Bab 3

44 9 2
                                    

Apa yang akan kau lakukan jika memiliki dua teman dengan nama yang sama?

Mencoba membandingkan keduanya, bukan?

Kita seolah ingin membandingkan keduanya bukan untuk mencari yang mana yang terbaik, tetapi untuk mencari dimana letak perbedaannya. Artinya kita hanya ingin membuat pembeda atas dua orang yang "sama" agar mudah mengenalinya.

Lantas, jika sulit untuk membuat deskripsi fisik, maka deskripsi sifat yang sering kita lakukan. Mudah saja! Sama seperti yang kulakukan saat ini.

Grace datang mengetok pintu apartemenku yang berwarna hitam bergaris putih. Gagang pintu diputar lalu dibukanya perlahan.

"Siap untuk pergi?" ajaknya. Kepalaku bergerak seolah mengatakan "ayo"

Kami menaiki taksi berwarna kuning untuk pergi ke tempat yang belum kutahu. Aku hanya mengenakan kemeja biasa, tak apa. Itu tidak akan menjadi masalah bagi Ayahku, aku sudah tersembunyi darinya. Lagian, aku tidak peduli perkara strata yang dibuatnya bagiku. Standarnya itu sudah mulai diubah. Tidak ada takaran sukses yang baku, selalu tergantung dari cara pandang kita. Taksi ini melaju ke bar. Kutahu dari tulisan lampu yang ada di depan gedung. Lampunya berwarna biru dan bertukar secara teratur dengan warna putih dan merah.

Aku pernah bilang "Banyak hal yang bisa berubah. Katanya perubahan adalah sesuatu yang pasti juga." Tapi kita tak tahu sifat perubahan itu, permanen atau tidak. Kuharap bahwa perubahan yang ada pada diriku permanen. Aku tak mau merasa diriku menjijikkan untuk kedua kalinya. Kutatap sekilas lagi lampu itu lalu memasuki ruangan ini. Kemerlap lampu bagai laser datang menghadang mataku. Bisa kucium semerbak alcohol. Aroma yang sudah teramat biasa bagiku dulu. Hidungku tak asing mencium dan menghirup udara di tempat seperti ini.

Tak hanya itu, music yang dimainkan pun secara cepat beradaptasi di daun telingaku. Aku tersenyum.

Tidak. Aku tidak tersenyum senang.

Aku hanya tersenyum seolah bertemu dengan teman lamaku, diriku yang lama, Watson. Ingatan masa lalu bermain di kepalaku, ragam gelas bir yang terpajang diatas kepalaku, bartender dengan dasi kupu-kupunya, ditambah dengan gadis yang duduk sekitar 3 meter dariku. Mereka semua layaknya sedang bermain drama saat ini, tepat didepanku dan memeragakan kehidupan usangku.

Kembali aku tertawa, merasa lucu dan sedikit geli. Grace melihatku heran.

"Kau kenapa? Apa ada yang lucu?" tanyanya sambil memperhatikan tatapan mataku yang menyisir ruangan ini.

"Tian,.. Tian. Hey" dia melambaikan tangannya tepat di depan wajahku dan membuatku tersadar dari anganku.

"Ah.. iya. Ada Apa?" kugoyang kepalaku.

"Apa kau baik-baik saja?" dia memastikan.

"Ya, tentu. Ayo, dimana mereka"

Grace menarik tanganku. Dia menggiringku menuju satu meja dimana kursinya disusun berbentuk huruf U. Diatas meja dapat kupastikan ada kacang, dua asbak yang sudah hampir penuh dan beberapa botol minuman. Kucermati satu per satu temannya Grace. Mereka semua memiliki pasangan. Ada 3 perempuan yang digandeng oleh 3 pria yang berbeda. Ketiga perempuan itu kukenal karena mereka sering bertemu dengan Grace di perpustakaan dan sesekali Grace juga bercerita tentang mereka. Wajahku datar menatap mereka. Sambil merapikan rambutku, kutanya siapa yang sebenarnya ulang tahun.

"Jadi ulang tahun siapa yang akan kita rayakan disini?"

"Kenapa buru-buru sekali? Apa kau punya kado special?" seorang pria berjaket kulit menjawabku. Aku senyum tipis dan menggeleng.

"Aku hanya ingin menyalamnya. Itu adalah budaya kami di Indonesia" aku berbicara dan disaat yang sama mengulurkan tangan kananku. Mereka semua saling menatap satu sama lain.

"Apa kalian takut kalau kalian akan memberi jawaban yang berbeda?" aku mencoba bercanda. Kucermati lagi raut wajah mereka.

Shit! Kurasa candaanku benar. Grace sambil tersenyum masam melihatku dari samping.

"Sebenarnya aku yang ulang tahun, Tian" Grace bersuara.

"Tadi aku mencoba memberi sinyal padamu. Tapi kau..." Grace mengangkat bahunya dan senyum masam.

"Kau tak peka" ujarnya lengkap. Aku mencoba mengingat kapan Grace memberi sinyal itu. Ah, ketika di perpustakaan.

Aku memang pria yang buruk dalam berteman. Sudah 3 tahun aku mengenal Grace meskipun aku tidak terlalu terbuka dengannya, tapi kuyakin kalau dia pernah juga memintaku untuk merayakan ulang tahunnya. Tapi wajar saja aku tak tahu, tahun lalu aku tidak ikut merayaan ulang tahunnya. Aku kembali ke Indonesia, diminta Ayahku untuk bersosialisasi ke sekolah lamaku. Saat itu, aku lebih memikirkan Grace yang ada di Indonesia daripada Grace yang satu ini.

"Sudahlah. Sekarang mari kita bersenang-senang" ujarnya lagi.

Pria dengan kemeja lengan panjang yang digulung menuangkan minuman kedalam botol ke gelas. Sudah cukup lama aku tidak meminum alcohol untuk merayakan sesuatu seperti ini. Jika aku rindu, biasanya aku hanya akan membeli anggur dan meminumnya sendirian di dalam apartemenku. Aku sedang berpikir apakah aku harus meminumnya atau tidak. Kurasa menolak minum saat Grace ulang tahun bukanlah waktu yang tepat. Aku bisa jadi mood breaker mereka. Aku merasa canggung juga, seolah sok suci dihadapan mereka jika menolak. Padahal aku sendiri sedang di bar. Mustahil ingin meminum teh manis hangat atau jus buah jika datang ke bar. Sesuatu yang konyol, kan?

"Mari bersulang atas bertambahnya umur Grace" Sarah mengangkat gelasnya, lalu diikuti mereka semua. Tinggal aku sendiri. Grace melihatku.

"Tak apa jika kau tak mau minum.Tapi, setidaknya ikutlah mengangkat gelasmu. Ini hari ulang tahunku" senyumnya.Teman-teman lainnya tersenyum geli mendengar itu.

Kurasa mereka menghinaku. Tawanyayang singkat itu meremehkanku. Aku benci saat orang memperlakukanku sepertiitu. Seolah aku tak berdaya dan tak punya keberanian untuk meminum. Ck, jangankan segelas, berbotol-botol saja aku sanggup menghabiskannya. Mereka  tak tahu apa-apa sama sekali tentang aku. Kugigit bibirku ragu dan ikut mengangkat gelas yang berisi minuman keras itu.

To be Continued ...

Dear God, I AM FALLING IN LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang