Bab 9

26 5 1
                                    

Aku sering bertanya-tanya pada diriku bagaimana bisa dulu aku membuka diri hingga bisa memiliki hubungan dengan Grace. 

Betul, kalau dia berpura-pura memiliki penyakit untuk menarik simpati dan empatiku. Tapi aku bisa saja menolak dan tak acuh padanya, seperti yang kulakukan pada orang-orang lainnya di sekitarku. Namun, hal ini tak bisa. Pasti ada sesuatu yang menggerakkan hatiku sehingga aku mau membuka diri berteman dengannya. Siapa itu? Apa itu? Itu dulu sering hinggap di pikiranku. Sekarang tidak. Rasa penasaranku itu ibarat seperti ini.

Hampir pukul 22.30 WIB, Christian mengajak Grace untuk pergi ke depan taman. Mereka duduk di bangku panjang coklat sambil menatap rembulan yang purnama. Hari ini, mereka semua akan menginap di mansion keluarga Watson tersebut. Mansion itu ukurannya jauh lebih besar dari panti asuhan mereka. Terdapat total 5 kamar kosong, selain kamar Christian, kamar ayahnya dan kamar para PRT. Ari dan 2 orang anak panti asuhan akan tidur di kamar Christian. Christian akan tidur dengan ayahnya. Sedangkan anak panti asuhan sudah dibagi oleh pengurus panti tempat tidurnya. Ini adalah musim libur, mereka sudah dizinkan untuk menginap disini, bahkan katanya ayahku yang meminta pihak gereja untuk mengizinkan mereka untuk menginap.

Di taman yang menyala terang itu 2 muda-mudi sedang duduk dalam diam, seolah tak tahu harus memulai dari mana.

"Grace, kau tampak lebih sehat" ungkapku

"Kau juga. Kau lebih tampan juga sekarang" puji Grace. Dia selalu pandai dalam mencairkan suasana.

"Grace.."

"Chris.." kami membuka suara bersamaan.

"Kau lebih dulu" aku mengalah.

"Gimana kabar Grace yang disana? Apa dia sehat?" Grace yang ini sudah tahu mengenai Grace yang ada di Washington. Christian yang memberitahunya saat telponan beberapa minggu setelah dia bertemu Grace tersebut.

"Dia baik. Mari panggil dia Wilton. Namanya Grace Wilton" Grace tersenyum sambil mengangguk.

"Grace" Christian memanggil pelan, ingin melanjutkan perbincangan mereka – bukan orang lain. Perempuan dengan rambut yang sudah melewati bahu itu menoleh.

"Aku penasaran, kenapa dulu aku membuka diri saat kau datang menemuiku" itu pernyataan bukan pertanyaan karena jawabannya seharusnya ada padaku bukan padanya.

Gadis yang duduk disebelah kirinya itu diam sebentar. Dia menatap bintang, menghirup udara dingin di malam hari. Kakinya digoyangkan kedepan belakang perlahan. Dia sedang menimang sekarang.

"Dulu aku juga seseorang yang selalu penasaran akan rupa hal yang tak dapat dilihat tapi harus kita percayai" gadis yang merupakan mahasiswa kedokteran itu membuka suara setelah sekian detik.

"Rasa penasaran akan rupa O2 dan CO2 , yang mana harus kita percayai amat penting kegunaannya. Namun kini, aku lebih penasaran tentang siapa Penciptanya daripada rupa ciptaanNya. Aku harap kau mengerti maksudku" perempuan itu menghadap Christian dan berdiri di depannya.

"Kita jangan hanya kagumi atau pelajari hasil ciptaan Tuhan, kagumi juga Dia, dekati Tuhan. Dengan begitu, kau bisa menemukan semua jawaban yang bahkan tidak bisa kau lihat".

Aku tertegun diam, menatap dia dalam. Oh Tuhan! Gadis ini selalu memiliki jawaban yang memukau. Setelah sekian detik Christian bersuara.

"Baiklah. Aku tahu maksudmu. Itu semua sudah direncanakan Tuhan, bukan? Hatiku digerakkan oleh Tuhan, bukan begitu?" Christian memastikan jawabannya. Grace mengangguk.

"Udah malam. Sebaiknya kita tidur" ajak Grace. Kami masuk ke dalam mansion. Aku pergi ke kamar ayahku untuk tidur dan dia dengan salah satu pengurus panti asuhan.

***

Dear God, I AM FALLING IN LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang