Bab 10

35 5 0
                                    

Malam itu berlalu. 

Hari gelap dengan bulan purnama itu sudah pergi padahal masih banyak hal yang mau kuceritakan pada Grace. Hari ini sudah berbeda dengan hari kemarin. Ini merupakan hari keduaku di Indonesia. Tubuhku sangat kelelahan hingga aku terlambat bangun. Tak ada lagi orang yang tinggal di mansion kecuali aku dan para PRT. Anak-anak panti asuhan sudah kembali dan ayahku pasti sudah bekerja.

Hari ini aku akan berkunjung ke panti asuhan. Jujur saja, aku sangat merindukan mereka, terutama Grace. Aku turun kebawah dan menyantap makanan yang sudah ada di meja makan.

"Aku pergi dulu, Bi" pamitku yang dihentikan oleh salah satu PRT yang kujumpai sebelum garasi.

"Den, kata Tuan nanti malam tuan gak bisa pulang. Jadi jangan menunggu" aku melihat wanita tua itu. Aku diam sambil menerka kemana ayahku.

"Tuan keluar kota, den" lanjutnya seolah tahu isi kepalaku.

"Apa ayahku pernah membawa wanita ke rumah ini, Bi?" aku penasaran bagaimana kehidupan ayahku setahun belakangan ini.

"Kalau maksud aden perempuan seperti dulu, gak lagi den. Tapi Grace pernah beberapa kali kesini" perempuan yang kupanggil Bibi itu menjelaskan.

"Baiklah. Makasih, Bi"Aku lega dengan penuturannya. Kakiku berlanjut ke garasi. Motorku masih ada disini. Masih terawat dengan rapi. Motor warna merah itu dengan gagah berdiri di dekat mobil limosin yang menjemputku kemarin. Kunyalakan mesinnya, menyapanya dengan bermain-main dengan asapnya. Kukendarai kuda besi tersebut dan keluar dari mansion ini. Mansion yang sudah berdiri sejak aku lahir ini tampak lebih kokoh sekarang. Bunga-bunga di tamannya pun lebih berwarna, tersenyum pada setiap orang yang datang kesini bahkan pohon-pohon tampak bergoyang kesana kemari mencoba mencuri perhatian.

Kubelah jalanan di ibukota pagi ini. Jalanan di jam segini tidak akan terlalu macet, ini sudah lewat jam berangkat kerja. Dalam perjalananku aku melewati sekolah lamaku, tepat dimana badanku remuk. Gedung dengan sejuta kenangan. Atapnya menjadi saksi aku berulah dan juga berubah. Bangku usangku pasti sudah diduduki oleh adik kelas. Aku hanya berharap mereka tidak berlaku seperti aku.

Motor yang kunaiki sudah berada di pekarangan panti asuhan. Mataku melirik kesana kemari setelah turun dari motor. Kusapa adik-adik di halaman panti dengan senyum dan mengangkat tangan kananku menyemangati. Jam segini mereka masih belum selesai membersihkan panti asuhan. Maklumlah, dini hari tadi sepertinya ibukota diguyur hujan yang cukup lebat. Kulanjutkan kakiku kedalam panti asuhan.

"Pagi, Bu Ruth. Apa Grace ada disini?" sapaku langsung pada tujuanku.

"Ini masih pagi, Christian. Grace mungkin ada di rumahnya. Lagian dia tidak sesering dulu lagi datang kemari karena kuliahnya" pengurus panti itu berbicara maklum.

"Baiklah. Aku rasa sebaiknya aku pergi menjumpai dia saja" kataku.

"Oiya, Bu. Aku tadi meletakkan ole-ole di meja depan" imbuhku lagi. Tadi ketika datang kesini aku membawakan satu kardus yang kubawa kemarin dari Washington.

"Terimakasih, Christian. Kau selalu saja membawa sesuatu kemari. Lain kali tidak perlu" aku hanya tertawa kecil. Lagian itu hanya buah tangan pertanda aku dari negera yang berjuta mil jaraknya.

"Aku pamit dulu, Bu" ucapku setelah di depan pintu gerbang panti asuhan.

Motor merah itu kunaiki untuk pergi ke rumah Grace. Rumah yang terletak di samping gereja. Motorku berhenti melaju di pekarangan gereja. Gedung dengan banyak tanda salib itu kuamati sedemikian lama. Alih-alih pergi ke rumah Grace, aku turun dari motorku dan menuju altar gereja. Aku duduk sambil menghembuskan nafas tenang. Kulipat tanganku dan mataku menutup sempurna.

Aku berdoa saat ini. Ada yang bilang, ketika berdoa jangan membawa masalah kepada Tuhan. Tapi bawalah diri kita, karena bukan hanya masalah yang ingin kita perbaiki, melainkan diri sendiri. Kuyakin itu benar. Aku membawa seluruh hidupku kepada Tuhan. Berdoa tidaklah sulit. Jadikan saja doa sebagai hal yang candu bagimu, dengan demikian kau akan terus melakukannya.

Kini kedua mata elangku sudah terbuka dan menatap patung yang disalibkan di kayu salib. Dia begitu sempurna, baik dalam rencanaNya maupun karyaNya.

"Chris!" Seseorang memanggilku pelan. Badanku berbalik dan sudah kutahu kalau dia adalah Grace. Siapa lagi, coba?

"Kau tak mau berdoa?" tanyaku.

"Sudah kulakukan tadi" jawabnya.

Kedua insan itu keluar dari dalam gedung itu. Mereka berjalan di sekitar halaman gereja. Gereja ini juga memiliki perubahan. Sudah ada beberapa tempat duduk yang dibuat di taman. Pagar gereja juga sudah dipasangi lampu meski tak kutahu apa warnanya. Ini sudah hampir siang, tidak mungkin lampu menyala di luar jam segini. Kami berdua duduk di salah satu tempat duduk itu.

"Grace, aku punya sesuatu untukmu. Bentar" Aku barlari ke motorku. Aku menaruhnya di dalam motor tadi.

"Ini dia" aku memberikannya kotak kecil.

"Apa ini?"

"Buka saja!"

"Astaga, Chris!" gadis itu tertawa saat mengetahui isinya. Aku juga ikut tertawa ketika Grace tertawa seperti itu.

Itu adalah mainan tas berbentuk Betadine. Aku menempahnya ketika di Washington. Hadiah itu seperti symbol dia sendiri bagiku. Grace adalah perempuan yang mengeringkan darah yang terus mengalir di hidupku. Hanya hadiah seperti itu yang terlintas dipikiranku ketika aku akan kembali ke Indonesia.

"Sepertinya yang ingin aku menjadi dokter disini adalah kau bukan aku" kembali dia tersenyum.

"Hahahah. Benar" responku.

"Tapi Chris, aku ada janji temu saat ini dengan temanku. Aku harus pergi sekarang" Grace berdiri dan masih memegang kotak hadiah itu.

"Mmm.. Apa aku boleh ikut?" tanyaku.

"Jangan!" responnya cepat.

"Kenapa? Apa diapacarmu?" aku penasaran.

TO BE CONTINUED

Dear God, I AM FALLING IN LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang