Bab 5. Bi Sumi Ternyata ....

9.3K 1.2K 189
                                    

Aku sudah berdandan cantik. Kemeja batik press body dan rok span hitam selutut sudah membalut tubuhku rapi. Biasanya semua seragam itu kudobel dengan jaket kesayanganku, tapi hari ini enggak. Sengaja aku berbusana seperti layaknya pegawai hotel. Bahkan rambut panjang yang biasanya cuma kukucir ekor kuda, sekarang kusanggul rapi ke atas seperti sanggulan balerina. Terus, wajahku juga kupoles tipis-tipis pakai make-up. Kulit wajahku yang sawo matang kubuat glowing, shining, shimering, splendid ulala.

Semua perubahahan penampilan totalku hari ini kupersembahkan untuk .... siapa lagi, kalau bukan untuk calon bapak biologis anakku di masa depan, Kevin Heaton. Bahkan, cuma membayangkan manis senyumnya aja udah bikin rahimku bergetar hangat. Ah, dasar aku.

Puas senyum-senyum sendiri di depan kaca lemari, aku menyambar hand bag dari atas meja, memakai sepatu bertumit tinggi --biasanya aku pakai flat shoes. Lalu, aku pergi menyongsong mentari pagi.

Hari ini mood-ku benar-benar sedang bagus. Meskipun otakku belum juga menemukan data terkait Bi Sumi, tapi setidaknya aku sudah menemukan orang yang akan mengabulkan impianku untuk punya bayi bule lucu. Aku hanya harus berusaha lebih keras lagi untuk menuju ke tahap itu.

"Berangkat kerja, Na?" Faradilla seorang LC karaoke penghuni rumah kos ini juga menyapaku ketika aku berjalan menyusuri halaman. Rambutnya diroll semua. Ada handuk melilit di lehernya. Satu tangannya membawa piring berisi bubur ayam. Sepertinya dia mau mandi tapi beli sarapan dulu.

"Iya, Mbak." Aku membalas sapaannya sambil tersenyum ceria.

Mbak Dilla menatapku heran dari ujung kepala sampai ujung kaki. Mungkin karena nggak biasanya aku berdandan serapi ini. Nggak cuma itu, aku juga pakai parfum mahal pemberian mas Arya dari Jerman. Parfum yang kalau dipakai mandi nggak akan hilang wanginya.

"Aku berangkat dulu, Mbak," pamitku melanjutkan langkah.

"Ati-ati, Na."

Ucapan mbak Dilla kubalas dengan lambaian tangan sambil terus berjalan.

Kubuka pintu pagar rumah kos, terus lanjut jalan di trotoar. Sebelum ke hotel, kuputuskan untuk sarapan dulu di warung Mak Atik di tikungan jalan ini. Beruntung, warung nggak seramai biasanya, jadi aku bisa makan dengan tenang. Meskipun ada tiga orang karyawan pabrik pengemasan udang sempat saling berbisik sambil menatapku, lalu mengajakku ngobrol sok akrab, aku tak terpengaruh, hanya menanggapi seperlunya. Mereka bukan target utamaku dalam mencari gebetan. Jangankan mereka, segerombolan cowok-cowok bule backpaker di Bali aja pernah aku cuekin, kok. Soalnya mereka semua bule kere, jelas bukan pangsa pasarku juga.

Meskipun aku sedang mencari bule untuk menghamiliku, tapi nggak sembarang bule aku mau. Bule yang sesuai dengan kriteriaku itu harus cakep, pintar, berkepribadian bagus, dan nggak murahan. Ya kayak Kevin gitu lah. Dia udah sangat sempurna jadi sasaranku.

"Mbak Na, mau minum apa?" Mak Atik menawariku saat aku sedang asyik menikmati nasi tempong, masakan khas Banyuwangi.

"Teh anget gulanya dikit, Mak," sahutku lalu menggigit paha ikan ayam yang super gurih. Masakan mak Atik emang nggak ada obatnya.

Nggak berapa lama, mak Atik datang membawa segelas teh hangat pesananku."Tumben lho mbak Na macak cantik gini. Mau ada acara apa to?"

Aku mendongak menatap wanita seumuran ibuku ini sambil meringis."Nggak ada acara apa-apa kok, Mak. Cuma pengen dandan aja."

Mak Atik menepuk bahuku."Lha mbok ya gini, dandan cantik terus. Mbak Na ini aslinya memang sudah cantik, kok. Tapi biasanya macak ubrus-ubrusan, jadi ketutupan cantiknya."

Macak ubrus-ubrusan itu artinya dandan sekenanya, nggak rapi dan nggak wangi. Gimana lagi? Sejak ditawar Om-om aku jadi males dandan, takut ditawar lagi. Tapi semenjak Kevin datang, aku udah nggak peduli lagi. Aku harus bisa membuat Kevin terkesan pada penampilanku biar mau menghamiliku.

Baby Bala Bala (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang