BAB 8 - Terbentur, terbentur, terbentuk (Part 1)

5.4K 740 101
                                    

"Terkadang, jatuhmu adalah cara Tuhan untuk mengajarkanmu bangkit lagi.
Patahmu adalah cara Tuhan untuk mengajarkanmu lebih tangguh lagi.
Dan sedihmu adalah cara Tuhan untuk mengajarkanmu bersabar hingga mampu menjemput bahagia yang sedang menanti."

🕊️🕊️🕊️

Pukul tiga pagi. Kantuk tak kunjung menyergapnya. Aska terus membolak-balik tubuh, bergelung tak nyaman di atas kasur. Setelah satu setengah jam yang lalu perutnya kembali berulah, Aska tak bisa lagi membawa sadarnya ke alam mimpi, padahal tiga butir obat sudah ia telan.

Sudahlah, Aska menyerah, akhirnya ia memilih untuk bangkit, melangkahkan kaki keluar kamar. Lampu di ruang tengah sudah dimatikan. Begitu pula dengan ruang tamu dan dapur. Aska menghela napas, ia menyeret kakinya menuju halaman belakang, sepertinya memandang pendar bintang di kolam renang bukan ide yang buruk.

Namun, langkah Aska terhenti saat melihat sosok sang kakak tengah duduk di atas ayunan panjang dengan sebatang rokok yang ia isap dalam. Senyum Aska mengembang, ia lantas membawa langkahnya untuk mendekat dan duduk tepat di sebelah lelaki itu. Akan tetapi, seolah Aska memang tak pernah ada, Raka tak sedikit pun menoleh kepadanya. Aska memang sudah terbiasa dianggap hanya bayang saja oleh Raka. Namun, malam itu ia ingin egois, Aska ingin Raka memandangnya.

"Kak, makasih, ya, untuk hari ini." Maka dari itu Aska melontarkan kalimatnya, walau yang ia dapat hanya embusan angin malam yang menggigit-gigit kulit. "Kejutannya sukses, kayaknya Bunda suka dengan dekorasi kamarnya."

Lagi-lagi hanya bungkam yang ia dapatkan. Aska tersenyum. Ingatannya kemudian melangkah mundur, Teh Ratna bilang Raka yang telah menyelesaikan dekorasi yang Aska tinggal tidur. Apa salah jika Aska merasa Raka telah membukakannya pintu untuk masuk ke dalam hidup lelaki itu?

Pertama, Raka menolongnya, bisa saja kakaknya itu bersikap tak acuh dan melanjutkan apa yang hendak ia lakukan bersama teman-temannya. Namun, Raka memilih untuk menyelamatkannya.

Kedua, Raka membantunya membuat kue ulang tahun yang terancam gagal. Jika saja Raka tidak mengambil alih, mungkin tak akan ada kue untuk surprise Arini.

Dan ketiga, Raka menyelesaikan dekorasi kamar Arini yang Aska tinggalkan. Semua itu membuat hati Aska menghangat, walau mungkin terlalu awal untuk berharap, Aska tetap ingin percaya bahwa Raka tak membencinya sedalam yang ia kira.

"Kak–"

"Sial," desis runcing itu membuat Aska menelan lagi kalimatnya. Tatapan Raka lantas menikam anak itu. "Bacot!"

Aska terdiam untuk sejenak sebelum menarik napas dan tersenyum getir. "Biar hidup lo lebih berwarna," tanggapnya kemudian. Raka tak menggubris, ia justru kembali mengisap rokoknya dalam-dalam.
"Lo itu harus banyakin bercanda, Kak, biar nggak kaku." Aska tahu ini nekat, tapi ia sudah menegaskan di awal, anak itu ingin dianggap, bukan hanya sekadar bayang lalu menghilang. "Biar nggak jomblo juga."
Dan kekehan Aska justru membuat amarah Raka semakin tersulut.

"Sekali sampah tetap sampah." Raka menoleh lagi ke arah anak itu, merekam bagaimana rautnya berubah, lebih-lebih saat mendengar kalimat Raka selanjutnya. "Gue nggak butuh sampah kayak lo untuk berada di sekitar gue."

Sialnya kalimat itu menikam Aska lebih dari seharusnya. Lelaki itu meremas tangannya, mengusir gugup yang menyergap tanpa aba. "Sampah juga bisa didaur ulang. Bisa bermanfaat lagi buat manusia."

25 Wishes Before Die [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang