" Deg. Pertanyaan yang kutakutkan terlontar dari mulutnya.

"Tidak ada." Jawabku cepat. Damn. Kenapa aku menjawabnya terburu-buru.

Farrel tersenyum. "I'm glad we're the first. " Aku membisu. Rasanya ingin berteriak bahwa aku sangat bahagia kini namun semua tertahan di kerongkongan. Hati berdegub tak berirama. Tuhan. Apakah ini jawaban atas doa-doaku yang ku tabung sejak lama. dia kekasih impian yang ku titipkan namanya dalam doa.

Tanpa aku sadari aku menggenggam tangannya seerat mungkin. tanpa ada ruang diantara jemari kami. Genggaman seolah berkata. Jangan tinggalkan aku dalam keadaan apapun. Dalam senang ataupun susah. Dalam sakit ataupun sehat.

"Aku mencintaimu." Aku menoleh ke arahnya. Ia tersenyum hingga menyipitkan matanya dan lesung pipinya tercetak jelas disana. Aku tersipu karnanya.

"Kau tidak membalas ucapanku." Farrel merajuk hingga merubah ekspresi wajahnya menjadi masam. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

"Aku-" kalimat yang seakan mudah diucapkan tertahan dengan degub hati yang meracau. Ayolah mulut kenapa menjadi gagap seperti ini. Aku menutup mata mengumpulkan semua keberanian.

"Aku juga mencintaimu." Ucapku akhirnya sambil mengintip ke arahnya dengan sebelah mata. Apakah aku benar mengucapkannya. Apakah dia mendengarkan ucapan ku tadi. Apakah terdengar. Apakah terdengar.

Farrel menepikan mobilnya. Aku tidak mengerti kenapa ia Sampai menepikan mobilnya ditempat yang sangat sepi tanpa ada satu pun mobil ataupun pohon disana. Disisi kiri hanya ada pembatasan jalan yang memisahkan kami dengan jurang.

"Farrel," panggilku menoleh kearahnya yang enggan melihat kerahku.

Apa aku membuat kesalahan padanya. Apa yang telah aku lakukan padanya. Farrel tidak menoleh ataupun menjawab panggilanku. Hanya ada keheningan diantara kami.

.
.
.
Thank you for attention
Love Hikari

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 11, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Serenus | Hening |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang