Tak ada pembicaraan sejak awal bertatap wajah, sudah terhitung tiga puluh menit Diaz hanya menatap bingung kearah sahabatnya. Pertemuan kali ini diminta oleh Saveri, katanya banyak hal yang belum ia ceritakan pada Diaz. Sebagai sahabat yang memang selalu ada untuk Saveri, Diaz pun mengiyakan bahkan masih tetap menunggu Saveri mengumpulkan niat sungguh-sungguh untuk memberitahu sesutu yang-sepertinya mendesak?
Entahlah, Diaz sendiri juga belum tau apa yang membuat Saveri sampai kesulitan seperti ini. Biasanya jika Saveri ingin berbagi cerita, tidak ada hambatan sama sekali. Biasanya pemuda itu langsung terang-terangan menjelaskan hal yang memang ingin dia bagi pada Diaz.
Kali ini, Saveri yang diam seperti ini, membuat Diaz sedikit ngeri. Apakah masalahnya lebih berat dari sebelumnya?
"Bel, kita udah diem-dieman begini lebih dari tiga puluh menit. Lo juga pucet, masalahnya sebesar apa sih? Lo bikin gue takut kalau lo begini, tau gak?" Desis Diaz mengubah pandangan kosong Saveri jadi tertuju padanya
"Y-ya sabar, Di.. gue juga kan perlu mental yang cukup buat ngomong ke lo tentang ini" Lirih Saveri. Diaz langsung menghela napas kasar kemudian mempertegas pandangannya.
"Gini, kalau lo emang belum siap cerita sekarang, kenapa lo ajakin gue ketemunya sekarang sih? Gue udah keburu penasaran, kan lo tau sen-"
"Gue hamil, Di." Potong Saveri eksplisit.
Jantung Diaz rasanya seperti berhenti berdetak untuk beberapa saat, matanya bergetar ketika menatap Saveri yang memberikan sorot sendu-takut pada dirinya. Dalam hati, Diaz berharap salah mendengar ucapan yang baru saja keluar dari sahabatnya. Atau setidaknya, ia berharap bahwa Saveri hanya bercanda.
Mimik wajah Saveri yang serius campur takut menunjukkan bahwa ucapannya bukanlah sebuah guyonan, Diaz menghela napas berat kemudian memalingkan pandangannya dari Saveri yang terlihat gelisah.
"Di.."
"Gimana bisa sih, Bel? Lo tuh goblok banget ya? Gimana bisa hamil!?"
"Sssttt.. Di.. jangan keras-keras, nanti banyak yang denger." Cicit Saveri sembari membawa tangan Diaz untuk digenggamnya; agar Diaz lebih tenang dan mau mendengar penjelasan Saveri lebih lanjut.
"G-gue waktu itu mabok dan ngelakuin itu, t-terus.."
"Terus ketagihan?!"
"Di.."
"Gue udah bilang sama lo berapa kali sih? Jangan terlalu deket, lo pindah dan tinggal bareng sama dia aja gue gak setuju, kan? Tapi apa? Lo batu! Sekarang kalau udah hamil gini, gimana coba? Lo tuh gak bisa jaga diri lo sama sekali ya, Bel?" Wajah Diaz menujukkan bahwa emosi sedang menguasai dirinya, terlihat juga dari bagaimana cara Diaz berbicara pada Saveri. Penuh penekanan.
"L-lagian dia juga mau tanggung jawab-"
"Bukan masalah tanggung jawabnya, Bel. Dia bisa aja bilang kalau dia mau tanggung jawab sama lo karena sekarang lo masih hamil muda, masih bisa diajak main. Kesananya nggak ada yang tau, lo tuh egois banget buat diri lo sendiri lo tau!?"
"Masa gue harus abor-"
"Kalau emang lo sanggup, lakuin aja."
Saveri terkejut, menatap Diaz tak percaya. Bagaimana bisa sahabatnya mendukung tindakan kriminal yang menghilangkan nyawa semacam aborsi? Napas Saveri tercekat, ia meneguk salivanya kasar lalu mengedipkan matanya beberapa kali.
Sementara Diaz yang memang sudah mengalihkan pandangannya sejak tadi tidak berniat untuk kembali melihat kearah Saveri. Katakan Diaz egois, tetapi menurutnya Saveri juga salah. Sebagai sahabat, Diaz hanya terlalu kecewa.
"Gue nggak nyangka lo bisa ngomong kayak gitu ke gue, Di.." Lirih Saveri, Diaz mendesis
"Gue juga nggak nyangka lo bisa dengan murahnya ngasih harga diri lo ke orang gila kayak bos lo itu. Selama ini lo jelek-jelekin dia ke gue buat apa dong kalau pada akhirnya lo juga bisa ngebiarin dia make lo? Munafik."
"Diaz, stop. Jangan bikin gue makin sakit hati sama-"
"Sama omongan gue? Better. Biar lo tau gimana munafiknya lo, Bel. Sekarang di suruh aborsi juga nggak mau, berarti lo emang mengharapkan bagian dari si brengsek itu hadir di hidup lo, kan?"
Saveri mengusap wajahnya kasar, sulit sekali menyusun kata untuk membuat Diaz mengerti bahwa ini tidak sesederhana itu.
"Anak gue gak salah, Di. Dia juga bukan cuma bagian dari Adhitama, t-tapi dia darah daging gue. Gimana bisa gue ngebunuh anak gue sendiri.."
Diaz menghela napas kasar sebelum akhirnya ia beranjak bangun dari duduknya, Saveri yang melihat langsung mengadah keatas; melihat Diaz.
"L-lo mau kemana?"
"Urus urusan lo sendiri mulai dari sekarang." Ketus Diaz segera berlalu tanpa mau merespon Saveri yang memanggil dan berusaha untuk menahannya.
Setelah beberapa menit Diaz pergi meninggalkannya, Saveri sendiri dan menumpahkan rasanya dengan menangis. Setiap ucapan yang keluar dari mulut Diaz sebenarnya tidak bisa Saveri terima dan membuat hatinya merasa sedikit tercubit? Saveri tidak menyangka sahabatnya bisa berucap hal yang sangat menyakitkan seperti barusan.
Ia menutup wajah dengan kedua tangannya, menahan suara isak tangis yang bisa saja menganggu pelanggan lain yang berada disekitarnya. Jika Diaz saja sudah pergi, dengan siapa Saveri harus mengadukan keluh kesahnya?
Saveri sendirian, tidak memiliki siapapun. Ini semua begitu menyakitkan, kecerobohannya dengan sang bos memang berujung fata, tapi Saveri bukanlah pembunuh yang tega melenyapkan nyawa anaknya sendiri. Saveri tidak seperti itu.
Tapi, jika semuanya mendesak, apakah Saveri tetap mempertahankan calon anaknya, atau justru malah merelakannya?
***
:))
YOU ARE READING
Mr. Adhitama
RomanceSaveri Abel Arsalan, karyawan biasa yang melakukan sebuah kesalahan hingga mengharuskan dirinya untuk menjadi sekertaris dari pemilik perusahaan Adhitama Corp serta CEO perusahaan ditempat kerjanya. "Jangan berani untuk jatuh cinta pada saya, Saver...