Bagaimana, Lee Heeseung? kamu sudah siap untuk menciptakan sebuah ruang di hatimu?
Heeseung mengangguk. Kondisi diam kembali menemaninya, bertatap muka dengan seorang ciptaan Tuhan yang menjadi penyebabnya selalu merasa terakiti.
Satu yang harus kita ubah dalam dirimu. Ikhlas atau tidaknya manusia tergantung bagaimana caranya mereka melupakan. Bukan kenangan indah – bukan kenagan pahit – bukan kenangan biasa. Semuanya sudah tercampur kepada insan yang satu dalam hari dan raga Heeseung yang sulit dilupakan.
Dan kamu... bukan orang yang mudah melupakan seseorang
Heeseung kembali menatap sebuah gelangvberwarna hitam dengan pick gitar di bagian tengahnya, kemudian kembali menatap lawan bicaranya
Apa kamu bisa melupakannya?
"Iya. Aku bersedia melupakannya."
Peringkatku turun lagi. Untuk kesekian kalinya aku harus mengambil khursus, entah berapa banyak khursus yang aku ambil untuk memperbaiki prestasiku
Heeseung mendaratkan kakinya kedalam rumah, dengan bajunya yang sudah basah terguyur hujan. Cuaca sedang tidak bersahabat hari ini. Begitu pula dengan kondisi hatinya
"Heeseung? Kamu sudah pulang?"
Heeseung tidak memberi jawaban dan hanya mematung selembari memegang hasil nilai di tangannya
"Nilaimu membaikkan? Pastinya semakin bagus, aku sudah menyekolahkanmu ke sekolah yang jauh lebih bagus dibanding sebelumnya."
Heeseung memberikan selembaran itu kepadanya sambil berkata,
"Aku mohon jangan pukuli aku setelah kamu melihatnya..."
"Heeseung. Kamu dipanggil menghadap kepala sekolah."
"Ada masalah apa lagi?"
"Aku tidak mengerti, tapi kamu diminta kesana. Mungkin itu tentang nilaimu."
Tanpa membalas apapun Heeseung pergi dari kelas dan segera pergi menuju ke ruangan kepala sekolah
Entah sudah kali ke berapa dia mendatangi ruangan itu. Mungkin ini sudah ke sepuluh kalinya? Ah... mungkin lebih dari itu
"Selamat pagi, Heeseung. Ayo kita bicara sebentar." Perintahnya agar Heeseung masuk dan duduk berhadapan dengannya.
"Ekhem. Saya mau bicara mengenai nilai yang sudah kamu dapatkan kemarin saya ak-"
"Maaf pak, kalau kita hanya bicara tentang nilai saya akan segera keluar."
"Bukan. Bukan begitu Heeseung, ada sesuatu yang jauh lebih penting dari pada itu."
Heeseung duduk kembali dan siap untuk mendengarkan perkataan yang berasal dari beliau,
"Disekolahmu yang dulu, kamu punya prestasi yang sangat bagus. Kamu ketua OSIS, pemenang olimpiade dan kejuaraan menari. Apa mungkin kamu punya kendala selama berada di sekolah ini? Kenapa prestasimu tidak sebagus yang dulu?"
Heeseung tidak menjawab, kepala sekolahpun tidak terkejut karena dia tau Heeseung tipe orang yang sangat minim bicara
"Kamu tidak perlu merasa tertekan. Saya hanya bertanya kalau kamu benar-benar butuh bantuan. Kamu tidak terlihat semangat sekolah. Wajahmu selalu pucat, kamu murung dan kamu hampir tidak punya teman. Apa ada yang terjadi?"
Lagi-lagi dia tidak menjawab dan memilih untuk menunduk
"Heeseung. Apa yang sebenarnya terjadi di dalam hidup kamu? Ada sesuatu yang membuat sikapmu seperti ini?"
Heeseung merasa risih dengan pertanyaan - pertanyaan itu, dia menganggapnya sangat tidak penting. Padahal dia bisa mengurus hidupnya sendiri.
"Saya tidak apa-apa. Memang sikap saya seperti ini. Saya permisi." Heeseung sudah bangkit dari tempat duduknya.
"Tunggu- Heeseung." Beliau memberikannya sebuah kotak bekal, Heesungpun terdiam untuk sebentar
"Saya tahu kamu belum sarapan. Terimalah."
Heeseung mengambilnya "Terima kasih, pak." Kemudian dia pergi darisana.
Dia menatap kotak makan yang diberikan tadi. Dia memang sudah harus makan. Sudah terhitung dua hari semenjak dia tidak makan lagi.
Janneth
sebelum lanjut membaca, saya mau mengikatkan para pembaca bahwa cerita ini hanyalah sebuah khayalan dan tidak dianjurkan untuk mengaitkannya ke tokoh yang berada disini. terima kasih, selamat membacaperingatan! cerita ini mengandung konten sensitif seperti darah, pembulian dan kekerasan.
lanjut atau tidak?
KAMU SEDANG MEMBACA
ruang hampa ✓
Fanfiction⎯ lee heeseung; bahkan aku yang dilahirkan sebagai seorang manusia tidak pernah diperlakukan selayaknya manusia.