Mengabadikan Kisahnya

2.5K 255 156
                                    

Ruang tengah kediaman Arion sore itu serupa dengan kapal pecah, sepertinya gempa bumi lokal baru saja terjadi di sana, semua barang berserakan di mana-mana, mobil-mobilan, robot-robotan, bahkan remahan biskuit pun tergeletak mengenaskan.

Arini yang baru saja kembali dari kantor redaksi lantas memijit pangkal hidungnya. Lelahnya seakan kembali ditumpuk-tumpuk. Wanita itu menghela napas berat sebelum tungkainya ia bawa masuk dengan gontai lalu memunguti semua barang dilantai untuk kemudian dimasukkan dalam keranjang mainan.

Entah ke mana Bi Hanum dan Ratna hingga rumah sampai berakhir seperti ini. Arini ingin sekali langsung merebahkan tubuhnya di kasur, tapi apalah daya, ia tidak bisa melihat barang-barang berserakan di mana-mana.

Di tengah usahanya membersihkan semua, lengking suara tangisan yang datang dari pintu belakang mengejutkannya. Arini menuntun pandangannya untuk bermuara ke sumber suara, sosok kecil dengan wajah yang sudah basah lantas berlari mendekat.

"Bundaaa."

Arini bangkit dan maju sebelum anak itu sampai kepadanya. "Ini kenapa?"

"Kak Laka nyilam Athka pake ail," adunya dengan suara tangis yang semakin kencang membelah sudut-sudut ruangan.

Arini menatap tubuh putra bungsunya yang sudah basah kuyup. "Kenapa disiram? Aska nakal?"

Anak itu langsung menggeleng keras-keras. "Athka nggak nakal, Athka cuma ngeliat bunga-bunga teluth di thilam."

"Ya udah sini peluk Bunda dulu, Aska nggak usah nangis, nanti kita marahin Kak Raka-nya."

Namun tangisan bocah itu semakin kencang terdengar walaupun Arini sudah memeluk tubuh basahnya. Belum reda tangisan sosok dalam dekapannya, kini putranya yang lain juga datang dengan tangisan yang sama.

"Bundaaa."

Arini mengembuskan napas berat, namun tak urung tangannya menyambut Raga yang berlari ke arahnya, lalu menubruk wanita itu dengan dekapan. Kini kemeja putih dengan outer abu yang ia gunakan sudah basah karena dipeluk oleh kedua putranya yang basah kuyup.

"Kak Raka nyiram Raga pake air keran," adunya dengan pelafalan R yang masih kurang jelas.

"Ini kenapa pada disiram?"

Namun tangis keduanya semakin kencang dan saling bersahutan. Yang bisa Arini lakukan hanyalah memeluk kedua putranya untuk menenangkan. Di tengah tangis yang pecah bersama-sama, si tersangka akhirnya muncul dari pintu belakang dengan wajah tanpa dosa.

Aska dan Raga melepas pelukan lalu berdiri di sisi kiri dan kanan bundanya. Arini berjongkok untuk mendengarkan penjelasan dari putra sulungnya yang kini berdiri di depan wanita itu.

"Kenapa Raka nyiram adik-adiknya, Nak?" Suara Arini begitu lembut, tak ada sedikitpun penghakiman di sana.

Mata Raka memerah menumpuk cairan yang siap tumpah. "Aska dan Raga ganggu kepompongnya, Bunda, padahal kata Bu Guru kepompong itu kupu-kupu."

"Athka thuma liat kepompongnya, enggak ganggu," bela anak itu dengan sedikit sesenggukan.

"Tapi tadi aku liat kamu noel-noel kepompongnya."

"Athka thuma ningkilin daunnya bial nggak ketutup."

"Raga juga nggak ganggu kepompongnya, Bunda, Raga cuma ngeliat doang."

Tangis keduanya lantas pecah lagi. Arini menghela napas pasrah dan kembali memeluk anak-anak itu untuk menenangkan, namun hal itu justru membuat Raka cemburu hingga tangisnya ikut menggaung di ruangan itu, menyatu dengan tangis kedua adiknya.

Astaga, kini Arini yang merasa kepalanya akan segera pecah. Suara tangis anak-anak itu menggema begitu kencang hingga membuat Arini bingung harus melakukan apa selain memeluk ketiganya, dan menenangkan tentunya.

25 Wishes Before Die [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang