Prolog

6.7K 590 33
                                    

Di kursi kemudi, Mas Radi menghela napas panjang. Lelaki itu mengusap wajahnya dengan kasar. Meski ini bukan pertama kalinya aku minta putus, tapi reaksi Mas Radi tetap sama. Dia marah dan kecewa.

Mobil yang kami tumpangi pun menjadi lengang selama beberapa saat. Hujan semakin deras, menambah sendu pada atmosfer tempatku berada.

"Apa ada laki-laki selain aku?" tanya Mas Radi yang seketika menyentakku.

"Kenapa kamu mikir kayak gitu?"

"Soalnya kamu tuh aneh, Miya." Mas Radi mengacak rambut dengan frustasi sebelum melanjutkan kalimatnya. "Kamu sering ngehindari aku, makin jarang angkat telepon aku. Setiap kali kita punya kesempatan berdua aja, kamu lebih banyak diam. Sekalinya ngomong, minta putus. Kalau nggak ada laki-laki lain, apa dong alasannya? Aku bikin salah apa sama kamu sampai harus ditodong putus?"

Membenarkan asumsi Mas Radi akan lebih memudahkanku untuk putus darinya. Mas Radi pasti merasa dikhianati, lalu dia memilih pergi meninggalkanku, dan selesailah hubungan kami. Masalahnya, aku nggak sanggup menyakitinya seperti itu. Aku dan Mas Radi memulai hubungan dengan baik-baik, makanya, aku juga ingin mengakhirinya dengan cara yang baik.

"Nggak ada laki-laki lain," tegasku. Dan mungkin, nggak akan pernah ada, Mas.

"Kalau gitu, kenapa kamu pengin kita selesai sampai di sini?" Mas Radi bertanya dengan tak sabar. Dia menoleh, menatapku dengan kesal. "Nggak mungkin cuma gara-gara gosip yang kamu dengar tadi pagi itu, kan?"

"Enggak."

"Kalau gitu apa?"

"Aku capek sembunyi-sembunyi kayak gini, Mas."

"Kamu kira aku nggak ngerasa capek?" sela Mas Radi cepat. "Di rumah, kamu tahu sendiri aku berhadapan sama siapa. Di kantor, makin banyak orang yang bikin aku kesal, cemburu. Rasa sayangku ke kamu jauh lebih besar, itu yang bikin aku bertahan."

Aku tak sempat mengelak saat Mas Radi meraih tangan kananku dan membawa ke pangkuannya. Genggaman tangan Mas Radi terasa hangat, tapi anehnya, kehangatan itu tidak membuat hatiku menjadi lebih tenang. Justru sebaliknya.

"Aku nggak suka kamu ungkit soal putus lagi. Aku tahu hubungan ini nggak gampang buat dijalani, tapi aku percaya, kita pasti bisa tetap sama-sama. Please, don't give up on me."

"Sampai kapan aku harus pura-pura kuat?" tanyaku lirih.

Tatapan Mas Radi berubah sendu. Alih-alih menjawab, Mas Radi malah mengeratkan genggaman tangannya. "Aku nggak mau kehilangan kamu."

Aku juga, Mas, tapi sekeras apa pun kita berusaha mempertahankan satu sama lain, pada akhirnya, kita tetap harus saling merelakan.

"Kamu sayang sama aku kan, Mi?"

"Kalau aku nggak sayang, mungkin aku nggak akan bertahan jadi selingkuhan kamu selama setahun belakangan ini."

Mas Radi menarik satu tangannya, kemudian mengusap kasar wajahnya. "Sampai kapan sih kamu mau ngasih label itu ke diri kamu sendiri?"

"Memangnya salah? Kalau aku bukan selingkuhan kamu, terus aku ini apa?"

"Kamu satu-satunya perempuan yang aku cintai, Mi," ujar lelaki itu dengan sepenuh hati. Aku tahu sebab hatiku menghangat usai Mas Radi menyelesaikan kalimatnya.

Sebelum keteguhan hatiku rubuh, aku bergegas menarik diri. "Aku harus turun sekarang," kataku sambil perlahan menarik tanganku dari genggaman tangan Mas Radi. "Keputusanku masih sama ya, Mas. Aku pengin sendiri dulu buat nenangin pikiran."

