Refrain

5.6K 459 365
                                    

"Aku memang menyuruhmu untuk menyukai Mikasa, tapi tidak segila ini!" Kenny menatap jengah pada Levi yang duduk terikat tali diatas kursi.

"Ini semua salahmu!" Levi hanya mengalihkan pandangan, tak ingin matanya bersirobok dengan paman sialnya. Benar sekali, ini memang salah orang tua dihapannya ini, kalau saja Kenny tak melibatkan Mikasa didalam hidup Levi mungkin saja saat ini ia lebih memilih bercinta dengan tumpukan berkas yang ada di kantornya, daripada harus terlibat dengan seorang perempuan yang hanya merepotkan.

"Itu sebabnya sedari dulu aku menyuruhmu untuk menjalin kasih dengan perempuan. Kau yang tidak berpengalaman ini benar-benar mengacaukan segalanya! Bahkan kau kalah dengan anak SMA yang bernama Karin itu, apa-apaan?"

"Namanya Eren." Levi mengoreksi ocehan Kenny yang salah menyebutkan nama Eren.

"Siapa peduli." Sahut Kenny mencoba menutupi kesalahannya.

"Kau mampu menjalankan perusahaan besar dengan kompeten, tapi mengejar satu gadis saja tidak becus. Kau hanya akan ditertawai seekor kucing, memalukan!" Lanjut Kenny dengan bait yang mulai tidak masuk diakal.

"Berhentilah mengoceh, cepat lepaskan ikatanku atau kucolok hidungmu!" Levi sudah tidak sabar, ditambah telinganya yang mulai berdengung karena ceramah tak ramah dari pamannya.

Suara getar dari ponsel Kenny menghentikan perdebatan antara paman dan keponakan, Kenny mengangkat telepon dari gawai tersebut dengan wajah serius.

"Baiklah." Putus Kenny mengakhiri sambungan telepon tersebut, lalu ia pun bangkit dan mengambil Coat yang sebelumnya tersampir dipunggung kursi.

"Kita harus bergegas jika kau tak ingin kehilangan Mikasa untuk selamanya." Ucap Kenny sebelum ia menghilang dibalik pintu.

"A..APAA???" Levi begitu terkejut dengan penuturan Kenny.

"LEPASKAN AKU DULU, BRENGSEK!!!" Teriak Levi yang masih terjebak dalam ikatan yang melilit tubuhnya diatas kursi.

.
.
.
.
.

*
.
.
.
.
.

  Mikasa hanya memandang keluar jendela bus yang ia tumpangi, melihat aktivitas diluar sana yang terlihat normal. Apakah ia benar-benar akan meninggalkan semuanya? Ia pun melirik kearah Historia yang duduk disampingnya, gadis itu tengah memejamkan mata seraya mendengarkan musik pada headset yang bertengger di telinganya. Entah mengapa Mikasa tak melihat beban sedikitpun yang tersirat di dalam mimik wajah Historia disaat mereka akan menghilang.

Mereka turun dari bis disebuah jalanan bebas hambatan yang terletak di kaki gunung, Mikasa memandang sekeliling dengan takjub disaat ia disuguhkan panorama alam yang menakjubkan. Mikasa berjalan mendekati pagar pembatas jurang yang memisahkan jalan raya dengan lembah ngarai yang begitu indah, dengan dihiasi bukit-bukit hijau yang tertata tak beraturan namun memukau.

"Kau yakin disini tempatnya yang cocok?" Tanya Historia yang sudah berada disamping Mikasa, mereka melongok ke dalam jurang terjal yang berada dibawah mereka dan terlihat mengerikan.

"Setidaknya kita akan mati ditempat yang indah." Gumam Mikasa membayangkan dirinya yang melompat ke dasar lembah ngarai tersebut.

"Beruntung jika kita langsung mati, bagaimana jika kita tak juga mati tapi sekarat dulu karena pendaratan yang kurang pas?" Ucapan Historia langsung membuyarkan bayangan kematian indah ala Mikasa.

"...."

"Disamping itu, jika kita jatuh dengan ketinggian ini badan kita akan remuk dan wajah kita tak akan berbentuk lagi. Semua tulang kita akan patah dan jasad kita akan tergenang darah." Lanjut Historia terlihat seakan menakut-nakuti Mikasa.

ConfusedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang