"Sebenarnya apa tujuan pulang?
Untuk bertemu orang-orang terkasih atau sekadar tempat untuk singgah?
Bagaimana jika rumah tempatmu pulang adalah sumber dari pesakitan?
Lantas, ke mana kamu akan pulang?"🕊️🕊️🕊️
Aska menghela napas lega kala kakinya menginjak pelataran rumah. Rasanya sudah lama ia tidak menginjakkan kakinya di sana.
"Ayo." Arini langsung menggandeng tangan Aska, menuntun anak itu untuk masuk.
Setelah berjuang mati-matian meyakinkan Arini, akhirnya wanita itu luluh dan mengizinkannya untuk pulang. Dokter Juna pun tidak berkeberatan, katanya jika di rumah bisa mengurangi tekanan psikis Aska. Namun, dengan satu syarat: ia tidak boleh ke luar rumah terlalu sering dan harus tetap istirahat. Untuk jadwal check up pun ia tidak boleh telat. Aska tidak masalah asalkan ia bisa terbebas dari tempat berbau obat-obatan itu.
Saat membuka pintu, para asisten rumahnya langsung menyambut. Menatap haru putra bungsu majikannya yang sudah bisa kembali pulang. Aska kemudian melanjutkan langkah ke kamarnya setelah mengucapkan terima kasih dan meminta mereka untuk melanjutkan pekerjaan seperti biasa. Saat membuka pintu kamarnya Aska berjengit kaget mendapati Raga sudah berdiri di sana sembari meniup terompet mini.
"Welcome back, Bro," ujarnya sambil merentangkan tangan.
Aska terkekeh, Arini yang menemaninya pun geleng-geleng melihat tingkah kedua putranya. Wanita itu memilih untuk berbalik, jika mereka berdua sudah bertemu, maka dirinya akan terlupakan.
"Lebay," cemooh anak itu dengan nada bercanda. Ia kemudian melangkah memasuki area kamar, menghirup aroma mint kesukaannya.
"Masih syukur gue sambut." Raga mengikuti langkah adiknya. Saat Aska merebahkan tubuhnya di atas kasur, Raga memilih untuk duduk di kursi depan meja belajar.
"Dih, mending nggak usah disambut kalo sama lo, mah."
"Emang kenapa?"
"Bikin jantungan."
"Ya udah lain kali gue sambut pake petasan."
"Nggak sekalian pake bom?"
"Hangus dong."
Lalu tawa mereka menggema bersama-sama.
"Ngomong-ngomong, kali ini lo pake jurus apa sampe dikasih pulang sama Bunda?" tanya Raga setelah lebih dulu berhasil meredakan tawanya.
"Jurus andalan."
"Dih, pasti ngancem nggak mau minum obat lagi, 'kan?"
Aska langsung melempar Raga dengan bantal. "Emang lo pikir gue masih bocah?"
Raga tertawa lagi. "Terus apa, dong?" Ia memeluk bantal beraroma mint yang ditangkapnya tadi.
"Rahasia, lah. Kepo banget."
"Lo pasti ngancem-ngancem Bunda, 'kan? Hati-hati lho, nanti dikutuk jadi batu, baru tahu rasa."
Aska mendengkus keki. "Sok tahu! Udah sana, lo keluar. Gue mau istirahat."
Senyum Raga tersungging puas. Senang sekali rasanya membuat anak itu kesal. Ia kemudian bangkit dan melempar kembali bantal ke arah Aska. "Bener, ya, istirahat, nanti gue cek."
KAMU SEDANG MEMBACA
25 Wishes Before Die [TERBIT]
Teen FictionJika kamu divonis dengan sisa hidup enam bulan lagi, apa yang akan kamu lakukan? Ps. Sebagian part dihapus untuk kepentingan penerbitan. Copyright©2019 by haynett_