Tanpa menunggu sahutan, aku melepas seatbelt dan bersiap keluar dari mobil Mas Radi. Dalam satu gerakan cepat, tangan lelaki itu menahanku. Aku terkejut saat menoleh karena tanpa aba-aba, Mas Radi mendekatkan wajahnya padaku. Sepersekian detik kemudian, lelaki itu mendaratkan bibirnya di bibirku.

Selama beberapa saat, aku membeku. Kepalaku mendadak kosong saat bibir Mas Radi mengecup bibirku dengan lembut, sama sekali tidak menuntut sehingga aku terlena—sampai menutup mata dan tanpa sadar membiarkan Mas Radi mengambil napasku lebih lama.

Astaga... ciuman pertamaku.

Ciuman pertama kami.

Napas kami masih saling beradu saat ibu jarinya mengusap pipiku, mengalirkan getaran yang sukses membuat wajahku memanas. Lambat, kesadaranku kembali.

Ini salah.

Ciuman ini nggak seharusnya terjadi!

Kalau bukan karena suara klakson dari mobil di belakang kami, pasti Mas Radi tak akan melepaskan tautan bibir kami.

Mas Radi meninju kemudinya, entah merasa kesal karena mobil belakang kami memberi klakson tanpa sebab, atau... karena dia menyesali perbuatannya. Yang jelas, raut wajah Mas Radi semakin terlihat kusut.

Aku tak bisa menahan bulir air mata begitu kembali bertukar pandang dengan Mas Radi. Dengan cepat, lelaki itu menghapus jejak basah di pipiku.

"Maafin aku, Miya. Aku cuma—"

"Kamu sudah ngelanggar janji," potongku dengan suara bergetar.

"Mi... aku minta maaf... yang tadi itu—"

Gelengan pelanku membungkam kalimat Mas Radi. Buru-buru, aku membuka pintu mobil Mas Radi dan membuka payungku. Dalam hitungan detik yang singkat, aku sudah berjalan cepat meninggalkan mobilnya.

Seharusnya, aku merasa sedikit lega, karena dengan kesalahan yang Mas Radi lakukan barusan, aku punya alasan kuat untuk minta putus. Namun, kesedihan malah menggerayangi benakku. Rasa cintaku yang begitu besar membuatku sulit merelakan Mas Radi, meski sebenarnya aku ingin.

Ya Tuhan, kenapa Kau bebankan rasa ini padaku? Kenapa aku tidak bisa menemukan kelapangan dalam diriku, saat aku tahu Kau memberiku kemudahan untuk melepaskan Mas Radi?

Langkahku terhenti sebelum aku mencapai gerbang kampusku. Sekuat tenaga, aku membangun kembali akal sehatku yang sempat runtuh akibat ciuman lelaki itu.

Tidak ada satu pun orang yang merasa lega ketika harus meninggalkan sosok yang mereka cintai, termasuk aku. Jadi, tak apa aku menangisi Mas Radi sekarang, besok-besok aku pasti bisa menerima kenyataan bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai dengan harapan.

Tuhan tidak akan membebani seseorang melebihi kapasitasnya. Karena Tuhan percaya padaku, maka aku yakin, aku bisa mengobati hati yang remuk redam ini.

Selalu ada awal dan akhir untuk segalanya, Amiya. Rasa sakit kamu nggak akan bertahan selamanya.





TBC

Kok Meet Prodigious Partner ganti judul? Iya, diganti. Supaya lebih simple. Tapi ceritanya masih seputaran serangkaian pertemuan Amiya dengan The Prodigious Partner koq ;)

Kalian tetap bakal ketemu tokoh-tokoh di DPP, coba tebak bakal ketemu siapa aja! ;p

Author tahu beberapa pembaca di sini udah nggak tahan mau maki-maki. Mohon disabarin dulu, soalnya plot cerita ini nggak sama kayak yang pernah kalian baca. Mending nih, chapter permulaan ini, komentarnya yang rada enakan dikit lah. Misalnya kangen Radi gituuu, atau apa lah, yang manis-manis. Mari kita sambut Radi di sini! #eh

Selamat hari Senin! 

XOXO

Rachel

Meet, Prodigious Partner!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang