"Rencana luar biasa yang sudah disusun jangan ditunda
karena kita tidak tahu kapan waktu akan membuatnya porak-poranda.”🕊️🕊️🕊️
Aska menggeliat, meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Untuk pertama kalinya setelah beberapa bulan terakhir, hari itu ia dapat tidur nyenyak. Senyum terpatri kala ia membuka mata. Ia menatap langit-langit kamarnya dengan binar yang kali ini tak menghilang.
Setelah pertengkarannya dengan Raga semalam, hubungannya dengan lelaki itu justru semakin membaik. Tenyata begini rasanya bercerita pada orang yang benar-benar peduli, separuh beban dipundak seperti terangkat, dan Aska sadar, Raga benar-benar sangat menyayanginya. Aska masih jauh lebih beruntung dari anak-anak di panti yang ia temui kemarin.
Pelukan hangat yang didapatkannya dari Raga adalah satu tamparan kecil, ia tak seharusnya mengeluh atas apa yang terjadi, karena di sekelilingnya masih ada banyak orang yang akan selalu peduli—yang akan sedih jika ia terluka. Setidaknya Aska tahu, ia tak pernah sendiri.
Tangan kanannya perlahan bergerak mengambil ponsel yang berada di atas nakas, menyalakannya, lantas keterkejutan serta merta menyergap lelaki itu.
Pukul sembilan pagi, dan Aska masih bergelung di atas kasurnya. Lekas anak itu bangkit, membawa langkahnya berlari ke luar dengan tergesa. Tulisan di bawah angka sembilan di ponselnya membuat lelaki itu langsung ketar-ketir.
Ia berlari cepat menuruni tangga. Rambut acak-acakan dan muka bantal tak ia hiraukan. Tujuan utama Aska adalah dapur, mencari sosok Bi Hanum di sana. Namun, hanya ada Teh Ratna yang tengah mencuci piring kotor. Saat ditanya, wanita itu mengatakan bahwa Bi Hanum baru saja berangkat ke pasar, jika belum mendapat angkot mungkin Bi Hanum masih berada di ujung jalan perumahan.
Aska mendesah sembari mengacak rambutnya kasar, ia langsung mencari kontak Bi Hanum di ponsel dan segera men-dialnya. Tungkainya ia bawa menuju pintu utama, gigitan di bibir bawahnya menjadi pelampiasan kala hanya nada tunggu yang terdengar. “Ayo dong, Bi, jawab.” Tangannya mulai bergerak-gerak tak karuan, menjadi satu kebiasaan saat ia dilanda cemas seperti sekarang. Panggilan ke dua dilancarkan tapi tetap saja hasil yang sama ia dapatkan, Bi Hanum tak menjawab teleponnya dan Aska mulai kehilangan akal.
“Maaf, Ga, janji semalam gue pending dulu,” gumamnya, dan nekat berlari meninggalkan halaman rumah, sekali lagi mengingkari janji yang sempat ia buat semalam bersama Raga untuk tidak keluar rumah tanpa ditemani siapa pun. Aska hanya mengangkat satu tangan sebagai isyarat kalau ia tidak akan lama saat Pak Joko meneriaki namanya.
Dengan langkah yang ia usahakan secepat mungkin, Aska membelah jalan perumahan yang lengang pagi itu. Tujuan satu-satunya adalah Bi Hanum, wanita itu tidak boleh pergi ke pasar tanpa dirinya. Besok adalah hari ulang tahun Arini. Jika tidak bisa membeli bahan untuk membuat kue pagi ini, maka ia benar-benar akan terlambat dan tidak bisa membuat kue ulang tahun untuk bundanya. Itu berarti keinginan pertamanya pun tidak akan terwujud, karena tidak akan ada kali kedua untuknya.
Di ujung jalan, dapat Aska lihat Bi Hanum tengah berdiri sembari menenteng tas belanjanya. Namun, pandangan anak itu tiba-tiba mengabur, lututnya terasa sangat lemas, napasnya pun tersendat-sendat, keringat dingin membanjiri kening dan lehernya. Kesialan memang selalu berteman setia dengan Aska, di tengah usahanya menyusul Bi Hanum, tenaganya justru sudah terkuras habis. Terpaksa ia berjongkok, menumpu kedua tangannya di atas lutut.
Aska mengangkat pandangan. Panglihatannya belum kembali normal, ia memejamkan mata lalu menggeleng, saat menyibak kelopaknya lagi, samar-samar ia melihat sebuah angkot berhenti tepat di depan Bi Hanum.
KAMU SEDANG MEMBACA
25 Wishes Before Die [TERBIT]
Teen FictionJika kamu divonis dengan sisa hidup enam bulan lagi, apa yang akan kamu lakukan? Ps. Sebagian part dihapus untuk kepentingan penerbitan. Copyright©2019 by haynett_