Bab 12. Jadi Nikah!

9.1K 1.2K 433
                                    

Hai, Darlings!

Absen sini, dong. Kalian tinggal di Kota/Kabupaten mana aja, nih?

Jangan lupa VOTE dan KOMEN yang banyak, ya! TERIMA KASIH.

Happy reading!

*****

Semua orang punya moral, kecuali Raul Lem ... Haish!

Nggak boleh julid kayak bu Tejo. Nanti dibully netijen.

Balik lagi ke kalimat awal. Semua orang punya moral, begitu juga aku. Kalau nggak punya, nggak mungkin aku protes sama sikap Bapak yang menikah diam-diam sama wanita lain, atau Kakak ipar nggak waras yang mencoba memperkosaku.

Kalau masalah nggak mau menikah tapi pengen punya anak, bukan berarti aku nggak punya moral. Tapi aku cuma nggak mau menghadapi konflik hidup yang sama dengan ibu dan Mbakku alami : punya suami kegenitan.

Aku tahu, pada dasarnya Kevin bukan tipe cowok genit. Tapi kalau dipepet terus, lama-lama dia juga doyan. Buktinya, dua bulan lagi mau menikahi Caitlin, tapi sekarang dia udah bolak-balik nyium bibirku, ngajak bobok bareng, bahkan ngebet pengin nikah biar bisa bikin anak sama aku.

Lihat, kan? Semua cowok sama! Mereka akan berengsek pada waktunya.

Tapi ... motto hidup semacam ini nggak berlaku bagi Ibuku.

Pagi ini --habis Sholat Subuh-- aku menelepon Ibu, menceritakan kegalauanku soal lamaran Kevin. Beliau langsung menyuapi telingaku dengan omelan. Ibu mengutuk kebodohanku yang menolak lamaran Kevin.

"Bocah kok mendo! Wong lanang opo maneh bule, nek ora serius yo ra bakalan ngelamar awakmu, Nduk!*"

(Anak kok bodoh! Laki-laki apalagi bule, kalau tidak serius tidak akan melamarmu, Nak!*)

"Tapi orangnya mau nikah, Buk. Apa ya tega aku nikah di belakang tunangannya? Aku nggak ada bedanya sama Bapak dong, Buk!"

"Ya beda! Bapakmu nikah sama perempuan lain pas udah nikah sama Ibu. Lha kalau kamu kan dua-duanya masih single, jadi ya nggak apa-apa to menikah."

Belum sempet aku ngomong, Ibu udah nyerocos lagi,"Daripada kamu hamil tanpa nikah. Itu lebih dosa, Nduk! Zina kuwi dusone gede! Ora wedi kon diazab Gusti Allah?"

(Zina itu dosanya besar! Nggak takut kamu diazab Gusti Allah?)

Aku diam, nggak bisa balas omongan Ibu. Kalau udah menyangkut soal azab, aku nyerah, deh. Urusannya sama Allah, bukan sama manusia lagi.

Untuk membuang pikiranku yang ruwet dengerin omelan Ibu, aku berdiri dan berjalan ke teras. Kulihat Kevin lagi lari-lari pagi di seputaran sawah."Terus, aku harus gimana, Buk?"

Helaan napas Ibu kedengeran sampai telingaku."Kon gelem manut omongane Ibuk?*"

(Kamu mau menuruti ucapan Ibu?)

Aku ngangguk, tapi terus sadar kalau Ibu lagi nggak bisa melihatku."Mau."

"Tanyakan lagi sama .... sopo iku jenenge?"

"Kevin."

"Iyo, Kepin. Tanyakan sama dia ...."

"Kevin, Buk. Bukan Kepin." Aku mengoreksi pelafalan Ibu.

"Yo wis iku lah jenenge." Ibu ngotot nggak mau dikoreksi.

Aku memutar bola mata malas. Ibu memang keras kepala kalau udah merasa paling bener. Tapi aku tetep sayang."Tanya apa ke dia?"

"Tanyakan, kalau menikah sama kamu, dia mau nggak masuk Islam? Kalau mau, ya sudah, nggak usah kebanyakan mikir. Langsung ajak nikah aja."

Dahiku berkerut-kerut mendengar syarat yang diajukan Ibu."Kalau dia nggak mau?"

Baby Bala Bala (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang