Pengakuan

2.7K 184 36
                                    

Assalamu'alikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, masih diberi kesempatan sama Allah buat nulis:')

Gimana kabar kalian guys? Semoga sehat dan bahagia ya. Jangan lupa bersyukur Oke!

Oh iya, karena ada yang request "bikin POV dr. Akbar dong thor" Akhirnya saya pun memutuskan untuk bikin pov dr. Akbar.

Btw, kalian lebih suka POV atau cerita langsung dari author? Kalau saya pribadi sih sebenarnya lebih suka cerita langsung dari author, karena menurut saya (sebagai pembaca) lebih mudah paham kalo diceritain langsung sama author. Tapi iya sih, kalo POV itu lebih masuk feelnya.

Jangan lupa:
1. Tap bintang sebelum baca
2. Komen
3. Koreksi typo

Selamat membaca 🌹

Semakin kau kejar, semakin ia jauh dari jangkauan.
Semakin kau menghindar, semakin ia jatuh di pelukan.

-AR-

POV dr. Akbar

Hari ini, adalah hari Uliya akan berangkat KKN. Artinya Aku akan sendiri di rumah. Aku rasa, semua akan baik-baik saja tanpa kehadirannya, tapi entah mengapa sejak kemarin setelah perdebatan kecil di antara kami, dan berujung Uliya yang bersikap cuek kepadaku, membuat hatiku seakan protes tidak terima.

Hingga pagi ini pun, Uliya masih setia mendiamiku. Aku tidak tahu, ternyata efek dari sikap Uliya seperti ini, mampu membuatku frustasi. Apakah Aku mulai ada rasa terhadapnya? Ah tepatnya rasa bersalah saja, bukan rasa cinta.

Aku harus yakini itu, bahwa Aku belum mencintai Uliya. Oh atau bahkan tidak akan mencintai?

"Kamu dari kemarin lebih pendiam." Suaraku menginterupsi Uliya yang sedang menyiapkan sarapan.

Rupanya ia hanya diam, tidak menyahutiku. Membuatku kesal.

"Kalau saya ada salah, bilang! Jangan diam saya." Sambungku dengan nada ketus. Tepatnya seperti orang yang sedang protes.

"Bukankah Kak Akbar lebih suka saya diam?" Sahutnya dengan suara yang ia tahan agar tidak terdengar ketus. Tapi Aku tahu, sebenarnya ia ingin marah namun mungkin ia menyadari bahwa tidak baik berbicara ketus pada suami.

Sahutan Uliya barusan bukanlah sebuah pertanyaan, tapi tepatnya lebih ke pernyataan.

Hatiku pun kembali merasa tersentil. Seolah memang benar selama ini Aku selalu menuntutnya agar tidak banyak bicara di hadapanku. Tapi, dari lubuk hatiku yang terdalam, Aku merindukan Uliya yang cerewet, banyak bertanya kepadaku, banyak memeringatiku, atau bahkan banyak menasihatiku perihal agama.

"Saya tahu saya salah, tapi tidak seharusnya kamu mendiamkan saya seperti ini." Nadaku masih seperti orang protes.

"Ini Kak, sarapan dulu." Rupanya Uliya mengabaikan ucapanku.

Aku menghela napas. Panggilan Uliya kepadaku kembali dengan sapaan Kakak. Aku tidak suka itu.

Aku mengikuti pergerakannya. Ia mengambilkan secentong nasi ke piring makanku.

Aku cekal tangannya. "Jangan panggil Saya kakak, saya tidak suka."

Ia berusaha melepaskan tangannya dari cekalanku. Namun Aku masih erat mencekalnya sambil kutatap lekat kedua matanya. Baru sepersekian detik kutatap, kedua matanya langsung menghindari tatapanku. "Panggil saya Mas."

Cekalanku mengendur, ia pun segera melepaskan tangannya.

Kini tatapanku beralih pada sepiring makanan di hadapanku. Aku menunggu Uliya duduk di hadapanku untuk sarapan bersamaku.

    KEMBALI (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang