BAB 1

86 13 2
                                    


Apa sebenarnya arti kebebasan?

Terlepas dari beban? Tidak memiliki tanggungan,
begitu? Atau dapat melakukan segala sesuatu sesuka hati?

Itukah kebebasan? Bisa jadi.

Satu yang pasti kurasakan sekarang adalah aku merasa plong. Bukan karena aku sudah di Amerika dan juga jauh dari ayahku, Surya Watson. Tetapi karena aku berhasil keluar dari zona gelapku.

Entah itu definisi bebas atau tidak, aku tak ingin menggurui.

Bumi, jika dipandang
dari sudut Washington tampak banyak berbeda. Semua hal juga kurasa begitu.

Morning, World” Ucap Christian sambil merenganggangkan otot-ototnya. Dia keluar
dari kamarnya, menuju balkon dan membawa secangkir coklat panas. Ada banyak burung
merpati diluar sana. Salju putih ikut serta menutupi halaman gereja yang teramat luas. Hari
ini dia harus pergi ke kampus. Jadwal kampusnya tidak begitu padat, ada banyak waktu luang
yang bisa dia gunakan sembarang. Akhir-akhir ini pria itu sedang menggeluti buku. Dia
sering pergi ke perpustakaan kampus juga perpustakaan kota. Entah itu efek dari
kemalasannya selama ini, sehingga dia dipaksa harus lebih sering membaca, atau efek dari
Grace, masih tanda tanya. Satu hal yang pasti yaitu dia merasa nyaman dalam hal berlama-
lama di perpustakaan.

Seperti hari ini, jadwal kampusnya masih nanti – tengah hari. Tetapi, dia sudah
berangkat dari apartemennya setelah menghabiskan coklat panasnya. Setelan kampus
dikenakan dengan rapi dan menyambar ransel cepat. Sedikit tersadar ada tulisan yang kurang
rapi di dindingnya, diambilnya pena dari dalam tasnya lalu menebalkan tulisan Sorrow yang
ada di gambar pohon itu.

Selesai.

Dia berangkat dan meninggalkan apartemennya seperti biasa.
Dia tidak pergi menggunakan mobil atau motor gede seperti orang kaya pada
umumnya. Dia tidak mengikuti rutinitasnya ketika di Indonesia perkara mobilitas. Dia lebih
memilih sepeda abu-abu. Dia bahkan tidak membeli mobil atau motor setelah hampir 3 tahun
ini tinggal di Washington.


Sesekali dia menatap jalan raya yang ramai lancar. Beberapa
cerobong asap dari rumah penduduk tampak mengeluarkan asap hangat. Maklumlah, ini
musim salju. Banyak orang yang kedinginan dan enggan keluar rumah. Christian sudah sampai dan langsung memarkirkan sepedanya apik. Dia memperbaiki sweater dan juga mantel coklatnya. Sesekali pria itu menghembuskan nafas hangat ke telapak
tangannya yang kedinginan sambil menggosoknya perlahan.

“Selamat Pagi, Christian” ucap Grace, seorang librarian di perpustakaan kota.

“Pagi” jawabku singkat.
Grace, orang ketiga yang kukenal dengan nama yang sama.

Jujur saja, aku tidak pernah tahu kepanjangan nama Grace, baik Grace sahabatku, Grace kecil maupun Grace yang kutemani. Khusus kepada Grace ini, aku pertama kali memperkenalkan namaku sebagai Christian. Aku yakin dia juga merupakan bagian dari cerita hidupku. Masih kuingat dengan
jelas pertemuan pertama kami di Gereja.


***

I’m Grace” perempuan itu memberikan tangannya untuk bersalaman. Grace? Ya,
tidak salah lagi. Nama ini terlalu banyak dipakai para perempuan di dunia ini. Dunia ini kecil
sekali, aku terus-terusan bertemu dengan perempuan yang bernama Grace.

Grace sendiri artinya adalah anggun, rahmat atau agung dalam bahasa Indonesia. Ck, apalah rupanya arti
sebuah nama sehingga banyak memakai nama Grace, pikirku.


“And you? What is your name?” Bule yang satu ini menanyaiku balik. Aku gelagapan
melihatnya. Aku tak yakin sekarang adalah waktunya.
Dia berekspresi menunggu. Gadis ini banyak mengingatkanku pada Grace Indonesia.
Tidak cukup hanya namanya, raut wajahnya pun mirip. Dia sangat lucu kalau menungguku
memberikan jawaban. Gadis ini juga sama.

I...... I...” Aku masih ragu.


“Kalau kau sudah siap, berjanjilah untuk mengenalkan dirimu sebagai Christian.”
ingatan mengenai permintaan Grace berputar di sel-sel otakku.

Mungkin ini pengaruh dari
nama gadis bule ini. Pada saat itu, aku mengiyakan permintaannya. Apakah sekarang waktunya?

“Hmm... I‟m..”

Aku adalah anak hilang yang telah berhasil temukan dan penjahat
yang memohon pengampunan dan itu semua adalah identitasku kini. Aku bukan sampah yang
minta dibakar.

“I am Christian” jawabku mantap.

“Nice Name” dia tersenyum dan tidak menolehku lagi.

***

Sejak saat itu aku tahu kalau dia adalah seorang Librarian di kota ini. Umurnya 5 tahun lebih tua dari aku. Kulanjutkan membaca buku. Dikelas, aku adalah mahasiswa yang  paling kurang. Aku tidak kuliah di universitas pilihan ayahku. Aku sendiri yang memilih dan  menetapkan kehidupanku disini. Ayahku pun menyetujuinya tanpa banyak bertanya. Tapi hasil dari pilihanku mengharuskan untuk giat belajar agar bisa mengikuti pelajaran di perkuliahan.

“Christian, Apa kau bisa keluar malam ini?” Grace mendatangiku.

“Tentu. Kenapa?”

“Temanku ulang tahun. Apa kau mau ikut denganku?” tawarnya.

“Kenapa tidak”
Grace kembali ke meja kerjanya setelah dia tersenyum dan menggunakan bahasa
tubuh seolah berkata “Baiklah”.

Aku masih tetap hemat bicara dengan banyak orang, semua
Grace yang kukenal tahu akan hal tersebut. Sekarang ini pukul 09.00 dan itu artinya pukul 22.00 WIB di Jakarta. Aku rindu
sahabatku, Grace. Dia pasti sibuk dengan kuliah kedokterannya di UI. Aku masih sering
berkomunikasi dengannya dengan curi-curi waktu.

Terkadang aku bertelepon dan
menanyakan jadwal kosongnya. Kemudian aku mengatur waktu agar aku bisa mengobrol
lama dengan perempuan itu. Tak jarang aku memaksakan diri untuk tidur di sore hari hingga
pukul 00.00 agar subuhnya bisa mendengar cerewetan Grace. Kalau sudah begitu dia pasti
akan memarahiku sambil terus bertanya

“Apa kau baik-baik saja, Chris?”.

Ck. Kurasa saat aku memberitahukan bahwa aku sudah memperkenalkan diri sebagai Christian, dialah manusia yang paling bahagia mengetahuinya, melebihi diriku.

To be continued...

Dear God, I AM FALLING IN LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang