Bab 2

52 8 4
                                    

3 Tahun lalu

Christian kembali ke apartemennya setelah usai ibadah untuk pertama kalinya di Washington. Kepalanya terasa sedikit membesar karena pengakuannya tadi. Dia tidak menyangka kalau dia memperkenalkan diri sebagai Christian. Bagi sebagian orang itu merupakan hal yang biasa, tapi tidak baginya. Tidak bagi masa lalunya, pengalaman buruknya dan perjalanan hidupnya setelah ditinggal oleh ibunya.

Dia duduk sebentar sambil bersadar ke dinding dengan wallpaper kata bijak dari Rumi tersebut. Dia mengusap wajahnya lalu berdiri menuju kamar mandinya. Dibasuh wajah tampannya halus lalu ditatap cerminan dirinya di kaca besar itu. Dia mengamati setiap sudut wajahnya dengan tatapan selidik. Kini dia berfokus pada indra penglihatannya. Satu titik yang ditelusuri sedemikian dalam.

"Kau sudah memilih.." Christian mengangkat tangan kanannya sambil terus matanya menatap matanya sendiri. Kini dia bermonolog di kamar mandi.

"Pilihanmu harus kau pertanggungjawabkan!" dia menatap seram dirinya untuk melanjutkan. Pria itu mengintimidasi Watson dan Watson mempercayakan dirinya pada Christian.

Monolog aneh nan seram itu usai setelah berlangsung lama. Christian seolah memiliki 2 diri saat ini. Dari pantulannya tidak ada senyum selain wajah mengintimidasi. Dia menutup matanya dan menggoyangkan kepalanya kecil untuk kedua kalinya. Dia harus berbasuh dan pergi keluar untuk mengisi perutnya yang masih kosong.

Kata orang adaptasi itu penting. Tapi aku tidak terlalu sering mengamati suatu perkataan orang. Kali ini, harus kuakui kalau kalimat itu benar. Aku harus mampu beradaptasi. Dan disinilah aku saat ini, United States of America. Amerika, negeri Paman Sam katanya. Negara adidaya, begitu sering kudengar sebutannya. Apa saja ada disini, orang-orang sering berkoar karena hal ini. Aku ingin sekali menguji perkataan orang itu. Aku berjalan keluar apartemenku, lalu menguncinya.

Suara siulan kecil keluar dari mulutku. Tidak ada pengganjalnya saat ini. Rokok belum kubeli, jajanan seperti yang dibawakan Grace padaku masih belum kutahu ada apa tidak disini. Sambil terus berjalan, siulan-siulan itu terus kubuat, melewati lorong-lorong apartemen dan berbagai pintu tetanggaku.

"Husst" seorang kakek-kakek dengan kursi roda yang kutemui di lorong, bersuara dan melihat kearahku.

"Hehehe" kugaruk bagian kepalaku dan mulutku tertutup rapat seketika.

Aku masuk kedalam lift untuk turun kelantai dasar. Aku ingin tahu apakah di Amerika ada pedagang kaki lima. Kurasa tidak ada. Di dalam lift kuambil smartphone dan menyambungkannya ke earphone. Aku menyetel lagu Silhoutte dari Jacob Lee di Spotify. Selanjutnya aku hanya sedikit bergerak mengikuti iringan lagu yang terputar.

Aku sudah di basement.

Kunaiki benda besi berwarna abu-abu itu dan keluar perlahan dari gedung ini. Earphone masih menyumpal lubang telingaku dan kulanjutkan bersiul setelah kuayuh sepedeku. Kulihat pinggir jalan di Washington dan terus menghirup santai udara dingin yang bersalju saat ini. Ck, nilai minus untuk Washington karena sulit untuk menemukan pedagang kaki lima di sepanjang jalan. Tak ada yang jualan sate dengan kipas bamboo yang pilin rapi, tak ada bangku plastic dan gerobang dorong bertenda biru disini. Perkataan orang itu kurang tepat. Tak semua hal ada disini. Buktinya tak seorang pun yang jualan di jalanan di Washington, setidaknya disekitarku tak ada satu pun. Sambil menelusuri jalan raya, kuperhatikan pohon-pohon yang sebagian dihiasi lampu kerdil kemerlap. Sejenak aku berpikir, 'andai pohon mangga di panti asuhan dibuat seperti itu, pasti akan lebih indah'.

"Aish" aku mengerem sepeda.

"Aku belum menelpon Grace" aku berbicara sendiri.

Kutepikan akhirnya sepeda abu-abuku di sebuah restaurant. Penerima tamunya sedikit kebingungan melihatku. Kuteliti kedalam, masih banyak meja yang kosong.

"Apa Anda sudah melakukan reservasi, Tuan?" sapa penerima tamu itu ramah sambil memperhatikan sepedaku yang masih kupegang disampingku.

"Tidak jadi. Aku mendadak kenyang" kataku sambil tersenyum. Penerima tamu itu bertambah heran melihatku.

"Bye" lanjutku lagi sambil melambai padanya.

Aku tak bisa makan di restaurant tersebut. Aku tidak akan bisa menelpon dengan keras. Alhasil, aku menuju minimarket untuk berbelanja. Ini merupakan satu bentuk adaptasiku disini.

Sekarang aku sudah kembali ke apartemenku. Aku memasak mie instan yang tadi kubeli. Setelah selesai, kuambil smartphone dan menelpon Grace.

"Halo.."

"Halo, Grace" jawabku sambil terus meniup mie untuk kumakan.

"Watson, Apa kabar? Kenapa baru sekarang ....."

"Ssst. Aku bukan Watson" potongku perkataan Grace.

"Lalu, kau si..."

"I am Christian and I am a Christian" suaraku lantang. Aku yakin kalau sekarang Grace tercengang bercampur haru.

Cukup lama hening setelah aku memperkenalkan diriku yang baru pada Grace. Semakin lama, mulai terdengar isak tangis dari seberang sana. Grace menangis.

"Grace! Kau kenapa? Aku Christian, kan?"

"..." terdengar suara tawa kecil sambil menangis disitu.

"Wat..eh Christian. Tentu saja kau Christian. Aku hanya..aku.. kamu.."

"Ehhh, kenapa Grace? Apa kau menangis lagi?"

"Ssst, aku sudah memaafkanmu. Tak apa. Aku pergi kesini hanya karena aku sudah bosan melihatmu. Hehehe" aku mencoba bercanda dengannya. Aku yakin saat ini Grace pasti tersenyum dan tertawa tipis. Ah, membayangkannya saja sudah membuatku tersenyum.

"Christian, terima kasih. Terima kasih sudah memperkenalkan namamu. Aku sangat senang saat ini. Aku selalu bangga padamu, kau tahu itu kan?" dia berkata dengan suara serak.

Grace, sahabatku itu, kenapa dia cengeng sekali hari ini? Pikirku sambil merasakan perih di kedua bola mataku. Inderaku itu memerah dan aku berhenti memakan mie instanku. Berbicara dengan Grace rasanya lebih penting saat ini. Alumni ketua PUKS itu pasti kelihatan lucu saat ini. Perempuan yang biasanya bisa menebak tingkahku itu memiliki suara yang kembali terdengar merdu ditelingaku.

"Jadi sekarang panggil aku Christian. Okay?" pintaku

"Aku tidak mau"

"Kenapa? Bukannya.." aku sedikit heran.

"Aku akan memanggilmu Chris" Grace memang terus membuatku terpukau. Perempuan itu selalu mampu mengatur sikapnya dengan baik. Seketika dia bisa saja membalas candaanku tanpa terduga.

"Baiklah, Bu Dokter. Terserahmu saja" jawabku sambil mengambil mie lagi.

"Chris, aku ada kelas. Maaf aku harus pergi sekarang"

"Tapi sekarang mala...Ah iya aku lupa. Kita sudah tidak di tempat yang sama lagi. Baiklah. Jadilah calon dokter yang baik!"

"Baiklah, Orang asing. Jangan lupa berdoa sebelum tidur" ucap Grace untuk terakhir kalinya.


To be continued ...

Dear God, I AM FALLING IN LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang